32. Sadness

219 31 6
                                    

Ruangan bernuansa biru langit itu diselimuti keheningan. Sejak kemarin malam hanya detik jam yang menjadi musik pengiring di dalam ruangan itu. Si empunya kamar bahkan tidak bergerak sedikit pun. Padahal hari sudah pagi menjelang siang. Sinar matahari sudah sejak tadi menjadi penerangan di ruangan itu.

Setetes air mata terlihat mengalir dari pelupuk mata kanan gadis itu. Bibir pucatnya terlihat kering. Matanya tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka. Tidurnya lelap sekali. Wajahnya tenang sekali. Tetapi, kesedihan hatinya tidak dapat ia bendung meski ia dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beban pikiran masih saja memenuhi kepalanya. Ditambah lagi, tidak ada seorangpun temannya yang masuk menjenguk sejak ia dipindahkan ke ruang rawat inap.

Sungguh menyedihkan nasibnya. Semenjak menginjakkan kaki di bangku SMA, seolah masalah tidak pernah berhenti menghampirinya. Semakin hari semakin memuakkan. Semakin hari semakin sulit diselesaikan. Masalah awal belum menemukan titik pokok dan solusi, sudah muncul masalah lain yang kembali menguras tenaga. Dalam lelapnya pun ia masih merasa seperti dikejar-kejar oleh masalah.

Terdengar suara berisik yang sedikit mengganggu dari luar. Namun, tampaknya Nasya sama sekali tidak terganggu dengan itu. Ia masih nyaman memejamkan matanya. Padahal yang menimbulkan keributan itu adalah teman-temannya yang sedang berusaha mencari cara untuk dapat masuk menjenguknya.

“Pak, tolong bantu kita berempat,” ucap Dinan memohon. Matanya mulai berkaca-kaca. Segala macam usaha sudah mereka lakukan sejak semalam. Tapi, tidak ada satupun yang berhasil. Bahkan Ibra yang sejak dulu selalu diharapkan kehadirannya oleh orangtua Nasya, semalam juga tidak diizinkan untuk melihat Nasya.

Soal Ibra dan Raka yang ternyata adalah teman akrab tidak dipermasalahkan oleh Dinan dan Theo. Mereka bahkan tidak membahas hal itu sedikit pun. Raka mengetahui hal ini dari Ibra saat mereka berdua hendak kembali ke rumah.

“Yang di dalam itu, sahabat kami, Pak. Dia butuh semangat dari orang-orang terdekatnya,” ucap Dinan lagi, “kalo emang orangtuanya nggak bisa nenemin dia di dalam, ijinin kami yang nemenin dia, Pak.”

Raka mendesah jengah sambil mengacak rambutnya. Ia benar-benar sudah kehabisan akal. Mengelabui dua orang pengawal saja tidak bisa. Padahal orang-orang di luar sana yang mengenalnya, untuk menatap matanya pun mereka tidak bernyali. Tapi, lihatlah betapa lemahnya Raka saat ini.

“Pak! Apa saya harus nangis di sini? Apa saya harus cium kaki Bapak biar Bapak percaya?” tanya Dinan dengan kesal.

Kalau bukan karena diselimuti perasaan khawatir, gelisah, dan rasa bersalah, Dinan tidak akan mau bersusah-susah melakukan hal ini. Tapi, walau bagaimanapun juga yang ada di dalam sana adalah Nasya. Temannya. Sahabatnya. Keluarganya.

“Tuan dan Nyonya tidak mengizinkan siapapun untuk menemui Nona Nasya. Kami hanya mengikuti perintah,” jawab salah satu dari kedua pengawal itu.

“Terus kalo ternyata di dalam Nasya butuh bantuan, gimana?! Kalian bahkan nggak pernah ngecek kondisi Nasya! Kalo ada apa-apa sama Nasya gimana?!” kali ini Theo mulai emosi.

“Pak, yang di dalam itu manusia hidup. Bukan mayat,” timpal Ibra yang sejak tadi hanya diam.

“Tolong, Pak, kalo emang kita nggak boleh masuk berempat, ijinin satu orang aja di antara kita buat masuk ke dalam,” Dinan kembali melancarkan bujukannya.

Kedua pengawal itu saling bertatapan. Kemudian kembali menatap keempat remaja SMA itu, “Oke, cuma kamu yang boleh masuk ke dalam. Tapi, kamu nggak boleh bawa masuk barang apapun selain hape.”

“Siap, Pak! Makasih banyak!” pekik Dinan girang, “gue masuk dulu,” ucapnya kepada ketiga cowok itu dan segera berlari ke dalam dengan cepat.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang