Pelajaran matematika di jam pertama sungguh membuat mata Mat bekerja keras untuk tetap terbuka dan memperhatikan rumus-rumus yang tercatat di papan tulis. Sudah bisa ditebak, tak satupun rumus yang tertulis di sana dipahami oleh Mat.
Sekarang, seisi kelas hening. Mereka sibuk mencatat. Namun saat pintu terbuka, seisi kelas kompak mengangkat wajah dan menatap si pembuka pintu.
Mereka membelalakkan matanya menatap sosok yang jelas mereka takuti apalagi di waktu yang tiba-tiba. Cowok mulai sibuk membuka tasnya, mengeluarkan berbagai trik untuk menyembunyikan barang yang bisa saja kena razia.
"Dia gak bawa gunting, jadi kemungkinan cuma razia barang," bisik salah satu di antara cowok.
Bu Siregar berjalan mendekati si guru matematika dan terlihat berbisik. Tanpa mereka sadari, seorang gadis yang duduk di bangku depan tengah ketakutan dengan wajah piasnya yang kentara.
"Letakkan tas di atas meja dan jalan ke depan." Mereka semua menuruti permintaan si guru BK itu.
Entah mengapa, banyak orang yang terlalu hobi mengacaukan pagi yang jelas-jelas pembuka hari yang seharusnya diberi kesan baik.
"Uang kalian dicuri, tapi ada satu orang atau lebih di kelas ini yang belagak kecurian padahal dianya yang pencuri," ucap Bu Siregar.
Seisi kelas mendadak riuh. Mereka jelas paham yang dimaksud Bu Siregar. Ya, iuran study tour-nya pasti dicuri. Itulah alasan mengapa Jeje sedari tadi diam dan jelas sangat ketakutan.
Bu Siregar lantas berjalan menghampiri setiap bangku dan memeriksa tas termasuk laci.
"Lagian, kau pun Jeje, hilangnya semalam tapi baru sekarang kau laporkan Kalau kek gini bisa nihil, susah dapatnya," celoteh Bu Siregar tanpa lengah memeriksa setiap tas.
Sekarang, tinggal laci dan tas Mat yang tak diperiksa, artinya ia yang terakhir. Beberapa siswa mulai berjalan ke tempat duduknya, termasuk Mat.
"Pencurinya berarti bukan kelas in—" ucapan Jeje terpotong saat Bu Siregar mengangkat wajah dan terpaku pada Mat.
"Matcha Adellina. Ikut saya ke ruang BK."
Mata Mat hampir lepas dari tempatnya saat mendengarkan itu. Tanpa perlu dijelaskan, Mat sudah paham mengapa ia dipanggil.
Seisi kelas sudah sibuk berasumsi, mencap Mat sebagai pelaku. Sudah sangat lama ia tak mendengar bisikan-bisikan manusia kurang kerjaan yang berani menyimpulkan dari sepenggal ucapan.
Bu Siregar berjalan keluar dengan dompet merah muda yang dikeluarkan dari bangku terakhir. Ia diikuti oleh Mat dan Jeje.
Sesampainya di meja guru, Bu Siregar menatap Mat intens, langsung menciutkan keberanian Mat.
Jeje sesekali melirik dengan tatapan menantang, kesal dengan cewek tersebut.
"Apa alasan kau berbuat kek gitu, Mat?" tanya Bu Siregar pelan namun penuh penekakanan.
"Saya bahkan gak pernah ke bangku depan kecuali mau ngumpul tugas di meja guru. Lantas mana mungkin saya nyuri uang yang katanya dia simpan di bangkunya kemarin," ucap Mat membela diri.
Bu Siregar menyerahkan dompet pink itu kepada Jeje. Jeje langsung membuka dompet dan membelalakkan mata melihat dompet yang hanya diisi uang perak tiga biji.
Jeje berdiri, menarik kerah baju Mat hingga cewek itu terpaksa ikut berdiri. "LU PIKIR JADI BENDAHARA ENAK? LU DENGAN ENAKNYA NYURI DUIT YANG JUGA ADA DUIT LO KETIKA GUE HAMPIR GILA KARENA NAGIH TIAP HARI. KEMBALIKAN UANGNYA!"
Mat menepis tangan itu kasar. "Atas dasar apa lu nuduh gue nyuri uang angsuran?"
Jeje mendengus dan menoleh menatap Bu Siregar.
Bu Siregar menyuruh mereka untuk duduk kembali, jelas guru itu paham dengan situasi yang di hadapi oleh Jeje.
"Berapa uang kau yang hilang, Je?" tanya Bu Siregar.
"Itu uang angsuran selama lima hari, jadi uangnya tiga jutaan." Jeje menoleh, menatap Mat dengan tatapan siap menerkam. "Kembalikan uangnya!"
"Kenapa coba gue harus mengembalikan uang yang gak ada di gue. Dompet itu memang ada di sela buku gue tapi bukan berarti gue yang ngambil uangnya. Ibaratnya lu nginep di rumah temen lu bukan berarti lu menjadi keluarga mereka. Paham ga lu? Lagian, kenapa langsung nuduh gue seolah hanya gue makhluk yang mampu bergerak di kelas buat ngambil duit itu, bisa saja ada yang ngambil uangnya dan nyimpan dompetnya di laci gue," balas Mat.
Bu Siregar angkat bicara. "Karna dompetnya adanya di laci kau, jadi kaulah yang dicap pelakunya karena cuma itu bukti yang ada. Kecuali kau cari bukti lain yang menyatakan kalo kau itu bukan pelakunya. Itu baru bisa jadi pembelaan bau kau, Mat."
Mat berdiri hingga kursi yang didudukinya mundur beberapa senti. "Berikan gue waktu buat ganti uangnya. Toh, seisi kelas gak bakal ada yang berpihak ke gue jadi mustahil untuk menemukan bukti. Kelaspun tak difasilitasi cctv jadi saya hanya akan buang-buang tenaga. Mengenai hujatan itu terserah kalian semua. Intinya bukan gue yang ngambil." Mat melangkah keluar meninggalkan Bu Siregar dan Jeje yang sedikit ternganga.
"Kalau pencuri ya pencuri, main ngelak segala." Jeje bangkit dengan emosi yang masih meluap-luap.
Saat memasuki kelas, fokus langsung teralihkan ke Mat. Ia kembali mendapat tatapan itu, tatapan seolah jijik akan sosoknya. Bohong jika Mat tidak merasakan sakit teramat dalam ketika Jeje memasuki kelas dan mulai sibuk berbisik-bisik ria menghiraukan guru matematika yang sibuk menonton vidio tiktok.
Sekarang mereka masih mencatat sama seperti sebelumnya, bedanya sekarang kelas lebih riuh dikarenakan proses penyebaran hoax.
Mat merogoh ponselnya, mengetik pesan di sana. "Gue butuh lu, bisa ketemu, gak?"
Pesannya dengan cepat dibalas. "Kebetulan gue lagi free. Lagi di aula habis nganter puisi. Mending ketemu di aula aja."
Mat tak membalas pesan itu. Ia meminta izin dengan alasan ke toilet dan segera menuju aula.
Sebentar lagi pergantian pelajaran namun tak ada gunanya ia mengikuti pelajaran dengan perasaan kacau seperti ini.
Hanya butuh waktu beberapa menit untuk sampai di aula. Ia menarik napas pelan, membuka pintu, dan melihat seorang cowok yang sibuk memainkan ponselnya.
Mat tersenyum lebar. Menyadari keberadaan Mat, cowok itu mematikan musik yang bersenandung di ponselnya dan membalas senyum cewek itu. "Eh, tumben ngajak ketemu," ucapnya sebagai pembuka."
"Lagi pengen lihat lu."
"Lu kenapa? Merinding deh gue denger lu bilang gitu," balas Kai.
Mat tersenyum dan duduk di samping cowok itu. "Lu gak bakal ninggalin gue, kan, Kai?" tanya Mat.
Kai mengerutkan keningnya menatap Mat lekat. Ia mengulurkan tangan, membawa kepala cewek itu bersandar di pundaknya. "Untuk apa gue ninggalin lu? Gak bakal, Mat."
"Hanya itu tujuan gue datang ke sini. Memastikan kalau gue gak bakal lagi merasakan yang namanya sendiri. Gue punya lu," ucap Mat tanpa melihat mata cowok itu.
Kai menepuk-nepuk pundak Mat. "Gue tahu lu punya masalah, tapi gue gak bakal maksa lu buat cerita. Tapi intinya lu punya gue sebagai tempat sandaran, Mat. Jangan pernah meragukan kekuatan pundak pacar lu ini. Oke?"
Mat berdehem lantas memejamkan mata membiarkan sunyi tercipta.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...