45. Such a Liar

186 26 6
                                    

Langit gelap kembali menyapa. Malam ini bintang bersinar terang tanpa penghalang. Menemani sang bulan yang berbentuk layaknya pisang. Saat ini seorang cewek terlihat duduk di salah satu bangku taman sambil membaca sebuah buku di tangannya. Cewek itu adalah Nasya.

Malam ini ia sudah membuat janji dengan Dinan dan Theo. Mereka akan mengupas bersama isi buku catatan Nasya itu. Buku yang hampir seluruh isinya bertuliskan tentang interaksi seorang anak perempuan pemberani dengan seorang anak laki-laki yang pengecut. Pertemuan mereka diawali ketidaksengajaan si anak perempuan melempar sepatu kesayangannya hingga mengenai si anak laki-laki.

“Sya,” panggil Dinan yang baru saja tiba.

Nasya segera menutup bukunya dan mengulas senyum lega saat melihat dua temannya itu datang. Ia menggeser posisi agar kedua temannya itu bisa duduk.

“Maaf, ya, kita berdua telat,” ucap Theo.

“Nggak apa-apa, kok,” jawab Nasya masih sambil tersenyum.

“Gimana keadaan lo?” tanya Dinan.

“Gue aman-aman aja,” jawab Nasya, “lo nggak perlu mikirin keadaan gue. Sekarang yang paling penting, kita harus cepet-cepet cari tau tentang masa lalu gue lewat buku ini.”

“Gimana mau cari tau tentang masa lalu kalo keadaan lo aja masih nggak stabil,” jawab Theo, “kita udah capek banget kena amuk bokap-nyokap lo.”

“Iya, nih, berasa sekolah militer gue dibentak-bentak terus,” timpal Dinan.

Nasya terkekeh pelan, “Maaf, ya, gue selalu ngerepotin kalian,” ucapnya sendu.

Dinan dan Theo kemudian kompak tertawa keras, “Santai aja kali, Sya,” ucap Theo, “kita berdua cuma becanda.”

“Tapi, bo'ong,” jawab Dinan yang kemudian tertawa bersama Theo.

“Apaan, sih, lo berdua? Nggak jelas banget, tumben,” ucap Nasya sembari tersenyum geli.

“Kita berdua lagi mencoba untuk lebih santai aja. Soalnya akhir-akhir ini kita tegang terus, kan?” jawab Theo yang kemudian diangguki oleh Dinan, “jangan sampe stress.”

“Terutama lo, Sya. Biar proses penyembuhan lo lebih cepat, lo jangan mikirin masalah yang berat-berat,” ucap Dinan.

“Tapi, kalo nggak dipikirin, gue nggak akan pernah dapat masa lalu gue balik,” ucap Nasya, “gue udah nggak lama lagi di sini, Din, Yo.”

Dinan dan Theo saling pandang. Kemudian sama-sama menunduk dengan wajah sendu, “Gimana jadinya gue tanpa lo, Sya?” tanya Dinan sedih, “di kelas nggak ada yang mau temenan sama gue karena sikap gue yang ketus. Gue pasti sendirian terus di sekolah.”

“Kan ada Theo,” jawab Nasya, “dia bakal selalu nemenin lo, kok. Lagian temen lo itu banyak, Din. Lo nggak akan sendirian,” sambungnya lagi.

“Untuk apa punya temen sebanyak itu, kalo temen yang paling baik malah pergi. Udah nggak ada yang bisa dipercaya, nggak ada yang bisa diharapin,” jawab Dinan, “satu orang sahabat jauh lebih berarti daripada seribu teman, dan orang yang berarti buat gue itu adalah lo.”

Nasya dan Dinan saling pandang. Mata Nasya mulai berkaca-kaca. Ia merasa terharu sekaligus sedih mendengar penuturan Dinan. Tapi, ia juga tidak mungkin membatalkan kepindahannya. Sebab semua berkas kepindahannya sudah selesai diurus.

“Duh, gue jadi pengen mewek, nih. Sweet banget lo berdua,” canda Theo dengan bertingkah seolah-olah sedang mengelap air matanya. Padahal matanya saja kering.

“Big hug, dong,” pinta Dinan seraya membuka lebar tangannya. Kedua temannya itu segera merapat dan memeluk satu sama lain.

Sudah lama ketiganya tidak melakukan hal ini. Sebab, selama masuk SMA mereka bertiga terus dihadapkan pada masalah-masalah yang tidak masuk akal bagi anak seusianya. Mereka tidak sempat lagi menikmati masa remajanya dengan santai seperti yang dilakukan oleh remaja kebanyakan. Mereka terus menerus memikirkan jalan keluar dan penyelesaian dari semua permasalahan yang sedang menimpa mereka.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang