34. So, Do We?

194 29 0
                                    

Langit kini mendapat jatah rehatnya. Matahari berganti tugas jaga dengan bulan. Kicau burung digantikan nyanyian merdu serangga-serangga malam. Kawanannya digantikan kawanan kelelawar.

Nasya bersandar pada kepala brangkarnya. Matanya menatap kosong jam dinding yang tergantung tepat di depannya. Pikirannya menerawang jauh. Memikirkan berbagai macam hal. Ia merasa kesepian. Seharian ini tidak ada yang menemaninya di rumah sakit. Ketika hendak menelepon teman-temannya, Nasya sadar ponselnya disimpan oleh Mamanya.

Nasya mendesah lelah. Ia memejamkan mata. Keadaannya sudah seperti ini, tapi kedua orangtuanya masih saja bersikap egois. Bahkan untuk menemuinya pun mereka tidak punya waktu. Apa mereka setakut itu ia akan menuntut cerita masa lalunya? Mereka sengaja menghindar darinya. Apa mereka pikir keadaan Nasya akan membaik karena hal itu?

Tiba-tiba terdengar suara berisik dari arah pintu ruang rawatnya. Nasya menoleh. Ia dapat mendengar suara teriakan Dinan memanggil namanya. Diikuti suara Theo dan juga suara seseorang yang sudah sangat lama tidak Nasya dengar.

“NASYA! KALO LO DENGAR SUARA KITA, TOLONG DIJAWAB. KITA PENGEN TAU KEADAAN LO WALAU CUMA DARI BALIK PINTU,” teriak Theo.

Nasya terkekeh kecil. Ia menyeka air matanya yang menetes, “Gue baik-baik aja,” saut Nasya dengan suaranya yang masih terdengar lemah.

Suara berisik dari luar mulai berhenti. Nasya masih memandang daun pintu berwarna coklat itu. Ia berharap teman-temannya akan masuk untuk menghiburnya. Tetapi, sepertinya pengawal yang ditugaskan berjaga oleh kedua orangtuanya itu tetap melarang mereka untuk masuk.

Nasya tersenyum kecut. Ia kemudian menghela pelan dan merubah posisinya menjadi berbaring. Mungkin teman-temannya itu sudah pergi. Mungkin mereka sudah lelah memohon di depan pintu selama Nasya masih belum siuman. Mungkin, Ia memang sudah ditakdirkan untuk kehilangan semua orang yang memberi warna dalam hidupnya.

Saat hendak memejamkan matanya, pintu berwarna coklat itu terbuka dengan kasar. Nasya kembali terbangun dan melihat ketiga temannya itu membanting pintu keras-keras kemudian menguncinya dari dalam. Nasya terdiam dan terpaku pada posisinya.

“Buka pintunya!” teriak salah satu pengawal itu dari luar.

Dinan dan Theo tertawa terbahak-bahak sambil ber-tos ria. Sedangkan Ibra terlihat bersandar lelah pada pintu itu. Dari luar mereka dapat mendengar bahwa kedua pengawal itu ditegur oleh perawat karena telah membuat keributan.

“Mampus!” ucap Dinan sambil menendang pintu itu kesal.

“Kalian?” Nasya akhirnya bersuara dan menyadarkan ketiga remaja itu bahwa mereka kini telah berhasil masuk ke ruang rawat Nasya.

“Sya!” pekik Dinan dan Theo riang. Mereka segera berlari menghampiri Nasya. Dinan bahkan langsung menarik Nasya dan memeluknya. Sedangkan Ibra hanya bisa tersenyum memandang mereka bertiga.

“Sya, lo baik-baik aja, kan?” tanya Theo penuh perhatian, “kepala lo masih sakit? Atau lo ngerasa ada yang beda?” tanyanya lagi.

“Sya, lo masih ingat sama kita, kan?” tanya Dinan yang kini melepas pelukannya karena Nasya tidak juga bereaksi.

Nasya tersenyum. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa begitu senang. Ia benar-benar mengharapkan kehadiran teman-temannya itu dan kini mereka sudah berdiri di hadapannya.

“Gue baik-baik aja. Kata dokter besok gue udah bisa balik ke rumah,” jawab Nasya.

“Syukurlah, aku takut kamu kenapa-kenapa,” ucap Ibra yang kini berdiri di sisi lain brangkar.

Nasya menoleh menatapnya, “Kamu kok bisa ada di sini?” tanya Nasya.

Ibra tersenyum simpul, “Aku udah seharusnya ada di sini. Apa kamu nggak ingat, dulu tiap kali kamu masuk rumah sakit, aku yang slalu ditugasin untuk jagain kamu?” tanyanya lembut.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang