Maaf Si Beku

90 9 4
                                    

Jakarta tak pernah tidur. Begitulah pikiran orang mengenai kota metropolitan tersebut. Bisa dilihat sekarang, dimana jalanan kota Jakarta masih macet di titik tertentu ketika jam hendak menginjak angka sebelas.

Melewati perdebatan panjang yang tentu juga memakan waktu lama, akhirnya Mat setuju diantar pulang dengan menggunakan motor. Ya, kalian tidak salah baca, Jingga dengan motor sport-nya kini membonceng Mat dan membelah ramainya Kota Metropolitan di kala berhasil keluar dari titik macet.

Mat bisa tahu alasan cewek itu tak memilih menggunakan motor di siang hari, sudah pasti dengan alasan tak ingin hitam karena sengatan sinar matahari. Maklum, skincare mahal untuk kulit yang selalu diagung-agungkan kaum remaja.

Sudah sedari tadi Mat memasang wajah sebal karena dibonceng oleh makhluk jadi-jadian seperti Jingga. Mat benar, bukan? Jingga bisa menjadi cewek yang benar-benar feminim, tiba-tiba berubah jadi bar-bar, dan sekarang ia merangkak menjadi Valentino Rossi dengan segala kearifan lokal. Sudah fix, the real jadi-jadian.

Alasan kedua mengapa Mat sebal yakni karena perihal helm. Helm khas bapak-bapak yang kacanya selalu turun meski telah dinaikkan, ditambah lagi dengan ukuran super besar, jelas longgar di kepalanya, disempurnakan dengan bau asoy yang susah didekskripsikan. Jika begini Mat lebih memilih melanggar ketimbang memakai helm Kang Nasi Goreng Setan yang hobi mangkal di depan apartemen Jingga.

"Tentang apa yang lu dengar tadi mengenai Bang Topan, jangan sampe di telinga anak-anak Ganendra, ya," ucap Jingga yang membuka pembicaraan dengan sedikit berteriak.

Mat hanya berdengung, mengiyakan permintaan Jingga.

"Gue janji, Mat. Semua pertanyaan lu itu bakal gue jawab besok."

"Padahal gue nggak nanya, lho. Daritadi gue diem."

"Diemnya lu itu creepy banget. Sumpah, lu udah kayak penunggu danau buatan, tauk," kata Jingga.

Mendadak Mat terngiang akan kejadian di sekolah. Puisi itu menunggu jawaban dan jujur, Mat bingung akan hal itu.

Mat menaikkan kaca helm, hendak menghirup udara segar namun lagi-lagi kaca itu turun saat Mat melepaskan tangannya.

"Jingga, lu punya banyak duit, bukan?"

"Maksud lu apa?"

"Gue mau manfaatin lu. Buruan bawa motornya ke pinggir."

Jingga kian bingung namun tetap saja menuruti permintaan cewek tersebut.

Dalam jarak lima meter ia melihat sebuah tempat sampah. Dan, pas ... helm itu masuk dengan sempurna di tempat sampah.

Jingga yang melihat itu hanya bisa tercengang.

"Ganti helm Kang Setan, sumpah helm itu bikin mood gue makin ancur. Untuk pertama kalinya ada yang ngelarang hak gue buat napas. Makanya gue buang," celoteh Mat yang kini dengan wajah sebalnya.

Jingga yang tadi bingung langsung tertawa kencang. "Lu bukan cewek normal, Mat."

"Eh, tunggu! Gue kenal kalimat itu," protesnya.

"Tuh, kan ...."

***

"Demi apa ini, Mat. Kemarin lu buang helm Kang Somat, sekarang lu malah manggil gue ke sini dengan maksud nyuruh gue ke aula ngantar puisi lu ini. Punya kaki, punya tangan, bawa sendiri."

"Kang Somat? Maksud lu Kang Setan?" tanya Mat lugu.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Mat," kata Jingga cepat.

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang