23. Behind That Mask

321 52 19
                                    

Malam ini bulan purnama bersinar terang. Cahaya putih kekuningan itu memayungi seorang cowok yang saat ini sedang mengamati sebuah rumah besar yang terlihat tidak dihuni. Angin lembut menerpa wajahnya yang datar dan dingin. Suara-suara dedaunan yang beradu tidak sedikitpun mengganggu sepasang telinganya mendengarkan suara ketakutan dari dalam rumah itu.

Kini, ia melepas topinya. Merapikan rambutnya. Dan kembali memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Matanya memicing dengan kerutan di dahi yang ikut terbentuk. Suara berisik dari dalam sana semakin menjadi-jadi. Namun, bukannya penasaran atau kebingungan, cowok itu malah tersenyum miring dan terlihat puas.

Sesaat kemudian keluarlah seorang cowok dari dalam rumah itu. Cowok itu terlihat menghela nafasnya lelah. Ia memejamkan matanya sambil menyisir rambutnya ke belakang. Keduanya sama-sama tersenyum.

"Gue kirain lo belum datang, hampir aja gue senang-senang sendirian," ucap cowok itu setelah berdiri tepat di depan Raka.

Ya, cowok misterius itu memang Raka. Cowok berwajah datar dan beraura dingin yang menyimpan sejuta misteri di balik iris matanya yang indah.

Kini semua orang berhasil dikelabuinya. Tidak ada yang akan menyangka hal mengerikan apa yang sebenarnya cowok ini lakukan di belakang. Sikapnya yang tenang serta pribadinya yang pendiam membuat ia tampak normal di mata semua orang. Padahal pada kenyataannya, yang terlihat tidak benar-benar lebih mengerikan dari apa yang sebenarnya ia lakukan.

Cowok itu tersenyum miring, "Gue mana pernah melewatkan sesuatu yang gue suka."

"Iya, gue paham. Malam ini udah lo tunggu-tunggu banget," jawab cowok yang wajahnya juga berhasil mengelabui banyak orang itu.

"Sekarang gimana keadaannya?" tanya Raka sambil mulai melangkah menaiki satu persatu anak tangga di depannya.

"Gue nggak yakin sih, cuma keliatannya itu cewek mulai bener-bener gila."

Raka menarik nafas dalam. Kemudian mendengus gusar, "Kasian juga, anak sama nyokap sekarang sama-sama nggak waras."

"Ya mau gimana lagi, udah takdir mereka kaya gitu," cowok itu tertawa meremehkan.

Raka hanya menunjukkan wajah tenangnya. Terdengar suara rintihan dan tangisan dari balik pintu coklat yang sekarang ada di hadapannya. Ia memejamkan matanya. Berusaha menguatkan diri agar tidak kembali lengah untuk kedua kalinya.

"Lo masih nyimpen perasaan buat dia?"

"Nggak," jawab Raka dingin.

Raka kemudian memutar kenop pintu. Ia mendorong pintu itu dengan gerakan pelan. Sengaja menciptakan sedikit kengerian pada orang yang sudah ia tergetkan sejak lama.

Ia kemudian melangkah masuk dengan tenang. Wajahnya tetap datar. Tanpa suara ia akhirnya duduk di pinggir ranjang sambil menatap dingin cewek yang sedang menangis sesenggukan itu.

"Hai, Alicia. Oh, gue lupa, ini 'kan di rumah, seharusnya gue panggil pake panggilan akrab, kan?" ucap Raka, "hai, Alice."

"Raka, gue nyerah," ucap cewek itu sambil menangis, "gue mohon sama lo, udah cukup lo ngelakuin ini semua ke gue. Gue nggak salah apa-apa."

Raka tersenyum penuh arti. Ia mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala cewek itu. Kemudian ia bersikap seolah sedang menenangkan seorang anak kecil yang menangis.

"Nggak perlu takut, gue nggak akan pernah nyakitin lo, Alice. Biar gimanapun juga, gue tetap ingat kalo kita itu saudara tiri," Raka berbicara dengan suaranya yang begitu lembut. Nada yang tidak pernah ia tunjukkan ke siapapun kecuali kakaknya.

"Raka, sebenarnya semarah apa lo sama gue? Sedendam apa lo sama gue? Kenapa lo begitu kejam?" tanya Alicia frustasi.

"Stt... Lo nggak perlu teriak-teriak, cuma ada kita bertiga di sini," ucap Raka.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang