37. Both of Them

194 27 1
                                    

Dua hari telah berlalu dengan normal. Dinan, Theo, Ibra, Alicia, Raka, dan Icha terus melanjutkan misi mereka masing-masing. Begitupun dengan Nasya yang terus berusaha memulihkan dirinya. Ia mencoba menjernihkan pikirannya agar kondisinya bisa benar-benar membaik. Hingga Nasya akhirnya pulih dan sudah dibolehkan untuk kembali bersekolah.

Pagi ini mereka —Nasya, Dinan, dan Theo, sudah berkumpul di kantin. Hari ini sekolah dibebaskan, sebab anak-anak OSIS dan seluruh organisasi, serta ekstrakurikuler yang ada, sedang mempersiapkan acara kemah untuk melantik pengurus baru. Dalam hal ini dewan guru bertugas untuk menyiapkan konsumsi. Oleh sebab itu, seluruh murid bersorak dengan girang menyambut hari ini.

Nasya yang tidak tahu-menahu soal ini dibuat terheran-heran. Ia bingung ketika melihat suasana sekolah yang begitu riuh dengan tenda di sana-sini. Ia juga mengernyit heran ketika melihat guru-guru menggunakan baju olahraga mereka. Dinan dan Theo tidak memberitahukan soal ini padanya. Sehingga Nasya sempat duduk sendirian di kelas sebelum akhirnya Dinan menjemputnya menuju kantin.

“Untung gue nggak lolos seleksi masuk OSIS,” ucap Dinan setengah bersyukur setengah kesal.

“Muka lo nggak keliatan lagi senang,” cibir Theo.

Nasya tertawa renyah, “Kalo kecewa, ya, kecewa aja, Din,” ucapnya kepada Dinan.

Dinan mendesah jengah, “Yah..., Siapa sih, yang nggak kecewa. Tapi, kalo dipikir-pikir lagi, kalo seandainya gue lolos, gue nggak akan bisa gabung buat ghibah bareng lo berdua,” jawabnya yang kemudian cengengesan.

“Lo sendiri, kenapa malah keluar ekskul?” tanya Nasya kepada Theo.

Theo berdecak, “Dari awal gue udah bilang sama Genta gue nggak mau masuk ekskul. Cuma lo berdua tau lah gimana batunya itu anak,” jawab Theo kesal.

“Lo itu ada bakat malah disia-siain. Nggak ngerti gue pola pikir lo,” ucap Dinan.

“Gini, ya, Dinan sayang, bakat itu sebagian dari rahmat Allah. Gue nggak mau sombong,” jawab Theo diakhiri senyum yang ia ulas semanis mungkin.

Nasya tertawa pelan melihat wajah kesal Dinan yang dipanggil sayang oleh Theo, “Parah lo berdua, jadian nggak bilang-bilang.”

“Lo berdua? Maksudnya gue sama Ari Irham?” tanya Dinan dengan wajah sok polos, “kalo itu emang nggak bisa dipublikasi, Sya.”

Nasya tertawa lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya, “Sedih amat hidup lo, Yo. Nggak dianggap ama pacar sendiri,” ucapnya kepada Theo yang terlihat mengangkat bahu acuh dengan senyum simpul di wajahnya.

“Dinan masih malu-malu, Sya. Maklum, dia kan belum pernah pacaran. Apalagi sama cogan kaya gue,” jawab Theo sambil tersenyum usil menatap Dinan.

“Halu lo ketinggian!” cibir Dinan, “levelan gue itu kaya Jeon Jungkook, bukan tukang ngalusin cewek cakep tiap koridor.”

Theo tertawa puas diikuti oleh Nasya, “Ngalus itu udah sebagian dari hidup cowok. Mustahil ada cowok yang nggak suka ngalus, apalagi sama cewek cakep,” jawabnya santai.

“Lo kalo cemburu, bilang. Jangan sindir sana sindir sini kaya gitu,” lanjutnya lagi.

“Iya, terserah apa kata Pak Lurah ajalah,” jawab Dinan setelah memutar bola mata kesal.

Nasya dan Theo tertawa lagi. Rasanya Dinan ingin melempar mereka berdua dengan semangkuk mie ayam panas yang ada di hadapannya.

“Oh, iya, Icha apa kabar? Gue nggak pernah liat dia datang bareng lo berdua,” tanya Nasya setelah berhasil menghentikan tawanya.

Dinan tiba-tiba berdecak kesal. Cewek itu menarik nafas dan mendengus kasar, “Males gue bahas Icha. Bisa ganti topik aja, nggak?” tanyanya.

Nasya dibuat bingung oleh ucapan Dinan. Tidak biasanya Dinan sangat memusuhi Icha seperti ini, “Lo kenapa? Lagi ada masalah sama Icha?” tanya Nasya khawatir.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang