44. An Identity

219 31 6
                                    

Nasya saat ini sedang dalam perjalanan menuju rumahnya. Setelah dengan terpaksa masa rawatnya diperpanjang sampai seminggu, akhirnya ia diperbolehkan kembali ke rumah. Di sepanjang jalan, ia hanya diam sambil menatap ke luar jendela. Kejadian semalam masih terekam jelas dalam ingatannya. Berkali-kali Nasya mencoba untuk mengontrol detak jantungnya agar kembali normal. Tapi, usahanya selalu berakhir sia-sia. Bahkan rona merah selalu muncul di wajahnya. Membuat dokter yang memeriksanya mengira ia sudah terserang demam.

Senyum Nasya kembali terulas entah untuk yang keberapa kali hari ini. Tindakan Raka semalam cukup membuatnya yakin bahwa cowok itu memang tidak sungguh-sungguh ingin menjauhinya. Semua perubahan sikap Raka pasti dilatarbelakangi sesuatu. Ia yakin Dinan, Theo, dan Ibra pasti tau alasan Raka melakukan hal itu. Namun, mereka mencoba menutupi itu semua darinya agar pikirannya tidak terganggu.

Kali ini Nasya tidak akan lagi mendesak Raka untuk jujur. Ia juga tidak akan mengorek informasi apapun dari Dinan, Theo, dan Ibra. Sebab ia tau bagaimana teman-temannya itu. Mereka pasti sedang melakukan sesuatu untuk melindungi dirinya. Apalagi Nasya tau bahwa teman-temannya itu akhir-akhir ini sedang sibuk menyelidiki soal teman masa kecil Raka yang sebenarnya. Agar mereka bisa menyingkirkan Icha —yang ternyata berbohong dan bermuka dua, dari sisi cowok itu.

Saat ini Nasya hanya ingin fokus mencari tau tentang masa lalunya. Nasya hanya ingin penyakitnya segera sembuh sebelum ia pergi jauh. Kali ini tidak ada lagi alasan untuk Nasya membiarkan orangtuanya merahasiakan semua itu darinya. Ia bertekad dalam hati kalau ia pasti bisa menemukan semua rahasia yang ditutupi oleh orangtuanya dengan bantuan teman-temannya itu.

Begitu tiba di rumah, Nasya tidak mengatakan sepatah katapun kepada orangtuanya dan langsung berlari menuju kamarnya. Ia membongkar laci kamarnya untuk mencari sebuah buku kecil yang tiba-tiba terlintas di kepalanya siang tadi. Buku kecil yang juga berwarna merah muda, seperti kotak yang pernah ada di kamarnya itu.

"Ketemu!" pekik Nasya girang, "gue yakin buku ini bisa kasih gue jawaban soal masa lalu gue, dan untungnya Mama nggak mindahin nih buku dari kamar gue."

Nasya berdiri dan mengunci pintu kamarnya. Ia tidak ingin siapapun mengganggu rencananya kali ini. Setelahnya ia segera duduk di lantai dan mulai membuka buku catatan itu. Degup jantungnya berdegup dengan tidak sabar. Membuat tangan Nasya tanpa sadar bergetar.

Pada halaman pertama buku tertulis identitas Nasya. Tulisan tangan itu terlihat sedikit berantakan khas tulisan anak-anak. Dan Nasya sangat yakin bahwa itu adalah tulisan tangannya.

Nafasnya tercekat. Matanya membulat dengan mulut menganga kecil. Ia dengan cepat meraih ponselnya dan memotret halaman buku itu. Tangannya bergetar hebat. Jantungnya berdetak semakin cepat.

"Jadi, G itu--" gumamnya, "kenapa Mama bohong? Apalagi yang disimpan sama Mama?"

Nasya menutup bukunya dan menyimpannya di bawah bantal. Ia mengirim foto itu kepada Dinan dan Theo, berlari keluar kamar. Ia berniat untuk segera menyimpan sepatu yang kemarin dilihatnya, sebelum Mamanya lebih dulu menyembunyikan sepatu itu. Nasya juga ingin mencari berkas-berkas lama yang disimpan Mamanya di gudang. Berkas yang mungkin berisi biodata Nasya yang asli.

Nasya mendadak berhenti. Ia tercekat ketika melihat pintu gudang terbuka lebar, "Apa Mama sama Papa ada di dalam?" gumamnya yang kemudian kembali berlari.

Benar saja, saat berdiri di ambang pintu kayu itu ia melihat Papa dan Mamanya sedang sibuk memasukkan sesuatu ke dalam kantong kresek besar. Kedua orangtuanya itu berjengit kaget dan terlihat gugup. Mereka bertingkah seperti maling yang tertangkap basah akan mencuri.

"Na-Nasya?" ucap Mamanya gagu, "ka-kamu..., ngapain di sini? Kamu, kan baru sembuh. Masuk kamar gih, istirahat."

"Terus ngebiarin Mama buang semua benda yang berhubungan sama masa lalu aku?" tanya Nasya sarkas.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang