Acara Maulid telah selesai seminggu yang lalu. Pelajaran di Pesantren saat ini jiga kembali seperti biasanya. Ania, Lutfa, Lita dan Putri akan bersiap sholat malam bersama di mesjid bersama para santriwati. Mendadak muncul wajah Ibu dan Ayahnya. Ia rindu. Bagaimana hasil pengobatan Ibunya saat ini. Dalam sujud ia menangis. Dalam doapun ia menangis. Tangisnya lebih lama kali ini dari biasanya. Ia takut tak bisa membalas budi dan berbakti kepada Ibunya. Ia ingin sekali menemani Ibunya yang sedang sakit. Walau tidak sampai bedrest, kekhawatiran itu pasti ada.
"Ya Allah, Engkau lah penitipan terbaik. Sebaik-baik Penyayang. Sebaik-baik Penghibur. Maka jagalah Ibu Ayahku. Walau aku bersama mereka kapanpun, tetaplah penjagaanmu yang paling utama. Aamiin.", Doa Aina selalu.Minggu dini hari menjelang subuh itu sangat betul-betul hening. Selepas sholat subuh ketika semua santriwati akan bersiap sarapan pagi. Aina sengaja kembali ke kamar dan pergi ke perpustakaan. Ia masih dirundung rindu kepada ibunya. Ia duduk di sudut perpustakaan. Tak terasa ia menangis. Sedikit terisak. Ia tahu hari minggu jarang sekali para santriwati yang akan datang kemari. "Ibu...", Lirihnya. "Aina?", Suara seorang pria mengagetkannya. Ia mengusap cepat air matanya. Ia menoleh ke arah suara tersebut. "Ustadz.", Ia kaget karena yang menyapanya adalah Ustadz Nabil. "Kenapa menangis di sini?". Tanya Ustadz Nabil. "Hmm... Tidak pak. Mungkin kemasukan debu." Jawabnya. "Tadi kamu terisak menangis. Ada apa? Homesick (kangen rumah)?", Tanya Ustadz Nabil menyudutkan. Aina diam. "Saya kepikiran Ibu saya, Ustadz. Beliau sedang sakit. Rawat jalan. Hanya ada Ayah dan Ibu di rumah. Kalau Ayah bekerja, ibu bersama seorang rewang di rumah." Aina menunduk. Tanda malu dan takut. "Kenapa tidak ijin pulang?", Ustadz Nabil mencoba memberi solusi. "Tidak boleh kata Ayah. Nanti Ayah atau Ibu yang nenjenguk kemari." Suara Aina mulai gemetar hendak menangis. "Ya sudah. Setelah menangis kembalilah ke ruang makan. Tidak baik terlambat makan. Hari Minggu saatnya boleh menghubungi orang tua. Telepon orang tuamu untuk tahu kamar Ibumu.", Aina mengangguk. Ustadz Nabil pergi perlahan meninggalkannya.
Keesokan harinya. Setelah jam olahraga. Saat semua santri berganti baju di kamar mereka masing-masing.
Tok tok tok.
"Assalamualaikum. Aina ada?" Sapa suara di depan pintu. Lutfa membuka pintu. "Ada. Eh, Fiza. Mari masuk." Lutfa mempersilahkan masuk. "Ndak usah makasih. Cuma mau ngabarin. Barusan disuruh Ustadz Agus. Aina diminta ke ruang BK. Penting. Pamit ya. Assalamualaikum", jawabnya cepat. "Waalaikumusalam.", Semua menjawab dengan heran melihat Aina. "Ada apa, Na?!", Putri serius memandang Aina. Aina menggeleng. Ia juga bingung perihal apa yang terjadi saat ini. Aina keluar kamar menuju ruang BK.
Ia kaget melihat Ayahnya duduk dengan Ustadz Agus. Ayahnya tersenyum. "Assalamualaikum, Ustadz Agus.", Sapa Aina lalu mencium tangan ayahnya. Aina duduk di sebelah Ayahnya. "Ada apa Ayah?", Tanya Aina menatap Ayahnya. "Begini Nak. Sebelumnya Ayah dan Ibu minta maaf. Setelah dipikir-pikir, Ayah ingin memberitahukan bahwa Ibu sekarang sedang dalam keadaan tidak baik. Ia sudah bedrest selama 4 hari. Maksud kedatangan Ayah kemari. Ayah ingin Aina pulang dan merawat Ibu."
Deg.
Jantung Aina seperti berhenti. Ibu kenapa, ya Allah?! Aina bingung dengan pulang dan merawat Ibu. Apa sudah seberat itu penyakitnya? "Nak. Dalam 3 hari ke depan. Aina sudah boleh pulang dan berpamitan dengan teman-teman." Aina kaget bukan kepalang. "Pamit? Maksudnya apa ini Ayah?". Ayahnya diam sejenak. "Karena kondisi Ibu. Ayah ingin Aina pulang membantu Ayah merawat Ibu." Seketika Aina menangis. Ia memeluk Ayahnya. Ia tahu bahu Ayahnya adalah tempat ia menangis. "Ibu kenapa Ayah? Kenapa Aina berhenti mondok?" Aina bingung. Ia masih menangis. "Nak, kami sudah membicarakan hal ini. Bahwa keputusan terbaik adalah Aina pulang ke rumah." Sela Ustadz Agus. Setelah pembicaraan ini, Aina ke kamar dengan air mata yang masih berucucuran. Ia tahu ia tidak dapat menahan semuanya. Ia menangis lagi setelah masuk ke kamar. Semua teman-temannya kaget. Berjambul memeluknya. "Aku gak mondok lagi. Ayah suruh aku pulang. Ibu sakit." Aina terbata sambil terus menangis. Teman-temannya tidak membalasnya. Mereka tahu Aina dibiarkan menangis. Setelah Aina menangis. Dengan tersedu-sedu, ia menceritakan apa yang ia rasakan saat ini. Cerita tentang Ayah dan Ibunya. Semua menangis. Saling merangkul. "Na, gada cara lain ya selain keluar Pondok?", Lita menangis. "Kenapa mesti Ibu Aina? Aku jadi ingat Ibuku." Putri ikut menangis. Lutfa menghapus air matanya. Ia juga tersedu mendengar cerita Aina. "Apapun yang jadi takdir Allah. Tidak akan mengubah kondisi dan ikatan pertemanan kita ya? Saling mendoakan. Dan tetap saling menghubungi. Na, kami sayang Aina sampai kapanpun. Tapi apa yang menjadi urusan Aina dan keluarga. Harapan kami, birulwalidain (berbakti kepada kedua orang tua) adalah wajib. Semoga, pendidikan tetap dijalani apapun kondisinya. Kami sayang Aina. Semangat, sayangnya kita." Semua berpelukan. Menangis dalam pelukan dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]
General FictionGak ada yang gak mungkin dalam kehidupan. Ada kalanya kamu bisa memilih, kadang memang kamu gada pilihan lain selain menjalani. "Takdir macam apa ini?" Mungkin ini batin Aina dalam menjalani hiruk pikuk kehidupannya. Menjadi istri Gurunya sendiri de...