Lagu milik Justin Bieber terdengar di luar tanda bahwa jam sudah menunjukkan angka enam. Mat bangkit dan keluar dari kamarnya dan menatap sebuah ponsel yang tergeletak di atas meja makan. Sungguh, gadis itu sangat ceroboh, setelah bangun makan tengah malam, ia pasti meninggalkan ponselnya di sana.
Mat mematikan alarm dan berniat membangunkan Jingga yang masih bergelut dengan mimpi indahnya. Namun, fokusnya teralihkan terhadap sebuah notifikasi yang dikirim dua jam yang lalu. Mat sangat menghargai yang namanya privasi, namun, karena melihat namanya tertulis di bar, rasa penasarannya mencuat. Apalagi pesan itu dikirim di waktu yang tak seharusnya orang mengirim pesan jika itu tak penting.
Dia membuka ruang obrolan dan membaca isi pesan. Dahinya berkerut dan detik berikutnya, rasanya, dada Mat di berikan bom atom.
"Ini gue Martin, kemarin ponsel gue jatuh dan rusak, gue baru habis beli dan dapat nomor lu jadi baru sempat ngehubungin lu. Sesuai dugaan, pelakunya Kai, pacar Mat. Rekamannya berhasil didapatkan. Intinya, dia gunain Mat sebagai media balas dendam ke Xilion. Kalau lu baca pesan ini, lu buru-buru ke sekolah biar gue bisa ceritain secara rinci."
Mat menarik napas panjang, ia tak mampu lagi untuk menangis, sesak di dadanya sungguh membuat ia terasa ditindih dunia.
Ia berusaha terlihat baik-baik saja. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berjalan gontai menuju kamar Jingga. Ia mengetuk kamar tersebut dan tak lama si empunya keluar dengan wajah khas bangun tidur. Mat memberikan ponsel Jingga. Ia telah menghapus pesan tersebut pastinya.
"Gue nggak ke sekolah dulu, Ren, gue diare," ucap Mat.
"Udah dibilangin makannya level dua aja, lu malah milih level tujuh. Emang cari mati lu jadi cewek," balas Jingga.
Mat hanya menyengir. "Jangan lupa izinin, ya."
Jingga mengangguk cepat. Lantas, ia kembali memasuki kamarnya, hendak mandi dan bersiap-siap ke sekolah.
Tak butuh waktu lama, seragam khas Ganendra Jaya telah menempel di tubuh semampai seorang Jingga. Mat telah berada di kamarnya entah apa yang ia lakukan.
Sebelum berangkat, Jingga berteriak, "gue berangkat dulu, Mat."
Di dalam sana, Mat menyahut, "hati-hati."
Tak ada lagi balasan dari Jingga, tanda bahwa ia telah meninggalkan apartemen.
Dan masih di kamarnya, Mat duduk, meratapi luka lama termasuk luka baru yang kompak berdatangan.
Mat mengambil secarik kertas, mulai menulis isi hatinya.
Teruntuk kalian semua yang terlibat di hidup gue. Kalian mengajarkan gue arti sebuah hidup, mengajarkan pahit dan manisnya hidup yang kadang melebihi kadarnya.
Untuk Jingga, makasih untuk segalanya. Terima kasih sudah menjadi sahabat, saudara, dan keluarga buat gue. Mungkin, tanpa lu, gue udah lama menghilang dari dunia ini. Tapi, maaf untuk hari ini. Mungkin, gue bakal membuat lu menangis. Tapi, perlu lu ketahui, lu nggak salah, _this all my fault_, gue yang seenak jidat masuk ke dunia lu, menjadi parasit seperti kata orang-orang.
Untuk Xilion, makasih udah menjadi keluarga buat gue. Menjadi segalanya dan selalu ada, terkhusus lu Albi, lu yang pernah menjadi saksi gue sehancur-hancurnya namun mengemasnya dengan baik dan juga, gue kembalikan Louis. Maaf karena gagal merawatnya. Tapi, ini juga bukan salah kalian, ini salah gue yang malah menjadi penghancur dari dalam.
Untuk kedua orangtua saya, kalian orang pertama yang membuat saya percaya bahwa hidup itu tak adil. Namun, waktu itu saya masih bisa bertahan untuk hidup.

KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Ficțiune adolescențiBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...