Kerusuhan menjadi rutinitas setiap pagi di rumah berlantai dua dengan sebuah rooftop di bagian rumah belakang. Suara teriakan anak perempuan yang kesal karena di bangunkan terlalu pagi- menurutnya. Teriakan mengadu pada sang Ayah karena semakin kesal dengan pengasuhnya yang tidak bisa menuruti keinginanya untuk membuat kepangan rambut seperti tokoh Elsa berujung teriakan dengan aduan lain karena kedinginan usai mandi pagi.
Ya, serandom itu. Namanya juga anak kecil.
Andra tersenyum menyambut putri semata wayangnya yang memasang wajah cemberut. Menyilangkan kedua lengan, menunggu asistem rumah tangganya menarikan kursi untuknya duduk.
"Ada apa dengan pagi ini princess?" tanya Andra masih tersenyum menatap wajah Gisel-putrinya-yang masih ditekuk.
"Mbak Ani nggak bisa bikin rambut Gisel kayak Elsa, Pi." Gisel mengadu dengan semangat dan kesal.
Andra melirik Mbak Ani-pengasuh Gisel dengan raut bingung. Alisnya naik sebelah, bertanya. "Elsa itu teman Gisel di sekolah?" tanya Andra menyuarakan kebingungannya.
"Princess Elsa di film frozen, Pak." jawab Ani.
"Gisel mau kepang kayak Elsa, Pi." rajuknya lagi. Gisel membanting sendok yang Ia pakai menyuap sereal kesukaanya.
"Kan anak Papi Princess Gisel, bukan Elsa. Jadi pakai jepit pita aja sudah cantik kok." bujuk Andra.
Gisel menatap Papinya, mulai tertarik. Hanya beberapa detik, karena saat detik mencapai menit Gisel kembali mendengus. "Kay juga bukan Elsa tapi rambutnya di kepang seperti Elsa tuh." Gisel mendorong mangkuk serealnya.
Andra menghela nafas. Sebuah rasa bersalah menyelimutinya saat mendapati wajah kecewa Gisel karena Ia tak bisa menuruti kemauan kecil putri satu-satunya. "Kita ke salon tante Sisi mau?" tanya Andra.
"Nanti Gisel terlambat." Dengan sedikit kesusahan karena tinggi kursi di meja makan, Gisel turun perlahan. Berjalan dengan kepala menunduk dan bahu meluruh meninggalkan ruang makan.
"Bawakan bekal Gisel." Andra meraih tab dan tas kerjanya. Menyusul langkah Gisel keluar dari ruang makan.
¤¤¤
Kepala berambut burgundy itu kembali menggeleng. Menarik helaan nafas lawan bicaranya yang nyaris frustasi membujuk sang model berambut burgundy dengan panjang sepinggang.
"C'mon, Je. Lo punya masa depan cemerlang di dunia modeling." bujuk seorang laki-laki kemayu itu. Lagi. Ia mencoba peruntungan terakhir.
"Ogah. Gue nggak mau ikut pemotretan Haryo." tolaknya lagi.
Laki-laki kemayu itu angkat tangan. Ia menyerah membujuk salah satu model favoritnya. "Asal jangan tolak buat pemotretan Glamour's buat edisi bulan depan. Gue males nyari model lagi." akhirnya laki-laki kemayu itu menyerah. Menerbitkan kekehan sang model.
"Anyway Je, undangan Lo. Gue lupa mau kasih pas mampir di cafe Lo."
"Thankyou, Frans." seru Jeana.
"Gue saranin ya beib, Lo bawa gandengan deh. Mario udah keliatan banget ngincer." meski berpenampilan kemayu, Frans tidak menggunakan bahasa ngondek. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia - baku dan gaul- dengan baik.
Jeana mendengus. "Sayang Bang Ian lagi ada gathering di Vietnam."
Frans menoyor kepala Jeana sebal. "Heh Je, orang cakep sebadai elu. kenapa musti gandeng Abang mulu sih." protesnya kesal. "Lo deket kan sama si GM? Gandeng aja gih."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Take You
General FictionTake and Give Seharusnya seperti itu juga cara kerja untuk semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Tapi Jeana merasa Dia too much to give, dan terdengar terlalu serakah karena Ia menginginkan lebih banyak hal untuk diterima dan dimiliki. Karena sedar...