Bola Kertas

120 9 4
                                    

Rambut panjang yang telah di-blow tak lagi terurai. Si empunya mengikat rambut itu sembarang lantas mengangkat wajah menatap ujung dari tembok setinggi dua meter yang berdiri kokoh di hadapannya.

"Emang bisa?" tanya Mat ragu.

"Perasaan, kemarin lu bilang ke gue segala sesuatu bisa dilakukan asal ada niat. Ini gue ada niat tapi lu malah meragukan gue," balasnya enteng.

Mat mengangguk yakin lantas mulai mengangkat kakinya untuk bertumpu pada tangga lapuk yang katanya aset geng besar Ganendra Jaya. Ia menarik napas panjang ketika sampai di ujung tembok. Pandangannya tersebar berharap tak ada yang melihatnya. Dalam hati ia menghitung bersiap melompat ke bawah.

Jingga sudah sampai di atas ketika Mat sudah melompat. Bersiap untuk menyusul Mat, seorang lelaki berteriak kencang membuat Jingga geram. "Woi, gue aduin ya, kalian!" pekiknya.

Jingga melompat turun dan menarik tangan Mat lalu berlari meninggalkan TKP. Lelaki tersebut tertawa melihat mereka yang panik.

Tak jauh berlari, Jingga lantas memutar tubuhnya berlari ke hadapan lelaki tersebut. Sadar akan ancaman yang mendekat, ia berlari, menghindari Jingga yang disulut emosi. "Jangan lari lu ampas tahu!" teriak Jingga ngos-ngosan.

Lelaki itu tertawa mendengar ucapan Jingga. "Ngejar capek kan, Ga? Ini gak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan gue yang mati-matian ngejar lu buat balikan." Sempat-sempatnya ia membalas ucapan Jingga dikala ia masih berlari.

Jingga menghentikan larinya ketika sadar bahwa yang ia kejar adalah seorang mantan pemenang lomba lari 100 meter tingkat kota. Lagian, lelaki tersebut juga sudah memasuki area gedung sekolah yang bisa membahayakan kelangsungan hidupnya jika ia masih tetap mengejarnya.

Mat jauh di belakang, Jingga jadi dongkol sendiri untuk kembali ke sana. Dia tak lagi berlari melainkan berjalan lesu karena gagal memberikan pukulan mentah kepada lelaki ampas tahu tersebut.

"Kenapa sih pake ngejar segala?" tanya Mat.

"Gak ada yang nggak mungkin bagi cowok itu. Kalau dia bilang mau ngadu, dia bisa benar-benar wujudkan kalimatnya itu."

"Emang dia siapa?" tanya Mat kembali.

"Mantan gue. Dia lelaki blasteran," ucap Jingga yang kini melanjutkan langkahnya.

"Blasteran? Orang mukanya Indonesia banget."

"Ya ... dia setengah Indonesia setengah bajingan," balas Jingga yang telah kehilangan mood.

Mat yang mendengar itu refleks memukul punggung Jingga. "Masih pagi mulutnya udah bar-bar gitu."

"Ya ... gue mah gini, Mat. Nggak suka yang namanya nge-fake. Terserah orang mau mikirnya gimana tentang gue. Dan juga, gue kalau gak suka bakalan bilang nggak suka, gue paling anti berakting baik-baik saja kalau gue risih," katanya panjang lebar.

"Nyindir lu?"

"Lu merasa tersindir?"

***

Singgah di toilet sekadar untuk merapikan rambut sebelum akhirnya keluar dan menyusuri koridor yang tak terlalu ramai membuat Mat aman-aman saja dan tak risih berjalan dengan gadis yang bisa disandingkan dengan Mawar Eva, Amanda Rawles, dan Zara.

Barulah saat naik di lantai tiga dan berjalan di koridor kelas dua belas IPA, mendadak ia menjadi fokus perhatian. Pantaslah ia bersikap demikian mengingat ia yang biasanya lebih sering berjalan sendiri atau dengan para mantan sahabatnya mendadak berjalan dengan Jingga yang notabenenya adalah bidadari kelas XII IPA 1.

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang