Matcha

192 18 9
                                    

Kaki bersepatu lusuh melangkah menyusuri sebuah jalan setapak di Kota Jakarta. Sengaja tak melewati jalan besar demi menghindari gerombolan manusia kurang kerjaan yang hanya bisa mengomentari kekurangan orang lain.

Gadis itu bernapas lega saat matanya tertuju pada sebuah mini market. Seulas senyumnya terbentuk cepat saat matanya bertemu dengan mata seorang gadis pendiam yang juga bekerja di mini market tersebut. Buru-buru ia melangkah ke belakang, tempat dimana ia biasanya mengganti seragam sekolahnya dengan seragam khas mini market tersebut.

Setelah mengganti baju, seperti biasa, kalimat sederhana yang membuka percakapan antara dirinya dengan gadis pendiam yang merupakan partner kerjanya diucapkan oleh gadis tersebut. "Dari tadi datangnya?" Sebenarnya ia tahu jawaban gadis itu.

"Baru aja, Kak." Mendengar jawaban gadis tersebut, Mat memutar mata lantas mencebikkan bibir dengan cepat. Ia mengulurkan tangan menepuk pelan pundak gadis itu.

"Fidella, bukannya gue pernah bilang jangan panggil gue kakak. Santai aja ngomong sama gue. Gak usah pake saya-kamu dan pake embel-embel kakak segala," ucap Mat cepat.

Fidella tersenyum tipis. "Gak enak aja gitu, Kak."

Mat ikut mengangkat senyum. "Nggak usah tidak enakan sama gue deh. Oke, gue mau ngumpulin barang kadaluwarsa dulu, ya."

Fidella tertawa kecil paham dengan ucapan Mat.

"Lapar, uang menipis, dan gajian masih lama." Mat terlihat mulai menyisihkan barang kadaluwarsa. Matanya langsung berbinar saat ia melihat tanggal pada sebuah roti selai coklat. "Hari ini," katanya penuh semangat.

Fidella yang berdiri di tempat kasir terkekeh pelan.

Mat terlihat menyapu perutnya sembari berkata pada dirinya sendiri. "Gue bangga deh punya lambung gembel kek gini, makan makanan kadaluwarsa tapi baik-baik saja." Buru-buru, Mat menunju tempat kasir dan duduk di sana. Ia memejamkan mata pelan dan terlihat bibirnya bergerak sebelum akhirnya ia membuka mata dan memakan roti tersebut.

***

Amplop kecil nan tebal secara tak langsung menyapa Mat saat ia membuka indekosnya. Seulas senyum sinis lantas tercipta sebab tahu isi dan pengirim amplop itu.

Ia menunduk mengambil amplop itu. Dia kembali menutup kasar pintu indekosnya sebelum ia turun dengan langkah meggebu-gebu menuju suatu tempat di tengah Kota Jakarta yang padat.

Ia duduk di kursi taman sembari menempelkan benda tipis di telinganya. "Saya ada taman di belakang rumahmu," ucapnya. Gadis itu lantas mengakhiri panggilan secara sepihak.

Dia terduduk sembari mengangkat wajah menatap langit kota metropolitan yang katanya tak pernah tidur.

Hanya sepuluh menit ia menunggu, seorang lelaki paruh baya datang dengan langkah cepat sembari menatap gadis itu. "Matcha," panggilnya.

Mat tak berbalik, ia benci panggilan itu dan satu-satunya yang memanggilnya dengan nama itu hanyalah dia— si lelaki paruh baya.

"Matcha," panggilnya kembali.

Mat mendengus sebal lantas berdiri dan menghampiri lelaki tersebut. "Jangan panggil saya dengan panggilan itu. Harus berapa kali saya bilang?"

Lelaki itu mengangguk paham.

Mat merogoh kantongnya lantas menarik paksa tangan lelaki itu dan menyimpan amplop di tangannya. "Saya tak butuh bantuan kamu. Semenjak kamu biarin saya tinggal sendiri di kos, hubungan antara kita sudah terputus. Saya adalah saya, dan kamu adalah kamu. Tak ada lagi hubungan ayah dan anak antara kita. Urusi keluarga kamu dan biar saya urusi diri saya sendiri."

Tak ingin mendengar respon dari lelaki tersebut, Mat dengan cepat melangkah pergi.

"Mat," panggilnya yang membuat langkah Mat terhenti dengan cepat.

"Kamu bukan siapa-siapa tanpa ayah," katanya.

Mendengar itu, Mat berbalik. "Bukan siapa-siapa katamu? Saya bahkan bisa menghidupi diri saya sendiri. Coba biarkan anak kesayangan kamu itu tinggal sendiri, membiayai dirinya sendiri. Apa dia bisa? Tidak. Kamu terlalu percaya diri hanya karena mengemis panggilan ayah dari saya. Tapi maaf, kamu yang mengajari saya arti dari kata buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya. Kamu yang egois menelantarkan saya demi keluarga baru kamu membuat saya paham bahwa kata egois itu memang sangat berarti." Dada Mat terlihat naik turun menahan emosi yang ingin sekali ia lepaskan.

"Kamu dan istri lamamu. Di umurku sekarang ini saya paham, kalian sama sekali tak pantas disebut orangtua," sambung Mat.

Jam sudah menginjak pukul sebelas malam. Namun, lalu lalang kendaraan yang memekikkan telinga sama sekali tak membuat suasana layaknya tengah malam. Mat tengah duduk di bahu jalan menikmati suasana malam yang keras. Dia sama sekali tak menangis, hatinya sudah terlalu membatu hingga tak dapat lagi memancing matanya menangis.

Hingga tangannya merogoh pelan kantongnya menatap panggilan tak terjawab dari seseorang. Ia mendengus sebal lantas melirik jam Yang melingkar di tangannya. Setelah menarik napas panjang, ia mulai melangkah gontai menuju indekos miliknya. Tempat sederhana yang satu-satunya menjadi pelindung bagi Mat.

***

Pagi yang cerah untuk awal pagi yang selamanya kelam bagi sekarang gadis yang mini mengikat tali sepatu. Setelah itu, ia berdiri mengecek pintunya sebelum akhirnya melangkah pergi menuju sekolah.

Hanya membutuhkan waktu lima belas menit baginya untuk sampai sekolah. Dengan wajah datarnya ia melewati kerumunan siswa di koridor. Hingga saat sampai di loker dengan segera ia mengambil baju olahraga sebelum menuju kelasnya di lantai tiga.

Saat menuju eskalator, ia berpapasan dengan seorang lelaki yang entah mengapa berada di gedung IPA. Benci dengan yang namanya basa-basi, Mat hanya sekedar menyapa lelaki itu tanpa berniat mengobrol lama-lama.

Eskalator sepi. "Eh, gue ke kelas dulu, ya, Kai." Itulah Yang diucapkan Mat yang hanya dibalas anggukan oleh lelaki yang bernama Kai itu.

Sebenarnya Mat suka-suka saja mengobrol dengan lelaki itu, namun efek kejadian tadi malam membuat mood-nya benar-benar tak terkontrol. Bahkan, sekarang ia sudah memasuki kelas dan disapa riang oleh temannya, ia hanya membalasnya dengan senyum terpaksa lekat dengan wajah suntuknya.

Ia segera menuju ke bangku miliknya, membaringkan kepala di lipatan tangannya enggan bergabung dengan obrolan yang penuh omong kosong dari temannya mengenai kisah percintaannya.

Perlu digaris bawahi, Mat pembenci bucin garis keras. Mungkin efek belum pernah pacaran, jadilah gadis itu terlalu sensi dengan dunia per-bucinan.

Perlahan Mat mengangkat wajah saat kerumunan siswa memasuki kelas dengan obrolannya yang keras. Mat memutar mata sebal tatkala mereka melewati bangku milik Mat.

Salah satu di antara mereka mendekati Mat dan berkata, "Mat, kata Given jaga kesehatan. Btw, dia suka sama kamu."

Lelaki yang bernama Given itu langsung maju dan menarik kerah baju lelaki tersebut. "Ih, kagak-kagak. Yakali gue suka. Apa yang dibilang Lintang gak benar." Dengan tampang sok tampannya ia seolah merinding saat mata Mat bertemu dengan mata lelaki yang bernama Given itu.

Berusaha bodoh amat dengan situasi yang ada, Mat memilih kembali membaringkan kepala di lipatan tangannya. Dalam hati ia menghardik lelaki yang bernama Given itu. Namanya benar-benar tak sesuai dengan pribadinya, sama dengan lelaki pertama yang bernama Lintang itu.

Sibuk menghardik dalam diam, Mat akhirnya sampai pada alam mimpinya, bergulat dengan fiktif yang indah.

Bersambung ....

Matcha AdellinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang