Langkah kaki dua orang gadis amat cepat menuju mobil yang terparkir di parkiran apartemen. Jam sudah hampir menginjak angka tujuh namun mereka baru ingin berangkat. Bahkan, gadis berambut panjang yang biasanya tak absen mencatok rambutnya sebelum berangkat sekolah tak lagi melakukan ritualnya ini. Kecepatan kaki Jingga selaju degan ke cepatan bibirnya yang memaki Albi mengingat lelaki itulah yang menjadi penyebab ia terlambat. Bagaimana tidak, lelaki itu yang mulai obrolannya mengenai dunia K-Pop. Jingga dan Mat yang baru saja terjun ke dunia iu jelas tertarik hingga akhirnya pembicaraan baru selesai saat jam menginjak angka tiga.
Dan sekarang, mini cooper milik Jingga yang bernama Selena alias Siti Marselena sibuk membelah ramainya jalanan Kota Jakarta. Gadis itu sedari tadi mengumpat, mengabsen isi kebun binatang, tak lupa ia mengikut sertakan umpatan dari berbagai bahasa mulai dari Bahasa Inggris, Korea, hingga Thailand.
“Tadi gue juga udah bilang apa? Naik motor aja, lu masih ngeyel mau naik mobil, rasain aja sendiri macetnya Jakarta yang kek otak lu,” ucap Mat yang membuat Jingga menghentikan aktivitas mengumpatnya.
“Nggak, gue nggak bakal pake Jojo kalau lagi ada sinar matahari. Panas dan polusi, kolaborasi yang pas buat menggagalkan segala rangkaian perawatan gue,” balasnya.
“Lebay lu. Gue aja yang kadang malah jalan kaki santai aja tuh,” ucap Mat membuat Jingga mendengus cepat.
“Btw, Ren, lu belum jawab pertanyaan gue, lu kenapa kemarin tiba-tiba nangis gitu?” tanya Mat mengalihkan topik.
Gadis itu terlihat mengambil napas panjang. “Gue mimpi lu bunuh diri.”
Mat tersentak lantas menatap Jingga beberapa detik sebelum tawanya meledak.
Jingga yang melihat itu mengernyitkan dahinya. “Gila lu?”
“Ngaco banget mimpi lu, sumpah.”
Jingga mendengus sebal melihat respon Jingga. Bagaimana tidak, ia hampir kehilangan kewarasan hanya dikarenakan mimpi itu, namun ia malah tertawa saat tahu?
Karena sibuk melemparkan leluconan yang sama sekali tak lucu, tanpa disadari mereka sampai di parkiran. Tepat saat ia menurunkan kaki dari mobil, bel tanda pelajaran dimulai berbunyi. Mereka kompak saling menatap lantas membelalakkan mata sebelum akhirnya mereka berlari menuju gedung IPA.
Mereka baru berpisah di lantai tiga, sama-sama menuju kelasnya. Beruntung mereka sampai di kelas sebelum pelajaran dimulai. Ketika Jingga sampai di kelas, ia langsung mendapatkan tatapan yang bersahabat membuat ia cukup risih. Begitu pula dengan Mat, namun Mat acuh, ia memilih menuju bangku depan dan memberikan sebuah amplop tebal kepada gadis yang menatapnya dengki. Amplop tebal itu berisi uang tabungan untuk persiapan biaya di masa di depannya. Cukup menyakitkan karena ia kehilangan uang tabungan dari hasil kerjanya sendiri dengan percuma dikarenakan fitnah semata.
“Untuk apa sih mencuri kenapa gak langsung minta ke pacar lu?” ucap Jeje yang membuat Mat emosi di pagi hari ini.
Tak ada gunanya berkonflik dengan manusia semacam gadis itu. Ia memilih menuju bangkunya yang terletak di bagian belakang. Sedetik, dua detik, hingga di detik ketiga Mat membelalakkan matanya saat ia terpaku pada sebuah bangku yang penuh dengan sampah dan coretan. Salah satu kata yang paling menyayat hati Mat yakni, “ternyata sama Jingga lebih dari teman? Wow, belok. Anak mucikari, pencuri, dan anak buangan.”
“Siapa yang ngelakuin semua ini?” tanya Mat dengan suara bergetar.
Tak ada yang merespon. Alhasil, Mat berjalan menuju bangku depan dan menatap Jeje tajam. “Siapa yang nulis itu?” tanyanya dengan suara datar namun penuh penekanan.
“Mana gu—”
“SIAPA?!” pekik Mat yang membuat seisi kelas menjadikannya pusat perhatian.
“GUE NGGAK TAHU!” balas Jeje juga dengan berteriak.
Mat berjalan ke meja guru dan kembali berbicara. “Siapa yang melakukan itu?!” tanyanya.
“Tadi gue yang paling pertama datang ke sini, sampah dan coretan itu sudah ada di situ?” celetuk salah satu teman sekelas Mat.
Mat mengambil napas panjang lantas keluar mengambil tempat sampah dan membuang berbagai macam sampah yang ada di bangkunya. Demi apa, ia sangat kesusahan menahan gejolak emosinya sekarang.
Setelah ia membersihkan berbagai macam sampah di atas bangkunya, ia memilih duduk. Duduk memandangi coretan di bangkunya yang ditulis dengan spidol permanen.
Pintu terbuka, guru dengan kacamata tebal beserta dengan buku di tangannya. Ia memasuki kelas dan langsung membuat seisi kelas terdiam.
Pelajaran dimulai, sepanjang pelajaran Mat diam tak bersuara meski sebenarnya sekarang adalah pelajaran favoritnya— Bahasa Indonesia. Jujur, ia serba salah sekarang, ingin mengangkat wajah takut jika air matanya terlihat, bukannya itu sangat memalukan? Namun, saat menunduk ia malah disayat-sayat dengan kalimat yang tampak meledeknya dengan semangat. Tapi, ia memilih opsi kedua, itu jauh lebih baik daripada ia dicap lemah dan cengeng.
Pelajaran berlangsung dengan khidmat sebelum akhirnya sang guru terlihat mengangkat telepon dan berbicara dengan serius. Masih ada waktu 30 menit untuknya mengajar namun ia memilih mengakhiri proses belajar mengajar dikarenakan alasan dari telepon tersebut.
Baru beberapa langkah sang guru setelah keluar dari kelas, Mat dengan setengah berlari meninggalkan kelas, hendak menuju toilet. Sang Guru Bahasa Indonesia yang melihat itu mengerutkan kening tak paham dengan tindakan siswinya itu.
Mat tiba di toilet dengan napas ngos-ngosan. Ia melepaskan tangisnya yang sedari tadi tertahan.
Pada akhirnya, ia memang parasit yang sebenarnya. Ia bergantung kepada orang dan merusak orang tersebut. Nama Jingga kini rusak dikarenakan olehnya. Sekarang, Mat tak mampu lagi berdiri, ia lelah, segalanya telah kacau, ia takut berhubungan lagi dengan Kai, ia tak ingin menjadi parasit di hidup pacarnya itu. Satu-satunya kalimat yang ingin sekali didapatkan oleh Mat sekarang adalah kalimat yang langsung dari Tuhan, “Waktumu telah tiba, ayo pulang.” Namun mengapa kalimat itu belum datang? Sungguh, harapannya telah pupus, ia lelah bertahan, ia memilih lepas dari tumpuan itu.
Bibir tipisnya bergerak pelan, mendeklarisikan kekalahannya atas konflik yang melanda. “Gue lelah. Jika boleh meminta, gue mau istirahat ... selamanya.”
***
Benar-benar lesuh setelah membersihkan coretan di bangkunya yang merenggut beberapa menit waktu istirahat seorang Mat. Kini ia melangkah gontai sembari menunduk, benar-benar tak percaya diri hanya sekedar mengangkat wajah. Dengan apa yang ia lakukan itu, ia seolah mengumumkan kekalahannya, ia membuktikan kebenaran coretan itu. Jelas, Mat ingin membela diri, namun energinya tersedot habis. Ia benar-benar lelah sekarang, bahkan, bernapaspun sudah amat melelahkan buatnya.
Selera makannya pun sudah menghilang, tujuan ia keluar kelas bukan untuk mengisi perut di kantin, melainkan mengambil bukunya di loker. Seandainya itu bukan karena perilah buku, mana mau ia meninggalkan kelas.
Sesampainya di loker, ia menarik napas panjang sebelum memilih mengangkat wajahnya. Namun apa yang ditangkap oleh netranya membuat hati ia kembali tersayat. Seorang gadis yang biasanya tampil modis dengan rambut yang terurai sempurna kini menghiraukan penampilannya. Ia kini sibuk menggosok sebuah loker yang notabenenya adalah milik seorang Matcha Adellina.
Mat melangkah mendekati si gadis itu tanpa disadari olehnya. Meski sudah samar, netra Mat masih mampu membaca coretan itu, coretan yang sama dengan yang ada di bangkunya. Tangannya terulur menepuk pundak gadis tersebut.
Yang ditepuk langsung berbalik. Mat melempar senyum, senyum yang ia bentuk setelah mengumpulkan tenaganya yang tersisa. “Kok gak ke kantin, Ren?”
“Masih kenyang,” balasnya singkat.
Mat membuang napas kasar. “Kenyang? Tadi pagi lu gak sarapan, Ren.”
“Apa makan lebih penting daripada fitnah yang seliweran satu sekolah, Mat? Ini bukan hanya tentang lu, tapi tentang gue juga. Ini namanya pencemaran nama baik. Gue normal, bahkan mantan gue dulu banyak dan perlu dicap, mereka semua cowok. Mereka yang nulis ini gak tahu yang namanya persahabatan. Gue peduli ke lu semata-mata karena gue nganggap lu sahabat gue, nganggap lu saudari gue sendiri. Tahu, kan hubungan saudari, ya ... saling melindungi. Pokoknya, gue gak sudih coretan ini dibaca semua orang dan mikir enggak-enggak. Enak aja,” omel Jingga tanpa jeda.
Mat lantas mendekat, mengulurkan tangannya yang memegang tisu basah dan mulai bergerak, menghapus coretan samar tersebut.
“Awas aja lu kalau ngejahuin gue karena perkara satu ini, secara gak langsung lu membenarkannya. Dih, amit-amit. Besok gue mau terima Si Deva anak IPS 3 deh. Kebetulan minggu lalu dia nembak gue. Bodoh amat masalah nggak ada perasaan. Amit-amit dah pokoknya dikira belok,” celoteh Jingga tanpa henti.
“Siapa juga yang mau jahuin lu. Dih ... gue masih sayang lambung gue, kalau gue nggak sama lu, pasti ngegembel lagi. Dan lu jangan bawa-bawa Deva dong, kasian dia lu terima hanya karena lu kalab gini,” balas Mat.
“Lu udah pernah nggak foto sama Si Kiu?” tanya Jingga tiba-tiba.
“Lah, kok lu nanya itu sih?” tanya Mat kembali.
“Udah ah ... jangan banyak tanya, kalau lu punya, kirimin fotonya ke gue. Jangan khawatir, nggak bakal gue santet kok ... palingan besoknya muntah paku,” jawab Jingga.
“Oren ....”
“Kagak, kagak. Bercanda woi, pokoknya kirim aja.”
Mat merogoh ponselnya, mulai men-scroll benda pipih itu beberapa menit. Setelah mengirim apa yang diminta oleh Jingga, Mat mendongak. Kini ia tak mampu lagi membaca coretan itu dalam artian coretan itu sepenuhnya hilang. Pintu loker dibuka, Mat mengambil bukunya dan berkata, “gue mau ke kelas dulu, ya. Lu sana makan di kantin.”
“Tapi lu, kan jug—” Mat mengangkat tangannya membuat omongan Jingga terpotong.
“Duh ... babunya Louis apa nggak capek berakting? Kamu sama sekali tak baik-baik saja, bukan?” batin Jingga.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
JugendliteraturBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...