21. H for Hell (1)

318 48 7
                                    

Langit pagi ini terlihat sedikit mendung. Nasya melirik jendelanya sebentar sebelum akhirnya melangkah untuk meraih buku matematikanya di atas meja belajar. Ia kemudian merapikan anak rambutnya. Barulah ia melangkah keluar kamar untuk menuju meja makan.

Tiba di sana, Papa dan Mamanya sudah duduk dengan tenang tanpa perbincangan apapun. Wajah mereka tampak serius. Papanya fokus dengan surat kabar, sedangkan Mamanya fokus dengan layar ponsel. Nasya berhenti sebentar untuk menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Mempersiapkan diri untuk mendengar peraturan-peraturan baru yang akan jauh lebih mengekang daripada sebelumnya.

“Pa-pagi, Pa, Ma,” sapa Nasya sedikit gugup.

“Pagi, sayang,” balas Mamanya yang segera meletakkan ponsel ke dalam tas, “gimana sekolah kamu selama kami nggak ada di rumah?”

“Alhamdulillah, Ma. Aman-aman aja, aku daftar sendiri, ngurus semua administrasi sendiri, bolak-balik kesana-kemari pake sepeda, terus juga ikut pengarahan orangtua buat gantiin Mama sama Papa,” jawab Nasya dengan senyum yang dipaksakan.

“Syukurlah, sekarang kamu udah semakin mandiri,” ucap Mamanya, “temen-temennya gimana?”

“Aku sekelas sama Theo, temen lama aku.”

“Wah, bagus dong, kamu nggak perlu susah-susah seleksi temen lagi. Temenan aja sama Theo, dia juga anaknya 'kan baik.”

Nasya hanya diam dan mulai mengoles selai coklat ke selembar rotinya. Selanjutnya ia menuangkan susu ke dalam gelas panjang yang ada di depannya. Hingga deheman Papanya menghentikan gerakan Nasya yang baru akan menikmati rotinya.

“Soal semalam...,” ucap Papanya gantung sambil melipat koran.

Nasya menatap Papanya dengan perasaan was-was.

“Jangan keluar lagi sama temen-temen kamu itu,” sambung Papa Nasya.

Nasya diam tidak merespon. Ia memilih kembali fokus dengan roti dan susunya sebelum selera untuk sarapan hilang. Dalam hati Nasya mengomel kesal. Tapi, tetap saja ia tidak membantah. Daripada ujung-ujungnya mereka akan berdebat dan merusak pagi Nasya, ia lebih memilih untuk diam.

“Sepeda kamu Papa tarik.”

Mendengar satu kalimat itu meluncur bebas dari bibir Papanya, Nasya tersedak. Ia terbatuk-batuk bahkan sampai nyaris muntah. Namun, Mamanya segera menyodorkan segelas air putih yang kemudian diteguk habis oleh Nasya. Ia memukul dadanya yang terasa sakit.

“Hati-hati makannya,” Mama Nasya berujar penuh perhatian.

“Ini keputusan terbaik yang udah Papa dan Mama bahas semalaman.”

Nasya meletakkan rotinya ke atas piring. Mengambil selembar tisu dan membersihkan wajahnya. Kemudian cewek itu menarik nafas dalam dan menghembuskan dengan kesal. Kini, matanya dengan berani menatap iris sehitam malam milik Papanya.

“Mama sama Papa baru pulang setelah pergi ke luar negeri selama berbulan-bulan. Seharusnya kalian tanya gimana keadaan aku, apa yang aku rasain, aku ada masalah apa, bukannya malah menambah masalah baru buat aku,” ucap Nasya masih dengan cara bicaranya yang sopan.

“Sepeda itu aku beli pake uang aku sendiri, itu juga satu-satunya benda yang bantuin aku selama nggak ada Papa sama Mama di rumah. Cuma sepeda itu hiburan aku.”

“Pa, Ma, aku tau kalian sayang sama aku, tapi dengan cara seperti ini kalian malah menekan aku dan bikin aku stress,” ucapnya lagi kali ini dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, “aku dikekang selama bertahun-tahun, dan semakin kesini bukannya semakin dilepas tapi malah semakin dipagarin.”

“Pa, Ma, aku udah besar. Aku udah SMA, aku udah tau mana yang baik mana yang buruk. Aku bukan anak TK yang masih harus didikte,” Nasya kemudian berdiri dan meraih tas ranselnya, “aku pamit dulu, Assalamualaikum.”

Nasya segera berlari dengan air mata yang mulai mengalir pelan di pipinya. Ia tidak memperdulikan panggilan Mamanya juga suara langkah kaki yang ada di belakangnya. Ia mengabaikan panggilan Bi Asih dan juga sapaan Pak Tian. Nasya bergerak dengan cepat keluar dari pekarangan rumah dan berlari menuju ujung lorong dalam keadaan menangis tanpa suara.

Raka yang melihat Nasya berlari sambil menangis mengernyit bingung. Ia dengan cepat menyelesaikan aktifitas mengikat tali sepatunya. Kemudian berlari mengejar Nasya sambil memanggil nama cewek itu beberapa kali. Nihil. Nasya tidak berbalik. Ia tetap berlari untuk sampai di ujung lorong. Tapi, langkah Raka jauh lebih lebar. Dan kini cowok itu berhasil mencekal tangan Nasya.

Raka membalikkan tubuh Nasya. Cewek itu terlihat menunduk menutupi wajahnya. Raka tau ada yang sedang tidak beres dengan cewek itu. Raka kemudian menghembuskannya nafas gusar. Meski terlihat datar sebenarnya ia tidak kuat melihat Nasya menangis. Selanjutnya tanpa basa-basi Raka menarik tangan Nasya untuk melangkah ke rumahnya.

“Raka, lepasin tangan gue,” ucap Nasya.

“Berangkat bareng gue,” jawab Raka yang tidak sedikitpun menoleh.

Saat tiba di pekarangan rumah Raka, cowok itu segera menarik Nasya menuju motor matiknya yang semalam ia tukar dengan motor sportnya di rumah Papanya. Raka menyodorkan helm kepada Nasya. Cewek itu dengan wajah kesal menerima dan memakai helmnya. Namun, karena kesal itu Nasya malah tambah susah. Ia tidak bisa-bisa memasang tali pengaman helmnya. Hingga ia menggerutu dan berdecak beberapa kali.

Raka yang tidak sanggup mendengar gerutuan Nasya segera mendekat dan memasangkan tali pengaman cewek itu. Nasya yang terkejut dengan tindakan tiba-tiba Raka, hanya diam dan menatap wajah fokus cowok itu yang kini sejajar dengan wajahnya. Setelah itu Raka naik ke motornya dan mengode Nasya agar segera ikut naik. Nasya kembali menggerutu walau akhirnya tetap naik ke motor Raka.

“Balik lagi nyebelinnya,” ucap Nasya dalam hati untuk Raka.

Di sepanjang perjalanan mereka berdua hanya diam. Nasya masih teringat dengan sikapnya yang tidak sopan saat di rumah tadi. Ia jadi merasa bersalah kepada Mamanya dan kini rasanya ia ingin menangis lagi. Tapi, jika dipikir ulang apa yang Nasya ucapkan adalah hal yang benar. Nasya sudah merasa terlalu lelah dengan hidupnya. Hidup di rumah sendiri bagaikan hidup di neraka.

Nasya menghela sambil memejamkan matanya. Menikmati terpaan angin ke wajahnya. Berusaha melupakan kejadian tadi. Tapi, tetap saja mau tidak mau air matanya kembali menetes. Dan tanpa sepengetahuannya, sedari tadi Raka meliriknya lewat spion kiri.

Raka merogoh saku baju seragamnya. Dan menyodorkan saputangan biru itu kepada Nasya, “Lap pake ini, gue nggak mau orang-orang mikirnya gue yang bikin lo nangis.”

Nasya meliriknya lama sebelum akhirnya menerima saputangan itu dan menyeka air matanya, “Makasih.”

Tidak lama setelahnya, mereka tiba di depan gerbang. Nasya segera turun, sedangkan Raka masuk menuju lapangan parkir. Setelahnya mereka kembali bertemu di lobby sekolah. Wajah Nasya masih terlihat tidak bersemangat. Dan hal ini membuat Raka bertanya-tanya sedari tadi. Namun, cowok itu tidak ingin merusak hari Nasya lebih parah lagi hingga ia hanya menatap cewek itu tanpa mengajaknya berbicara.

“Nasya! Raka!”

Panggilan itu menghentikan langkah Nasya maupun Raka. Keduanya dengan kompak menoleh ke arah kanan dan mendapati Theo sedang berlari menghampiri mereka berdua. Wajahnya terlihat antusias dan sumringah. Saat tiba di depan Raka dan Nasya, cowok itu melebarkan senyumnya sambil terengah-engah.

“Gue baru aja dapat berita bagus!” ucap Theo bersemangat.

Raka tetap setia dengan ekspresi datarnya. Sedangkan Nasya mengernyit bingung, “Apaan emang?” tanya Nasya penasaran.

“Alicia sama Ibra putus!”

ToBeContinue

Ada yang nungguin notifikasi dari lapak ini? :)

Karena bab ini lumayan panjang, aku bagi ya ;)

Don't forget to vote and comment~~
Check my other story~~

See you next chapter ^^

♥Love From Cute Author♥

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang