31. Gasp

219 31 7
                                    

Deru mesin motor itu berhenti. Menyisakan keheningan malam yang mencekam. Raka melepas helmnya dan melangkah masuk ke dalam rumah itu lagi. Kali ini bukan untuk menyiksa seseorang, tetapi untuk bertemu dengan Ibra dan Gery. Membahas rencana yang mereka susun untuk menjebak Icha.

“Udah lama?” tanya Raka kepada Ibra dan Gery yang terlihat saling melempar tatapan tajam.

Ibra menoleh, “Untung lo datang, kalo nggak udah gue bikin hancur tuh muka,” ucap Ibra santai dengan tatapan mengejek yang ia layangkan kepada Gery.

“Tahan emosi lo,” ucap Raka yang kemudian mendesah jengah.

“Kalo dia nggak mancing duluan, gue juga nggak akan kepancing, Ka,” jawab Ibra.

“Udah, sih, biasanya lo yang selalu kontrol emosi gue. Kenapa malah lo yang meledak-ledak gini?” tanya Raka yang sudah duduk di kursi sebelah Ibra.

“Dia sok-sokan ungkit soal lo sama gue yang sempat perang dingin. Gimana gue nggak emosi?” jawab Ibra dengan nada bicaranya yang meninggi, “pake bawa-bawa soal dia yang ngefitnah kalo gue nyariin lo di tempat balapan waktu itu.”

Gery tiba-tiba tertawa renyah, “Lo setakut itu sama Bhumi? Takut banget, ya, dihajar sama Bhumi?” tanya cowok itu dengan nada mengejek.

Ibra berdecih dan menendang kursi Gery, “Jaga omongan lo!” ucap ibra tajam, “Lo pikir dengan ucapan lo itu, lo bisa bikin gue sama Raka perang lagi, hm?”

“Ger, nggak kasian sama adek lo?” tanya Raka dingin.

Gery terdiam dan segera mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam Raka dan Ibra. Ia meneguk salivanya dan diam-diam memaki dalam hati.

“Jadi hal penting apa yang mau lo kasih tau ke kita?” tanya Raka yang kini menyandarkan tubuhnya.

Gery mengeluarkan ponselnya dan mendesah, “Icha minta gue sekap Nasya,” jawab Gery sambil menyerahkan ponselnya itu kepada Raka.

“Apa?” satu kata itu keluar dari mulut Raka saat ia membaca percakapan antara Gery dengan Icha di Batsap.

“Gila ya, itu orang?” tanya Ibra kesal setelah ikut membaca isi pesan itu.

Raka mengepalkan tangannya. Ia benar-benar tidak bisa menahan diri lagi, “Apa tujuan dia ngelakuin ini semua?” tanya Raka dengan tatapan lurus menusuk iris hitam malam Gery.

“So-soal itu, gue nggak tau,” jawab Gery sedikit gemetar karena bisa merasakan aura intimidasi Raka yang begitu kentara.

“Cari tau,” perintah Raka tajam dan Gery segera mengangguk mengiyakan, “udah, pergi sana.”

Selanjutnya Gery meraih ponselnya yang diletakkan oleh Raka ke atas meja dan segera berlari meninggalkan rumah itu. Hingga hanya ada keheningan yang menyelimuti Raka dan Ibra setelahnya.

“Sebenernya Icha ini ada masalah apa sama Nasya? Kenapa bisa sampai se-nekad ini?” tanya Ibra.

“Gue juga nggak tau,” jawab Raka, “yang gue tau, mereka itu temen deket.”

“Temen kok nyelakain, daripada temen lebih pantes disebut musuh dalam selimut, nggak, sih?” Ibra terkekeh kecil.

“Itu cewe bener-bener nggak bisa didiamin. Sedikit aja gue lengah, nyawa Nasya bakalan terancam,” ucap Raka.

“Anaknya gimana kalo di sekolah?” tanya Ibra lagi.

Raka menoleh dan menatap Ibra jengkel, “Lo kan tau kalo gue nggak peduli sama orang-orang yang ada di sekitar gue, kenapa malah ngasih pertanyaan kaya gitu?”

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang