16. Teaching

364 55 24
                                    

Pagi ini suasana terlihat cerah. Kelas sepuluh IPA 4 terkena jadwal pelajaran olahraga. Mereka pun berkumpul di tengah lapangan basket dan sedang diberi aba-aba.

“Silahkan keliling lapangan sebanyak lima kali putaran, dan ingat jangan ada yang memperkecil lingkaran lari.”

“Baik, Pak!” teriak seluruh murid sepuluh IPA 4 dengan serentak.

Mereka pun mulai berlari memutari lapangan. Nasya, Dinan, dan Theo yang berdiri berdekatan lagi-lagi membahas hal-hal tidak penting. Seperti ayam tetangga Theo yang kemarin tercebur ke selokan hingga membuat Theo dituduh mencuri. Padahal Theo keluar rumah saja hanya sesekali.

Kalau kata Dinan, Theo itu tinggal di dalam goa terpencil. Makanya jarang ke kota. Istilah jaman sekarang yaitu nolep. Kegiatan Theo hanyalah bermain game, bermain game, dan bermain game. Begitulah menurut Dinan.

“Semalam lo berdua keluar lagi, ya?” tanya Oscar dengan senyum usil kepada Nasya yang berlari di sebelahnya.

“Berdua? Sama siapa?” tanya Nasya bingung.

“Halah, halah, sok nggak tau,” ucap Oscar yang kemudian tertawa.

“Ini lama-lama anak sepuluh IPA 4 ngeselin semua, ya? Kaya Theo,” ucap Nasya dalam hati.

“Sama Raka, Car?” tanya Dinan.

“Iya, dong! Sama siapa lagi?” jawab Oscar dengan suara yang ia keraskan hingga menarik perhatian murid-murid lain.

Nasya segera melirik Raka yang berlari jauh di belakangnya. Atau bisa dibilang posisi Raka saat ini ada di seberang Nasya. Membuat tatapan mereka berdua bertemu dan kemudian Raka tersenyum tipis kepada Nasya. Wajah Nasya tiba-tiba merona. Ia segera membuang muka dari Raka.

“Wah, parah lo, Sya. Nggak bilang sama kita-kita,” ucap Theo.

“Semalam 'kan lo lagi berbunga-bunga karena Icha pindah, jadi gue sebagai teman yang baik nggak mau ganggu.”

“Oh, iya juga, ya?” tanya Dinan yang kemudian melirik Theo usil.

“Apaan, lo?!” tanya Theo dengan sewot.

“Santai dong, masnya,” ucap Dinan yang kemudian tertawa.

“Oh... Jadi cewek yang lo cerita itu namanya Icha, Yo?” celetuk Genta yang entah sejak kapan sudah berlari di dekat mereka.

Memang murid-murid sepuluh IPA 4 itu jiwa ghibahnya tinggi. Jadi tidak bisa tidak menguping pembicaraan orang lain. Termasuk gabung secara tiba-tiba padahal sebelumnya tidak peduli.

“Apa lagi, Ya Tuhan?” Theo berucap gusar.

Mereka berempat kemudian tertawa melihat wajah sengsara Theo. Beberapa detik kemudian Pak Dito menegur mereka yang malah asyik bercerita dan tidak fokus dengan pemanasan. Mereka pun kembali berlari dengan posisi yang benar.

Setelah beberapa menit berlalu, para murid dibebaskan. Mereka boleh melakukan apa saja selama itu masih menyangkut pelajaran olahraga. Tapi, pada kenyataannya mereka hanya duduk-duduk santai di bawah pohon besar yang ada di pinggir-pinggir lapangan.

“Jadi, lo semalam ciduk Nasya sama Raka lagi? Ada lo foto nggak?” tanya Theo.

“Nggak sempat gue foto. Soalnya gue baru sadar itu mereka pas gue udah belok ke arah rumah,” jawab Oscar.

“Kalian apaan, sih? Nggak ada pembahasan lain?” tanya Nasya dengan kesal. Sedangkan Raka yang duduk di samping Theo terlihat santai-santai saja.

“Kok lo sewot, sih, Sya? Raka aja santuy banget,” ucap Dinan.

“Ya, 'kan—”

“Apa? Lo malu sama Raka?” tanya Dinan.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang