05. Meet Him

485 99 23
                                    

Di ruang kelasnya yang riuh, Nasya duduk berpangku tangan. Ia terlihat kesal dan beberapa kali berdecak.

Setelah beberapa kali batal, akhirnya acara reuni berhasil diadakan. Semua member grup berbahagia, kecuali Nasya. Cewek itu malah tidak bersemangat sama sekali dan berniat mencari alasan untuk kabur.

Theo yang sudah hafal kelakuan Nasya segera menghampiri meja cewek itu. Ia duduk di kursi Dinan yang masih kosong. Budaya 'datang ngaret' Dinan, adalah hal yang biasa.

“Coba-coba nggak datang?” tanya Theo langsung pada poin utama.

Nasya menoleh malas, kemudian menjatuhkan kepalanya ke atas meja, “Kali ini jangan maksa, dong. Pasti mereka bahas tentang pacar baru dia. Belum lagi kalo tuh cewek diajak gabung sama kita,” ucap Nasya dengan suara yang teredam.

“Halah, apa juga mau move on, baru ketemu gini aja udah baper,” cibir Theo.

“Nggak ada yang baper,” balas Nasya malas.

“Sama aja,” ucap Theo, “Lo tuh apa-apa dipikirin, mending dijalanin dulu, baru tau harus ngapain,” sambungnya lagi.

“Situ gampang ngomong, coba kalo jadi gue,” ucap Nasya.

“Gue pasti nggak akan se-cemen lo,” ucap Theo lagi.

“Sok-sokan,” cibir Nasya.

Tidak lama setelahnya, masuklah Raka ke dalam kelas dengan gaya khasnya. Headset menyumpal telinga, dan hape posisi landscape.

Raka sempat melirik Nasya sekilas, sebelum akhirnya bertukar sapa dengan Theo.

“Udah ngerjain tugas Bu Silvi lo?” tanya Theo dan dijawab Raka dengan deheman, “Bagi gue, ya?”

“Ambil aja,” jawab Raka yang kemudian langsung fokus dengan layar ponselnya.

Setelah lima hari bersekolah, mereka mulai berteman dan akrab. Theo juga sudah lebih sering bersama Raka daripada Genta. Karena Genta lebih senang menanggapi penggemarnya yang centil. Sedangkan dengan Raka, Theo bisa minta diajarkan materi pelajaran, sekaligus trik jadi gamers yang tangguh.

Setelah Theo mengambil buku Raka dari meja cowok itu, Theo kembali ke meja Nasya. Ia memilih menyalin tugas sambil terus berusaha membujuk Nasya.

“Sya, ikut aja susah banget,” ucap Theo yang mulai kesal sendiri.

“Nggak mau! Sakit hati gue, Theo,” ucap Nasya dengan wajah sedihnya.

“Datang bentar doang, sekedar kelihatan muka,” bujuk Theo lagi.

“Nggak.”

“Ih, Sya, kok lo lama-lama nyebelin, sih?”

“Lo yang nyebelin, paksa-paksa gue harus ikut acara reuni.”

Theo pun berdecak kesal dan kembali melanjutkan kegiatan menyonteknya. Hingga tidak lama setelahnya, ide cerdik muncul di kepalanya.

“Hambatan lo pergi itu karena takut dia ngajak ceweknya, kan?” tanya Theo dengan senyum cerah di wajahnya.

“Hambatan gue ya cuma Ibra,” jawab Nasya.

Ada rasa sedih yang muncul saat ia menyebut nama Ibra. Iya, itu adalah nama yang slalu berputar-putar di kepala Nasya. Nama yang slalu menerornya dengan rentetan chat disaat Nasya mulai ikhlas.

Saikal Ibrahim. Cukup sebutkan dua kosa kata itu di depan wajah Nasya, maka kalian langsung bisa membuatnya kehilangan arah hidup.

Memang terkesan lebay, tapi begitulah adanya. Nasya terlalu lemah jika sudah dihadapkan dengan Ibra. Ia seperti tidak dapat melakukan apa-apa, dan tidak dapat memikirkan apapun. Lalu terputarlah lagu kesukaan Theo di kepalanya.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang