40. Queen of Snakes

201 27 7
                                    

Malam itu, setelah kejadian Nasya ambruk di sekolah, jurit malam dibatalkan. Ketiga kelompok itu diminta kembali ke tenda dan istirahat. Permainan diganti dengan nyanyi dan joget bersama. Anak-anak ekskul juga diminta untuk unjuk kebolehan di tengah lapangan. Anak OSIS mengendalikan keadaan dengan aman. Sebagian guru juga langsung bertindak cepat untuk mengalihkan perhatian murid-murid.

Theo bernafas lega saat mendatangi anak-anak OSIS. Rupanya percakapan di antara Raka dan Nasya tidak terekam kamera tersembunyi. Posisi mereka berdua tertutup pilar koridor dan jauh dari sudut kamera sehingga suaranya pun tak terekam. Kejadian yang terlihat pada rekaman hanya saat Nasya ambruk dan Raka yang berlari dengan panik menuju tenda medis. Hal ini membuat seluruh murid bertanya-tanya. Sebab bukan sekali ini Nasya ambruk. Beberapa di antaranya penasaran. Sebenarnya apa yang terjadi pada cewek itu.

Di sisi lain ada Dinan yang terus menangis sesenggukan ketika menemani Nasya di UKS. Cewek itu tidak berhenti merapalkan doa kepada teman terbaiknya itu. Sebelum benar-benar masuk ke dalam UKS, Dinan sempat melepaskan kekesalannya kepada Icha yang saat itu tengah memeluk manja tangan Raka.

“Lo ular! Gue nyesel pernah temenan sama lo!” begitu ucapnya.

“Lo cewek sampah! Gue nggak nyangka lo bisa menutupi semua kebusukan lo dengan sikap sok malaikat lo itu!” katanya lagi saat Icha mulai berkaca-kaca, “dasar sanca! Piton! Garaga lo!”

Cewek itu mengabsen semua nama ular yang ia tau. Setelah itu Theo dengan cepat menarik Dinan pergi sebelum cewek itu menggagalkan rencana mereka untuk mengungkap semua kebusukan Icha hingga cewek itu tidak bisa lagi beralibi. Selanjutnya Dinan dapat mendengar Icha mengadu dan merengek-rengek pada Raka.

Tiba-tiba terdengar suara meja yang dibanting keras. Hal itu membuat ketiga remaja yang ada di sana mengelus-elus dada mereka karena kaget. Selanjutnya ketiga remaja itu menatap tajam si pelaku.

“Lo kenapa, sih?” tanya Theo kesal.

Dinan masih berdiri dengan tangan bertumpu di meja, “Gue udah nggak bisa tahan diri lagi, ya!” ucapnya penuh emosi.

“Lo sabar, dong, lo sabar,” ucap Ibra berusaha menenangkan.

“Gini, ya, gue itu cewek! Gue nggak bisa liat ada ular di sekitar gue! Gue jijik!” jawab Dinan yang lagi-lagi membanting meja yang ada di depannya.

Theo dan Ibra sudah menunduk berusaha menutupi wajah mereka karena malu dilihat oleh pengunjung kafetaria yang lain.

“Dinan, lo kalo mau liar liat-liat situasi, kek,” ucap Theo yang menatap Dinan sengit.

Dinan duduk dan menjalin jari-jari tangannya di atas meja, “Apa nggak bisa kita ungkapin sekarang aja? Ih, gue itu nggak bisa pura-pura baik terus sama Icha,” ucapnya.

“Woy! Sejak kapan lo pura-pura baik sama Icha? Dari awal tau Icha licik gitu aja lo udah sengit banget, hampir aja kita gagal,” ucap Theo, “mana malam itu lo kelepasan emosi. Ah, kesel gue punya temen emosian kaya lo, nggak bisa diajak main cantik.”

Dinan mengacak-acak rambutnya frustasi, “Gue muak, Yo, gue nggak bisa diam di saat gue tau ada bahaya di depan gue.”

“Terus, lo pikir dengan ngasih tau Raka semuanya, ngasih tau Nasya semuanya, ngasih tau Kak Kara semuanya, mereka bakal langsung ngemusuhin Icha?” tanya Theo, “lo pikir Icha langsung kicep diam dan nggak berani ngapa-ngapain lagi?”

“Lagian Nasya kenapa, sih, tiba-tiba bisa lupa kalo Icha itu licik? Emang ada, ya, amnesia setengah-setengah kaya gitu?” tanya Dinan.

Ibra mendesah jengah melihat tingkah Dinan yang tidak bisa dikontrol, “Gini, nih, kalo dapat jatah pinter cuma seperempat,” cibir Ibra.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang