30. Amne- What?!

238 32 12
                                    

Setelah berputar-putar di jalan raya selama hampir lima belas menit, akhirnya Theo menepikan dan memarkirkan motornya di depan sebuah kafetaria kecil yang tampak sepi namun elegan. Sebelum benar-benar mengendarai motornya meninggalkan sekolah, ia sempat menolak permintaan Nasya untuk menceritakan hal-hal yang ia ketahui tentang masa lalu cewek itu. Sebab, Theo telah lebih dulu berjanji kepada orangtua Nasya untuk tidak berkata apa-apa pada cewek itu.

Namun, Theo mana tega menolak permintaan cewek itu. Apalagi mata Nasya terlihat berkaca-kaca ketika memohon padanya. Akhirnya Theo mengiyakan dan segera membawa Nasya ke tempat yang jauh dari kawasan sekolah mereka agar tidak ada anak-anak yang mendengar masa lalu Nasya yang Theo rasa bersifat rahasia.

Masuklah keduanya ke dalam kafetaria itu. Kemudian Theo segera membawa Nasya menuju tempat paling sudut yang berada di sisi kaca samping kafetaria agar tetap dapat melihat suasana luar. Suasana luar yang terlihat sedikit mendung dan sepi.

Setelah memesan dua coklat panas, Theo kini duduk di hadapan Nasya dan menatap cewek itu serius. Nasya masih diam. Pandangannya terlempar ke luar jendela kaca yang ada di sisi kirinya. Pikirannya melayang entah kemana. Banyak hal yang ia pikirkan. Tapi, tidak ada satupun yang dapat ia ungkapkan.

“Sya,” panggil Theo pelan membuat Nasya menoleh menatapnya, “lo sebenarnya kenapa?” tanya Theo.

Nasya mendesah dan memutar-mutar ponselnya yang tergeletak di atas meja, “Akhir-akhir ini banyak banget hal yang gue pikirin, Yo,” jawabnya dengan ekspresi wajah sendu.

“Apa lo teringat sesuatu?” tanya Theo.

“Daripada teringat, ini lebih kayak kepikiran,” Nasya menatap Theo lurus, kemudian tersenyum getir, “ada yang disimpan orangtua gue dari gue.”

Theo terlihat sedikit tersentak. Cowok itu lantas mematung dengan mulut sedikit terbuka, “Lo—”

“Semalam gue nggak sengaja dengar obrolan orangtua gue di dapur. Gue pikir mereka udah tidur, padahal mereka lagi bahas sesuatu yang penting soal gue,” Nasya langsung memotong keterkejutan Theo, “penyakit,” sambung Nasya.

Theo melebarkan matanya.

“Masa lalu,” ucap Nasya lagi setelah terdiam lama, “dan sesuatu yang nggak boleh gue tau.”

“Inilah kenapa gue memilih lo sebagai seseorang yang membantu gue cari tau semuanya. Karena gue yakin, lo pasti tau segalanya. Kita udah temenan dari SD, dan lo itu satu-satunya temen yang udah gue anggap kaya abang gue sendiri. Jadi, tolong bantu gue, Yo,” pinta Nasya dengan tatapan berharap yang tidak bisa diabaikan oleh Theo.

Theo menatap lurus Nasya kemudian mendesah, “Oke, akan gue bantu sebisa gue.”

Nasya tersenyum lebar, “Kalo gitu, apa lo udah siap jawab semua pertanyaan gue?”

Theo mengangguk mantap, “Jadi, lo mau nanya apa?”

“Apa lo tau soal penyakit gue?” tanya Nasya yang mulai kembali serius.

Theo terdiam dengan tatapan fokus pada secangkir coklat panas miliknya yang baru saja tiba lima menit yang lalu. Ia terlihat berpikir dan menimbang-nimbang jawaban.

“Jujur, Yo. Gue mohon,” Nasya lagi-lagi menatap Theo sendu, membuat hati cowok itu tersentil.

Theo mendesah, “Sebenarnya gue nggak akan tau lo sakit apa kalau waktu itu lo nggak lupa sama gue.”

Mata Nasya melebar, “A-apa?! Gu-gue pernah lupa sama lo?”

Theo menatap Nasya dan mengangguk, “Waktu awal lo masuk ke sekolah, lo adalah murid pindahan yang pendiam dan nggak tersentuh,” ucap Theo mulai bercerita.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang