43. On the Rain

211 28 11
                                    

Icha melemparkan kotak merah muda yang dimaksud Raka, ke atas meja yang ada di depan cowok itu, "Lo datang ke sini malam-malam cuma demi kotak itu? Apa lo masih nggak percaya sama gue?" tanyanya dengan mata yang mulai memerah.

Raka melempar tatapan sengit kepada cewek itu, "Lo bilang cuma demi kotak ini?" tanyanya sarkas, "apa selama ini lo nggak pernah menghargai barang pemberian gue?"

Raka melangkah mendekat dengan tatapan mengunci iris segelap malam milik Icha, "Ini bukan cuma sekedar kotak! Lo seharusnya juga tau betapa berharganya kotak ini kalo lo emang bener-bener orang yang gue maksud selama ini," bisiknya dingin, "dan lo nanyak apa gue masih nggak percaya sama lo? Jawabannya udah jelas kalo gue emang nggak pernah percaya sama semua ucapan lo!"

Icha tersentak saat suara Raka meninggi. Tangannya bergetar. Bibirnya mulai pucat dengan keringat dingin menetes satu persatu dari keningnya, "Ta-tapi kenapa? Gue udah nunjukin semua bukti kalo gue ini benar-benar teman masa kecil lo! Apa itu semua belum cukup untuk meyakinkan lo?"

Raka mendesis, "Lo pikir gue semudah itu dibodohin?" tanyanya yang kemudian menggeleng pelan dengan senyum sinis, "it's not that easy."

Raka berjalan mundur dan meraih kotak itu. Setelahnya ia melangkah menuju motornya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia benar-benar sudah muak meladeni cewek itu. Raka sudah lelah bersikap bodoh dan berpura-pura. Ia tidak bisa lagi bersikap sok baik. Ditambah lagi kabar kepindahan Nasya yang terlalu tiba-tiba, membuat ia tidak bisa berpikir jernih selama dua hari ini. Dalam kepalanya hanya ada wajah sendu cewek itu.

Raka sangat ingin berada di sisinya. Tapi, ia tidak bisa melakukan itu jika ia tidak mau Nasya terluka lagi karenanya. Raka tidak bisa lagi melibatkan Nasya dalam semua masalahnya. Raka tidak ingin cewek itu kenapa-kenapa karenanya. Ia pasti akan sangat merasa bersalah kalau sampai Nasya terluka seperti yang sudah-sudah. Walau sebenarnya ia tau kalau sikap dinginnya pun sudah menyakiti cewek itu. Tapi, setidaknya hal itu tetap membuat Nasya berada dalam posisi aman dan tidak terancam. Terutama ia tidak lagi terancam dengan semua rencana busuk Icha.

"Apa lo bersikap kaya gini karena sekarang lo udah punya Nasya?" tanya Icha tajam, "apa Nasya udah berhasil menggantikan posisi gue di hati lo?"

Raka berhenti melangkah. Ia dengan cepat membalikkan tubuhnya dan menatap tajam Icha, "Ini semua nggak ada sangkut pautnya sama Nasya."

"Oh, yah?" tanya Icha yang kemudian mengeluarkan senyum sinisnya, "gue ini temen masa kecil lo, temen yang udah lebih dulu mengenal lo daripada Nasya. Temen yang udah tau gimana baik-buruknya lo! Yang dulu selalu ada buat lo! Tapi apa yang lo lakuin sekarang? Lo lebih memihak Nasya daripada gue?"

"Sekali lagi gue bilang, ini nggak hubungannya sama Nasya!" bentak Raka. Untung suasana rumah Icha sedang kosong karena orangtuanya belum kembali dari luar kota, "dari awal gue emang nggak suka ngeliat lo."

"Gue tau kalo lo itu udah lama pengen merebut gue dari Nasya. Gue tau lo udah susun rencana sedemikian rupa supaya Nasya celaka," sambung Raka.

Icha terkekeh sinis, "Apa Nasya udah menghasut lo supaya lo benci sama gue?" tanyanya dengan mata berair, "apa Nasya yang ngomong gitu sama lo?"

"Berhenti nyalah-nyalahin Nasya atas hal yang nggak pernah dia lakuin," Raka memperingati dengan aura dinginnya yang mengintimidasi.

"Gue sayang sama lo! Tapi, kenapa lo selalu lebih memihak Nasya?" tanya Icha dengan nada bicaranya yang meninggi, "Dia bukan siapa-siapa lo! Sedangkan gue adalah orang yang selalu menunggu lo sejak lama!"

"Gue nggak akan pernah ngebiarin Nasya mendapatkan lo!" Icha berujar tajam.

"Jangan pernah berani lo sakitin Nasya atau gue langsung yang akan membalas semua perbuatan lo," ancam Raka.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang