38. He Tells the Truth

198 29 2
                                    

Langit kemerah-merahan memayungi langkah mereka pada jalan setapak di taman. Kupu-kupu dengan sayap warna-warni berterbangan di sekitar mereka. Mengitari bunga-bunga mekar nan indah yang tumbuh menghias taman. Rumput hijau tebal menyelimuti taman bak permadani mahal. Banyak anak-anak yang berlari mengelilingi taman sambil tertawa-tawa ringan. Pemandangan yang sungguh ampuh menghilangkan penat setelah beraktivitas penuh selama seharian.

Nasya tersenyum. Ia jadi teringat masa kecilnya dulu. Saat di mana ia dan orangtuanya masih memiliki hubungan yang hangat. Hubungan yang membuat siapapun iri saat melihatnya. Hubungan keluarga yang harmonis dan bahagia.

“Kamu kangen masa kecil?” tanya Ibra saat menyadari Nasya memperhatikan anak-anak itu dengan mata sendunya.

Nasya menoleh dan tersenyum pada cowok itu, “Sedikit,” jawabnya.

Ibra tersenyum tulus padanya. Mereka kemudian duduk pada salah satu bangku taman yang terletak dekat dengan ayunan. Cowok itu menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Nasya, “Maafin aku atas semua sikap aku yang kelewatan sama kamu,” ucap Ibra dengan tatapan yang tidak lepas dari wajahnya.

“Selama ini, Alicia udah berhasil nipu aku sama sikap sok baiknya,” sambung Ibra.

Nasya diam menatap cowok di sampingnya itu. Cowok itu menunduk. Ia memperhatikan jalinan tangannya, “Kamu nggak lagi bohong, kan?” tanya Nasya

Ibra menoleh dengan cepat. Cowok itu kemudian tersenyum sumringah dan terkekeh, “Ternyata kamu masih ingat semua gerak-gerik aku,” ucapnya dengan senyum lebar di wajahnya, “kamu masih ingat kebiasaan aku kalo lagi bohong,” ucapnya lagi.

Nasya tersenyum miring. Ia menoleh ke arah lain dan memperhatikan keadaan taman yang masih ramai. Tiba-tiba ia teringat dengan Raka. Cowok itu selalu tau gerak-geriknya saat ia sedang gugup. Nasya jadi rindu duduk berdua bersama cowok itu di taman dekat rumahnya.

“Ibra,” panggil Nasya hingga Ibra menileh menatapnya, “kayanya lucu kalo kita masih ngobrol pake aku-kamu,” ucapnya yang kali ini menatap Ibra lurus.

“Maksudnya?” tanya Ibra bingung.

“Aku mulai ngerasa canggung aja,” jawab Nasya, “walau sebenarnya dari dulu aku juga ngerasa canggung. Tapi, sekarang rasanya jadi makin aneh. Karena kita bukan siapa-siapa,” jelas Nasya.

Ibra diam. Cowok itu kemudian melebarkan senyumnya, “Raka akhirnya berhasil dapatin hati lo, ya,” ucapnya senang.

Melihat reaksi Ibra yang diluar dugaan, Nasya menatap cowok itu bingung, “Maksudnya?”

“Yah, akhirnya lo bisa melupakan perasaan lo buat gue dan beralih ke Raka,” jawabnya, “gue senang ada seseorang yang akhirnya bisa berperan sama kaya gue di hidup lo.”

“Kalo orang itu Raka, gue rela deh, dilupain sama lo,” ucapnya lagi.

Nasya terkekeh pelan, “Nggak, gue nggak akan ngelupain lo, kok,” jawab Nasya, “lo itu udah kaya abang buat gue, sama kaya Theo.”

Ibra tersenyum kalem kali ini. Ia menjulurkan tangannya untuk mengacak gemas rambut Nasya, “Iya, adik perempuan satu-satunya,” jawab Ibra yang kemudian terkekeh.

Nasya ikut tertawa. Di saat bersamaan rasanya ia ingin menangis. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya rasa untuk Ibra memang masih tersisa. Nasya rindu momen di mana ia bisa tertawa lepas bersama cowok itu. Bohong kalau Nasya bilang ia sudah bisa melepaskan cowok itu sepenuhnya. Bohong jika Nasya bilang ia tidak lagi mencintainya. Tapi, ia harus menyudahi semua perasaan itu hari ini. Karena hampir seluruh hatinya sudah berhasil dijerat oleh Raka.

“Makasih, ya, udah slalu sayang sama gue. Walau rasa sayang lo memang nggak akan pernah bisa lebih daripada itu,” ucap Nasya dengan senyum yang tidak luntur dari wajahnya.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang