Mereka pernah terperangkap dalam sebuah ruang fiksi, merangkak menjadi kisah non-fiksi, diharapkan berakhir bahagia meski tak terkesan realistis.
Kisah semacam itu yang mereka inginkan, setidaknya menjadi ganjaran akan dirinya yang selama hampir 18 tahun menelan pil pahit sebuah kehidupan.
Dan kini, mereka merasakan ganjaran manis itu.
Tangan lelaki itu tak terlalu besar, juga tak terlalu kecil, namun pas dalam rangkulan bahu sederhana seorang Mat.
Menyusuri jalan bak seorang pasangan yang sesungguhnya. Menikmati udara yang seolah hanya diperuntukkan untuk mereka.Senyum terbentuk di wajah Mat, seolah menjadi manusia paling beruntung mendapatkan lelaki yang masih merangkulnya dengan pasti.
Lelaki tersebut sebelumya telah berkata, "Gue bukan yang terbaik tapi gue berusaha jadi yang terbaik. Bahkan, gue nggak berani pake saya-kamu, gue mau menikmati kisah kita senyaman-nyamannya, gue nyaman dengan dialog ringan kita ini. Ah, terdengar lucu bukan? Penulis puisi ini sama sekali gak romantis."
Jelas, Mat tak terima dengan ucapan itu. "Sejak kapan cowok yang nggak make saya-kamu dicap tidak romantis? Lu itu melebihi kata romantis, Kai. Di luar sana, mana ada cewek yang ditembak pakai puisi?"
Selanjutnya, mereka kompak melepas tawa, melepaskan kekakuan yang sebelumnya menjebak.
"Kai," panggil Mat yang membuat Kai berdehem.
"Lu yang ngebuka hati gue, gue harap, lu gak seenaknya pergi. Berperilaku lah selayaknya tamu yang sesungguhnya," ucap Mat meski terkesan ragu.
"Tamu? Gue datang bukan untuk bertamu tapi mau jadi pemiliknya, Mat," balas Kai tanpa melihat wajah pacarnya itu, tahu gadis tersebut pasti bersemu.
"Gue tahu selama ini lu lelah, Mat, semoga gue bisa jadi tempat lu membagi lelah." Kalimat itu sangat pelan, menyapu hangat kuping Mat hingga ia membuka mata, melihat keberadaan Jingga dan Albi yang menatapnya dengan mata berbinar.
Mimpi panjangnya berakhir. Mimpi yang kelihatan sangat nyata.
Mat menarik tangannya hendak menampar pipinya, bingung membedakan alam mimpi dan nyata. Namun, saat merasa tangannya ganjal karena keberadaan jarum infus, ia sadar semua itu tak nyata.
Ia mengeram pelan, merasa kepalanya pening dan telinganya berdenging.
"Kata dokter, lu cedera kepala ringan," ucap Jingga segera.
Mendadak, kejadian itu kembali berputar membuat Mat rasanya ingin mengumpat.
Albi mendekat, menatap Mat dengan tatapan khawatir. Perlu digaris bawahi, Mat benci tatapan itu. "Masih pusing, nggak?"
Sungguh, itu pertanyaan bodoh, jelas sakit mengingat kepalanya telah dihantam keras.
Jingga menggigit bibirnya, bingung memulai pembicaraan.
"Lu gak cocok jadi orang pendiam kek gitu," celetuk Mat yang membuat Jingga gelagapan.
"Sorry banget, sorry. Gara-gara gue lu begini," ucap Jingga.
Mat membuang pandangannya. "Gak usah minta maaf, lu gak minta ditolongin kok, gue sendiri yang mau, jadi lu gak usah merasa bersalah."
Albi ikut angkat bicara. "Sorry Mat, gue biang dari semua ini. Masalah dengan SMA Tirta diawali dari gue, imbasnya ke kalian semua."
"Uh, gue bilang gak usah minta maaf. Kalian gak salah. Dan ini, kenapa pake dibawa ke rumah sakit segala, ini kalau gue udah rebahan semalaman juga sembuh," ucap Mat enteng.
Dalam hati, Mat memaki dirinya yang dengan cap sok beraninya ia malah terlibat dalam kejadian tersebut, alhasil, waktu skorsingnya jelas akan ia habiskan dengan rebahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...