35. What's Happening?

196 30 2
                                    

Langit masih gelap. Bintang masih gemerlap. Malam masih pekat. Serangga kecil masih bersaut-sautan satu sama lain demi memecah keheningan malam yang mencekam. Keempat remaja itu, berakhir duduk lemas di taman rumah sakit. Setelah Dinan, Theo, dan Ibra tertangkap basah masuk ruang rawat Nasya tanpa izin. Ditambah Raka yang tiba-tiba dihadang oleh Papa Nasya. Mereka kini terdiam membatu seolah roh mereka telah terpisah dari raganya.

Di antara mereka, wajah Raka yang terlihat paling pias. Entah apa yang lelaki paruh baya itu katakan padanya hingga membuat ia sangat terpukul dan hilang semangat. Ia duduk di atas rerumputan yang basah karena embun. Sudah tidak peduli apakah celananya akan basah atau tidak. Sudah tidak peduli jaketnya kotor atau tidak. Sudah tidak peduli apakah tiba di rumah Thomas akan semakin memperparah hukumannya. Dalam kepalanya hanya ada Nasya. Masalah yang terjadi di antara dirinya dan Kara pun sudah tidak menyisakan bekas sedikit pun dalam ingatannya. Apalagi soal teman masa kecilnya. Raka sudah sangat masa bodoh dengan semua hal tidak masuk akal itu.

Theo melirik Raka setelah ia sendiri terdiam cukup lama sejak keluar dari rumah sakit. Nafas cowok itu masih putus-putus karena lelah beradu kekuatan dengan pengawal tambahan yang dibawa kedua orangtua Nasya. Ia juga masih lelah karena berlari memutari seluruh penjuru rumah sakit hanya untuk mencari keberadaan Raka yang lebih dulu meninggalkan koridor ruang rawat Nasya.

Theo melirik sisi kanannya. Dinan terlihat menelungkupkan kepalanya di atas kedua lutut. Kakinya ia tekuk dan ia peluk. Matanya terpejam. Rambutnya tampak basah. Nafasnya pun masih tersengal-sengal. Theo bahkan dapat mendengar nafas lelahnya karena cewek itu membuka mulutnya. Theo tau Dinan juga lelah karena sempat mencoba berontak dari kurungan dua orang pengawal berbadan besar.

“Sekarang kita harus apa?” tanya Dinan dengan suara teredam. Ketiga cowok itu melirik lemas sebelum kembali sibuk melamun, “kita bener-bener nggak diperbolehin untuk ketemu Nasya lagi.”

“Nasya nggak mungkin tinggal diam,” ucap Theo, “gue tau gimana keras kepalanya dia.”

“Sama aja! Gimana kalo orangtuanya malah ngarang cerita yang nggak bener?” tanya Dinan mulai emosi, “gue nggak ngerti kenapa hari gini masih ada orangtua se-egois itu. Nasya itu anak satu-satunya loh, masa' orangtuanya tega ngebiarin Nasya tetap dalam kondisi sakit?” Dinan berdecak dan menendang-nendang kakinya di rerumputan dengan kesal.

“Nasya itu nggak bodoh,” ucap Ibra.

“Nggak bodoh, tapi bisa dibodoh-bodohin,” jawab Dinan, “ini lagi, si Icha nggak ada kabar sama sekali. Seneng banget, ya, karena ternyata dia temen masa kecilnya Raka? Dari dulu udah ketebak emang kalo dia demen sama Raka!” tambah Dinan lagi hingga membuat Raka mengangkat kepala menatapnya.

“Lo tau kalo Icha temen masa kecil gue?” tanya Raka.

Dinan tergagu. Dalam hati ia memaki mulut embernya. Namun, tak urung ia menjawab, “Iya, gue tau!” dengan ketus.

Raka kemudian menatap Ibra dan Theo bergantian. Kedua cowok itu hanya bisa pasrah dan mengangguk lemah, “Tau dari mana?” tanyanya mengintimidasi.

Dinan segera menunduk kembali. Dalam hati masih mengumpat kesal atas kebodohannya sendiri. Di sampingnya Theo hanya bisa membuang muka. Ia terlalu malas merespon Raka dalam situasi seperti ini.

“Alicia,” jawab Ibra, “dari kak Kara.”

Raka terdiam. Selanjutnya ia mengacak rambutnya frustasi sambil mengerang kesal. Raka menendang angin sekali. Kemudian berkata, “Gue yakin ini cuma akal-akalannya cewek itu. Lagian, Kak Kara kenapa yakin banget, sih?”

“Kenapa lo nggak percaya?” tanya Theo pada akhirnya.

“Apa ada orang yang bisa percaya sama cewek kaya gitu?” tanya Raka balik. Kali ini ia mengeluarkan senyum sinisnya.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang