Mat baru saja keluar dari ruang belakang dan ia kembali mengenakan seragam sekolahnya. Bukan malu diketahui sebagai pekerja di minimarket, hanya saja Mat lebih nyaman dengan seragamnya yang terkenal paling keren di Jakarta. Banyak yang menyebut seragam Ganendra Jaya mirip dengan seragam pelajar di negara ginseng dan kalau dilihat-lihat memang demikian.
Mat sekarang berdiri di depan minimarket menunggu si cewek yang meneleponnya sepuluh menit yang lalu. Benar, ketika jarum panjang menginjak angka tiga, sebuah mini cooper berhenti di depannya hingga si cewek menurunkan kaca dan langsung berbicara lewat mata.
Dia segera naik ke mobil dan kembali, mobil melaju dengan kencang. Hanya butuh lima menit bagi Jingga mengendarai Selena hingga sekarang ia berada di parkiran apartemen. Mat lebih dulu turun berdiri menunggu Jingga, pandangannya menyebar, terkagum-kagum dengan kendaraan yang terparkir di sana. Pundaknya di tepuk hingga pandangannya teralih pada gadis yang menggunakan piyama ungu muda dengan kunciran rambutnya yang terkesan asalan.
Apartemen benar-benar sepi hingga saat memasuki lift saja hanya ada mereka berdua. Apartemen Jingga berada di lantai dua belas. Lift berdenting, mereka berjalan keluar hingga sampai di depan sebuah ruangan. Jingga mendorong pelan pintu hingga suara rusuh dari dalam langsung terdengar. Hingga saat Mat memasuki ruangan itu, mereka kompak terdiam kecuali seorang lelaki yang masih sibuk memainkan ponselnya sembari bersorak dengan mata yang melotot sempurna. "Woi, cacing gue beratnya udah satu 1 juta, nih."
Tampaknya, siapapun yang berhubungan dengan Jingga otaknya tak akan beres. Itu kesan pertama yang timbul saat berkunjung di apartemen Jingga.
"Maksud lu apa? Mana bisa gue belajar dalam keadaan ramai begini? Coba cuma 1 2 orang, ini puluhan, lho, Ren. Mana bisa fokus," protes Mat.
"Kan belajarnya bisa di kamar, Mat. Udah ah, buruan."
Mat hanya pasrah saat tangannya di tarik oleh Jingga menuju sebuah ruangan besar yang sebesar indekos Mat. Bahkan saat ia memasuki ruangan itu, bibirnya mendadak membentuk huruf 'o' melihat kamar mandi yang dindingnya berbahan dasar kaca dan seluas kamar Mat.
Mat menarik senyum segaris berusaha biasa-biasa saja dengan apa yang ia lihat.
Duduk santai di ranjang king size mengamati Jingga yang tengah berdiri di depan sebuah meja belajar sembari tangannya sibuk mencari sebuah buku. Butuh waktu beberapa menit untuk mencari sebuah buku bersampul kuning mengingat banyaknya buku di meja belajar tersebut.
Jingga mendekat dengan seulas senyum hangat. "Udah masuk benzena?" tanya Jingga.
Mat mengangguk cepat.
"Kalau di Benzena mah lu tinggal pahami aja soalnya nggak ada perhitungan kecuali di reaksi benzena baru make perhitungan. Jadi, di sini gue bakalan ajarin lu di reaksinya, sisanya lu pinjam aja buku catatan gue ini dan pelajari. Gue jamin lu paham, mengenai materi, ketua kelas lu pasti ngirim ppt tapi itu terlalu berbelit, jadi fokus aja di catatan gue," ucap Jingga.
Mat menarik napas panjang. Waktu satu malam tak akan cukup untuk mengetahui materi yang pasti ragu menempel di otak Mat yang anti dengannya.
Jingga yang sedari tadi berdiri ikut duduk dan mulai membuka buku dan menjelaskan isi dari bukunya tersebut, tak ada yang menganggu meski samar-samar suara heboh di luar masih terdengar hingga ponsel Mat berbunyi dan terkesan spam. Bunyi ponsel itu berhasil membuyarkan fokus keduanya dan Mat terlihat merogoh cepat kantongnya berniat mengubah kode ponselnya ke silent mengingat chat itu pasti dari grup kelas yang pembahasannya tak penting.
"Jadi nggak jadi kuis, nih?" Demikianlah chat yang muncul sekilas di bagian atas layar ponsel Mat. Buru-buru ia membuka WhatsApp dan menemuka puluhan pesan dari grup kelasnya dimana akarnya dari ketua kelas yang menyatakan bahwa sang guru Kimia memiliki urusan mendesak. Refleks, Mat memekik senang yang sontak membuat Jingga tersentak kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matcha Adellina
Teen FictionBagi Mat, dunia itu tak berotasi, dunia menetap pada porosnya terbukti dari dirinya yang selalu saja mendapatkan ketidakadilan. Luka bertumpuk luka, pilu bertumpuk pilu hingga semuanya menggunung dan mengoyak hidupnya. Hingga di hari itu, hari dima...