Pernahkah kalian diam, sedikit membayangkan jutaan nikmat yang Tuhan berikan? Jika belum, coba lakukan. Di luar sana, ada jutaan manusia yang hendak menjadi kalian, kalian yang hari ini mengeluh kepada Tuhan hanya karena merasa dunia tak adil, merasa apa yang kalian miliki tak seimbang dengan penderitaan. Kalian egois, sangat egois, tak tahu bersyukur, kalian sama seperti gadis yang bernama Matcha Adellina versi dulu.
Kini, gadis itu mensyukuri segala nikmat yang ada di hidupnya. Dia memiliki keluarga yang sangat banyak, keluarga itu bernama Xilion. Ia juga memiliki seorang lelaki yang sepenuhnya menjadi tempat ia berbagi luka, menenangkannya di kala ia berkecamuk dengan badai. Dia juga memiliki sahabat yang sebenar-benarnya seorang sahabat, sahabatnya yang tiga bulan ini berada di bawah atap yang sama dengannya.
"SUDAH BELUM?" teriak seorang di luar pintu kamar sembari memukul pintu.
Gadis itu kembali mengangkat wajah, menatap pantulan dirinya. Ia menyilangkan tangannya, menepuk pundaknya sendiri. "Lu hebat, Mat. Lu menuai hasil dari kesabaran lu. Terimakasih sudah bertahan."
Ia berbalik, melangkah pelan menuju seorang di balik pintu kamarnya.
"Gila, nggak nyangka ini elu, Mat. Cantik bet lu. Serius, ga bohong gue," pujinya.
Mat tertawa kecil dan mendorong kepala wanita itu menggunakan telunjuknya. "Apa ini gak berlebihan?"
"No, you are so beautiful, Bunny. Come on, orangnya udah nunggu di luar." Dengan cepat, gadis itu menarik tangan Mat.
Seorang yang berdiri di depan pintu menyambut dengan senyum hangat. "Happy birthday, Diksi."
Mat tersenyum hangat, matanya turut serta melengkung mengikuti bibirnya. "Thank you so much."
Mereka berjalan, hawanya benar-benar canggung. Melihat itu, gadis yang sedari tadi menjadi obat nyamuk berteriak, "Tegang amat kek orang mau ijab kabul."
Mendengar itu, Mat hanya bisa memutar matanya, enggan repot-repot memberi respon.
Mereka telah hilang dari pandangan Jingga. Ujung matanya berair, melihat wanita itu sangat bahagia karena mendapat ajakan dari Kai benar-benar membuat ia ikut terharu. Bagaimana tidak, gadis itu bahkan tak mendapatkan asupan tidur hanya karena gugup setelah mendapatkan ajakan itu.
Jingga turut bahagia melihat gadis itu mendapatkan bahagianya, meski perlahan.
Menurut Jingga, waktu terlalu cepat berjalan, rasanya baru kemarin malam ia menjemput Mat dalam keadaan memakai piyama menyusuri jalanan ibu kota demi menjemput Mat yang kala itu diusir dari indekosnya. Dan rasanya baru kemarin pula ia mati-matian membujuk Mat untuk tinggal di apartemennya, masih banyak lagi, banyak kejadian yang seolah baru terjadi kemarin, sangat segar di pikiran Jingga. Tapi nyatanya, semua itu sudah berjalan lama, kejadian yang ia anggap terjadi di hari kemarin adalah kejadian tiga bulan yang lalu.
Damai bersama Mat sudah pasti. Mat tak tahu alasan ini sampai sekarang, alasan seorang Jingga menganggap Mat adalah sahabatnya karena menurutnya, ia memiliki kesamaan. Sama-sama mengemas luka, yang membuatnya berbeda hanya pada waktu.
Mereka, sama— sama-sama pemendam.
Jingga berbalik, menatap ruang tamunya yang masih di penuhi balon. Balon sisa dini hari saat ia dan anak Xilion merayakan hari ulang tahun Mat. "Again and again, happy birthday, Bestie."
***
Kelihatan cukup unik. Biasanya sepasang kekasih akan memutuskan menonton film romantis, apalagi di hari istimewa salah satu satu dari mereka. Tidak dengan Mat dan Kai, mereka menonton sebuah film action yang jelas menegangkan. Jangan harapkan mereka berpegangan tangan atau saling bersandar, karena keduanya benar-benar fokus pada film.
Film selesai, lampu teater dinyalakan. Mereka kompak saling menatap lalu melempar tawa, entah apa yang mereka tertawakan.
Memanjakan mata sudah, waktunya memanjakan perut. Mereka beranjak keluar dari teater menuju sebuah restoran Jepang.
Dan sekarang, mereka telah duduk, menunggu pesanan. Mat kelihatan sibuk mengunyah boba yang ia beli sebelum memasuki restoran tersebut. Kai diam, menyaksikan mimik gadis itu.
Mat menggerakkan matanya, lantas mereka kembali bertemu pandang. "Kenapa?" tanya Mat.
Dengan cepat, Kai menggeleng. "Gimana filmnya?"
"Keren banget, Bae Suzy akting-nya emang patut diacungi jempol," balas Mat antusias.
"Kalau aktris yang satu itumah nggak usah diragukan. Sebenarnya gue itu tipe orang yang jarang banget nonton di bioskop. Ini kali pertama dalam tiga bulan terakhir gue ke bioskop, dan kali pertama juga nonton bareng pacar," ucap Kai.
Mat menyengir mendengar kalimat terakhir seorang Kai. "Btw, gue kaget aja pas lu ngajak nonton film tau-tau lu milih genre yang gue banget. Benar-benar nggak nyangka lu ternyata suka film Korea."
"Do not judge a book by its cover. Gini-gini gue pencinta IU garis keras," katanya terlihat bangga.
Mat tertawa. "Benar-benar nggak nyangka gue sama lu. Lu sama kayak Albi, dia benar-benar suka sama Red Velvet. Tampangnya doang yang garangnya, aslinya fanboy garis keras."
Kai ikut tertawa. "Nggak sama, Mat. Gue lebih suka penyanyi yang solo kayak IU. Sebenarnya dulu gak suka nyanyian Korea, tapi, karena aktingnya IU yang wow, gue kepo sama dia, lama-lama suka juga sama suaranya. Gue nggak terlalu demen sama girlband."
Mat manggut-manggut. "Kalau Albi mah, gak usah ditanya. Semua printilan Red Velvet dia beli. Bahkan, dia berencana mau ke Singapura bulan depan buat nonton konser. Dia ngajak Pikar buat nemenin padahal Si Pikar itu Once."
Kai tersenyum tipis. "Udah hafal banget ya sama kehidupan mereka sedangkan gue sendiri lu baru tahu kalau gue lumayan suka sama industri hiburan Korea."
Senyum Mat mendadak pudar. "Hm ... eh, maksud gue—"
"Nggak apa-apa. Mereka itu sahabat lu, keluarga kedua lu. Lu berhak tahu tentang mereka. Gak apa-apa kok. Mengenai ucapan gue yang tadi, gak usah dipikirin. Udah, itu makanannya udah datang, fokus makannya," potong Kai.
Ya, makanan benar-benar tiba. Semangkuk ramen dengan bau yang menggiurkan telah berada di hadapan mereka masing-masing. Menuruti perkataan Kai, Mat benar-benar fokus dengan makanannya, menikmati makanan yang bergelut dengan lidahnya.
Dikala Mat sibuk memakan ramennya, Kai malah terpaku pada gadis itu. Entah apa yang ada di kepala lelaki tersebut. Yang pastinya, matanya lurus menatap Mat dengan ekspresi wajah yang tak terbaca.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Novela JuvenilBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...