46. What's Wrong?

212 30 6
                                    

Nasya melangkah menuju rumahnya bersama Dinan dan Theo. Kedua temannya itu bersikeras ingin mengantarnya pulang. Padahal Nasya sudah berusaha meyakinkan mereka bahwa ia bisa kembali sendiri. Tapi, pada dasarnya mereka berdua memang sama-sama keras kepala dan susah diajak kompromi.

“Suasana rumah lo yang sekarang enak, ya, Sya. Rame,” ucap Theo sambil sesekali tersenyum pada anak-anak yang lewat.

Nasya meliriknya, “Gue masih kesel lo nggak pernah ngomong kalo dulu rumah gue di Meranti,” ucapnya dengan bibir manyun.

“Maaf. Habisnya lo juga nggak pernah nanyak sama gue, jadi gue lupa buat ngasih tau lo soal itu,” jawab Theo tidak mau kalah, “gitu juga soal nama kecil lo.”

“Imut juga lo dulu,” ucap Dinan yang kemudian tertawa ringan, “dek loyi.”

Nasya berdecak kesal melihat Dinan dan Theo yang tertawa lepas, “gue aja geli sendiri denger cerita Theo. Kok bisa gue jadi anak semanis itu dulu. Sekarang malah tomboy banget,” ucapnya.

“Lo itu tomboy dari dulu,” ucap Theo, “dulu lo itu hobi banget manjat pohon, main sepeda bareng anak cowok, terus main layangan siang-siang di taman. Sampe nyokap lo capek banget nyariin lo seharian,” ucapnya lagi sambil terkekeh.

“Dan akhirnya di masukin ke kleb sepeda supaya gue nggak kelayapan lagi,” imbuh Nasya, “eh, malah makin menjadi-jadi.”

Nasya tertawa bersama Theo. Ia tau cerita itu dari Theo. Cowok itu pernah menceritakan hal lucu itu dulu. Namun, saat itu Nasya benar-benar tidak sadar kalau sebenarnya ia kehilangan sebagian ingatannya. Ia pikir ia hanya sedikit lupa.

“Seru juga masa kecil lo,” ucap Dinan, “heran kenapa sekarang bisa jadi pendiam banget kalo ketemu orang baru.”

“Karena udah ganti nama panggilan, kali,” jawab Theo, “dulu dek loyi, sekarang dek loyo.”

Dinan dan Theo tertawa lagi. Kali ini Nasya hanya tersenyum mendengar candaan receh Theo. Kemudian saat mereka hampir tiba di depan rumah Raka, Nasya mendengar suara ribut dari rumah itu. Ia segera menoleh dan mendapati dua orang cowok yang sangat dikenalnya itu, sedang berdebat sengit.

“Loh, itu Raka sama Ibra kenapa?” tanya Nasya, “bukannya udah baikan, ya?”

“Biasa lah anak cowok, tersinggung dikit langsung adu jotos,” jawab Theo cuek. Sebenarnya ia sedang gelisah dan melirik Dinan untuk meminta bantuan agar cewek itu mengalihkan perhatian Nasya.

“Kita harus samperin mereka,” ucap Nasya yang langsung berlari menghampiri kedua cowok itu dan mengabaikan panggilan kedua temannya.

“Mampus, mampus,” gumam Theo yang kemudian berlari mengejar Nasya, disusul oleh Dinan di belakangnya.

“Alicia itu penipu! Semua hal kacau yang terjadi akhir-akhir ini, semuanya ulah Alicia! Termasuk kebohongan tentang teman masa kecil lo itu!” ucap Ibra keras sambil menatap tajam Raka.

“Apa?!” Nasya membatu di tempatnya. Ia menatap kedua cowok itu dengan mulut menganga kecil, “jadi... Icha bukan teman masa kecilnya Raka?”

Raka dan Ibra terdiam dan mematung. Begitu pula dengan Dinan dan Theo yang berdiri di belakang Nasya. Mereka sama-sama menahan nafas kaget dengan degup jantung berdetak cepat.

“Jawab gue!” bentak Nasya yang kini berjalan mendekati Raka dan Ibra, “Icha bukan teman masa kecilnya Raka?”

Raka mendesah kesal, “Itu bukan urusan lo,” jawabnya ketus, “Icha itu teman masa kecil gue atau bukan, nggak ada hubungannya sama lo. Jadi nggak usah kepo sama urusan orang lain, ” sambungnya lagi sambil mengangkat sebelah alisnya.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang