11. Peka

370 60 13
                                    

Nasya melangkah dengan wajah muram menuju kelasnya. Kejadian dan ucapan Ibra kemarin sore membuatnya kurang tidur. Sebab ia terus-menerus memikirkan rentetan kalimat yang keluar dari mulut cowok itu. Belum lagi hatinya yang tiba-tiba saja goyah. Membuat Nasya merasa gelisah akan ucapannya kemarin.

Sejujurnya kalimat penolakan dan kalimat tajam yang keluar dari bibirnya kemarin itu di luar kendali Nasya. Hati dan otaknya tidak sejalan sore itu. Ia sedikit banyak setuju dengan permintaan Ibra untuk berhenti berhubungan dengan Raka. Tapi di sisi lain ini semua tidak semudah kelihatannya. Raka itu slalu bersikap baik kepada Nasya. Membuat hatinya bimbang dan tidak bisa menerima permintaan Ibra.

Lagi-lagi jika diingat, ada banyak hal yang Raka lakukan hingga hati Nasya bisa selunak ini. Kemisteriusan yang dipancarkan oleh cowok itu bukannya membuat Nasya takut, ia malah semakin ingin mendekat. Walaupun kini teka-teki itu digiring dengan berbagai kabar miring tentang Raka, tapi Nasya tetap tidak bisa menerima kabar itu mentah-mentah.

Kemarin malam saat Theo tiba-tiba mengiriminya pesan, Nasya meminta cowok itu untuk mencaritahu tentang kehidupan pribadi Raka. Dan hasilnya, ternyata cowok itu ditinggal oleh Ibunya sejak masih berusia 11 tahun. Belum lagi berbagai foto lawas Raka. Foto masa kecil cowok itu dengan seorang gadis sebayanya yang begitu cantik, membuat Nasya mau tidak mau semakin penasaran dan semakin ingin mencari tahu lebih dalam.

Rekaman kriminal Raka yang juga dikirimkan oleh Dinan semalam, menunjukkan bahwa sudah hampir lima kali cowok itu nyaris dibui karena menjadi salah satu peserta balapan liar dan juga berpesta minuman keras di sebuah daerah yang agak jauh dari hingar-bingar kota. Hal itu membuat Nasya ternganga tidak percaya. Tapi lagi-lagi hatinya menolak untuk menerima kebenaran yang ia baca dengan matanya sendiri.

Tiba-tiba sepasang sepatu berhenti tepat tiga puluh senti di depan sepatu Nasya. Membuat Nasya secara spontan berhenti melangkah. Nasya kenal pemilik sepatu itu. Hingga akhirnya ia memilih mengangkat wajahnya untuk menatap cowok yang kini berdiri di hadapannya.

“Lo kenapa?” tanya Raka dengan nada datarnya seperti biasa.

Nasya menatap lekat sepasang iris yang lebih gelap darinya itu. Tatapan Nasya sayu. Menelisik lebih jauh, mencari kebenaran tentang segala hal yang ia ketahui tentang cowok itu. Namun, hatinya lagi-lagi berkata tidak mungkin Raka melakukan hal seperti itu. Hatinya masih tidak percaya.

Keduanya masih bertatapan di tengah koridor yang lengang itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hingga tiba-tiba mata tajam milik Raka menatap Nasya lembut. Seolah tersentak akan sesuatu sesuatu.

Ada seseorang disana. Dibalik mata itu. Mata yang sangat Raka kenal siapa pemiliknya. Mata yang dulu slalu ingin Raka tatap. Mata yang slalu membawa kedamaian dalam hidup Raka. Mata yang Raka pikir takkan bisa ia temukan pada orang selain cewek itu.

Raka meneguk salivanya susah payah. Kemudian memutus kontak matanya dengan Nasya. Ia menggeleng samar. Itu bukan mata yang sama. Bukan iris yang ia cari-cari. Itu bukanlah tempatnya mengadu dulu. Itu bukanlah iris yang pernah melihat betapa terpuruknya Raka di masa lalu.

“Ka,” panggil Nasya.

“Hm?”

“Tolong yakinkan hati gue,” ucap Nasya dengan menatap Raka yang dua detik kemudian menoleh, “kalo pilihan gue untuk tetap berteman sama lo itu, bukan pilihan yang salah.”

“Kok lo pagi-pagi gini udah dramatis?” respon Raka mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Ka, gue lagi serius,” ucap Nasya menggeram kesal dengan memukul lengan kiri Raka ringan.

“Serius banget, nanti baper,” ucap Raka cuek yang kemudian berbalik dan meninggalkan Nasya.

“Ih, Raka!” Nasya kemudian berlari kecil dan menyamakan langkahnya dengan cowok itu menuju ke kelas mereka.

First Tuesday In September✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang