49. Escape (1)

185 25 9
                                    

Dinan, Theo, dan Icha saling bersandar lemas. Ketiganya memejamkan mata dengan mulut menganga. Nafas mereka putus-putus. Persis seperti baru selesai menyelesaikan lomba lari maraton sepuluh kilometer.

Wajah mereka penuh memar. Bahkan terdapat darah di sudut bibir Dinan, di ujung kelopak mata kiri Theo, dan di pelipis kanan Icha. Ketiga remaja itu terkulai lemas tak berdaya setelah hampir tiga puluh menit dikeroyok secara brutal oleh antek-antek Alicia.

Berbagai benda tumpul, dan benda tajam yang digunakan oleh anak buah Alicia telah berhasil membuat wajah ketiga remaja itu terasa remuk redam. Memar di wajah mereka terus berdenyut. Membuat mereka sesekali masih meringis kesakitan.

"Gue... Pengen... Mati... Aja..." ucap Dinan dengan nafas tersengal-sengal. Satu matanya bengkak dan membuat matanya tertutup sebelah. Ia terbatuk beberapa kali. Kemudian kembali bersandar dengan lemah.

Di antara mereka bertiga, keadaan Dinan yang paling parah. Terdapat banyak luka gores di lengan cewek itu. Luka gores yang dihasilkan dari pecahan botol kaca, juga goresan yang sengaja ditinggalkan untuk membuatnya memohon ampun. Namun, tak sekalipun kata ampun keluar dari bibirnya. Meski ia merasakan banyak darah mengalir dari kepalanya, ia tidak sekalipun meminta ampun pada mereka. Hingga akhirnya anak buah Alicia merasa bosan dan mereka pergi dengan sendirinya.

"Jangan ngomong aneh-aneh, Din," tegur Theo, "lo itu kuat."

"Kalo aja... Gue nggak bertindak bodoh, kita pasti nggak akan ketahuan," ucap Dinan dengan nada sendu.

"Kita pasti bakalan tetap ketangkap walaupun lo tadi nggak nonjok dinding," jawab Theo.

"Sekarang kita harus gimana?" tanya Dinan lirih. Ia masih menyandarkan kepalanya pada pundak Theo. Mengabaikan rembesan darah yang mulai mengotori baju cowok itu. Theo hanya bisa pasrah dan menghela lelah.

"Maafin gue," ucap Icha sedih, "kalo aja dari awal gue nggak bodoh dan langsung minta bantuan kalian, keadaan kita pasti nggak akan jadi kaya gini."

Theo dan Dinan diam tak merespon. Hanya helaan gusar Icha yang terdengar memecah keheningan malam.

"Sebenarnya apa yang udah Alicia lakuin ke lo?" tanya Theo yang kemudian menepuk dadanya pelan sambil terbatuk-batuk.

"Lo punya kakak?" tanya Dinan.

"Iya, gue punya kakak cewek yang lima tahun lebih tua dari gue. Kakak gue itu, temen sekolahnya Kak Kara. Awalnya kakak gue baik-baik aja. Tapi, setelah bokap gue meninggal dan Mama nikah lagi, dia jadi depresi. Dia ngerasa Mama udah mengabaikan kita berdua. Sampai-sampai dia harus kerja sampingan jadi guru les bareng Kak Kara. Sekarang dia dirawat di rumah sakit jiwa. Dan kebetulan nyokap Alicia juga dirawat di situ," jawab Icha lirih, "beberapa minggu yang lalu kita nggak sengaja ketemu. Awalnya kita nggak saling sapa. Karena gue juga nggak kenal sama dia. Tapi, tiba-tiba dia datangin gue. Dia ngajak gue kerjasama dan ngancam bakal bikin Kakak gue celaka. Soalnya waktu itu kakak gue sempat hampir bunuh diri."

"Gue awalnya nggak takut. Gue nggak ngerasa terancam sama sekali. Tapi, tiba-tiba dia sering kirim pesan singkat soal keadaan kakak gue. Termasuk foto-foto kakak gue. Dia juga ngancam bakal nyakitin Nasya. Dia bakal bikin Nasya celaka. Bahkan kalian semua juga bakal dibikin celaka kalo gue masih tegas tolak rencana busuknya dia," Icha terbatuk. Ia mengatur nafasnya sejenak sebelum kembali melanjutkan ceritanya, "akhirnya karena posisi gue udah terdesak, gue terpaksa setuju sama perjanjian yang ditawarin Alicia ke gue. Gue diminta untuk terus berusaha mendekati Raka. Gue juga disuruh pura-pura jadi temen masa kecilnya Raka. Alicia kasih gue barang-barang yang katanya itu milik temennya Raka. Dan gue dengan bodohnya ngelakuin itu semua. Sampe ngerusak hubungan Nasya sama Raka. Juga ngerusak hubungan pertemanan kita berempat."

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang