50. Escape (2)

186 27 8
                                    

Mobil putih Ibra akhirnya berhenti di depan gerbang rumah Alicia. Ia turun dari mobil, disusul oleh Nasya. Selanjutnya ia merogoh saku celana untuk meraih ponselnya dan menghubungi Alicia. Tidak butuh waktu lama, panggilan itu langsung diterima oleh Alicia.

“Halo, Ibra?”

“Jawab jujur, lo di mana sekarang?” tanya Ibra dengan nada intimidasi.

“Gue di sekolah,” jawab Alicia santai, “emangya kenapa?”

Ibra berdecak dan mengumpat pelan, “Lo masih berusaha untuk menipu gue, hm? Lo pikir gue nggak tau kalo lo nggak masuk sekolah?” tanya Ibra balik, “sekarang jawab gue, lo ada di mana?”

“Kenapa lo tiba-tiba nyariin gue? Lo masih sayang sama gue? Lo khawatir, kan, kalo gue kenapa-kenapa?” tanya Alicia dengan nada senang.

“Hentikan semua drama lo! Gue udah muak! Sebenarnya apa yang lagi lo lakuin sama temen-temen gue, ha?” tanya Ibra dengan emosi yang berusaha ditahannya.

Terdengar tawa dari seberang, “Gue udah ketahuan kayanya. Gimana, nih? Apa gue harus selesain semua permainan gue sekarang? Apa temen-temen lo ini bisa gue singkirkan sekarang juga?” tanya Alicia yang kemudian melanjutkan tawa jahatnya.

“ALICIA! JANGAN MAIN-MAIN!” bentak Ibra yang sudah tidak bisa lagi menahan diri.

Nasya bergerak merebut ponsel Ibra. Ia kemudian menyalakan loudspeaker, “Alicia, gue mohon sama lo, tolong jangan sakitin temen-temen gue. Mereka nggak salah apa-apa. Mereka nggak tau apa-apa,” ucapnya dengan nada memohon.

“Nggak tau apa-apa kata lo?” Alicia tertawa keras. Kali ini lebih keras dari sebelumnya, “mereka bahkan tau lebih banyak daripada apa yang lo tau.”

Nasya terdiam. Ia menatap kosong ponsel itu.

“Alicia! Berhenti sekarang atau gue yang bakal bikin lo menderita?” ancam Ibra setelah merebut kembali ponselnya.

“Coba aja bikin gue menderita kalo lo emang bisa,” jawab cewek itu yang kemudian langsung memutus panggilannya.

Ibra mengumpat keras dan memukul pahanya kesal, “Bener-bener lo Alicia,” ucapnya geram.

“Sebenarnya apa yang lo semua tau, tapi gue nggak tau?” tanya Nasya kepada Ibra dengan nada sendu.

“Nanti lo akan tau dengan sendirinya. Lebih baik kita cari Theo sama Dinan dulu,” ucap Ibra yang langsung menggamit tangan Nasya dan membawa cewek itu masuk ke dalam mobil.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini Ibra terlihat memegang setir mobil dengan kuat. Bahkan buku-buku jarinya terlihat memutih. Ia benar-benar diselimuti amarah. Ia sudah tidak bisa bersikap baik kepada Alicia jika ia menemukan cewek itu.

Sedangkan Nasya, ia merasakan pusing yang begitu hebat. Banyak hal yang kini berseliweran di dalam kepalanya. Fokusnya tidak lagi pada keadaan Theo dan Dinan. Pikirannya terganggu dengan ucapan Alicia di telepon.

“Sebenarnya apa aja yang udah dilakuin Dinan sama Theo selama gue sakit?” tanyanya dalam hati.

Tiba-tiba saat sedang asik melamun dan memikirkan banyak hal, ponsel Ibra memecah keheningan di antara mereka berdua. Cowok itu melirik ponselnya. Ia berdecih kesal, baru kemudian menerima panggilan itu.

“Mau apa lo telpon gue?” tanya Ibra langsung pada sasaran.

“Gue tau di mana Theo sama Dinan,” ucap Raka di seberang.

“Ha? Apa? Lo serius?” tanya Ibra yang kemudian menepikan mobilnya untuk lebih fokus menelepon.

Raka menghela pelan. Suaranya kini terdengar lebih kecil, “Tolong bawa polisi sama ambulans ke sini. Secepat mungkin!”

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang