Aina membuka mata perlahan. "Ya Allah, jilbabku kemana?", Rambutnya acak-acakan. Selimut yang dipakai Aina juga agak terbuka. Ustadz Nabil.
Jangan-jangan, dia... Aaaaaa.
Aina terbangun. Ia berkeringat. Ia masih mendengar bunyi alarm. Ia menghiraukan. Ia masih kaget. Jantungnya hampir copot. Ternyata tadi hanya mimpi. Aina pikir Ustadz Nabil melanggar apa yang ia sendiri katakan. Ia hanya tak habis pikir. Kenapa ia terbawa sampai ke mimpi? Ia mengatur napas. Jilbabnya ia raba. Masih terpakai di kepala. Keringat di dahinya perlahan menurun. Ustadz Nabil nampaknya bangun. Ia melihat Aina, ia mengecek dirinya. Ia juga takut bila kejadian kemarin terulang lagi.
"Kenapa, Aina?", Tanya Ustadz Nabil. "Eh... Tidak apa-apa, Ustadz. Saya permisi dulu." Aina cepat-cepat berlari keluar kamar. Ustadz Nabil heran dengan tingkah Aina.Pagi menjelang. Aina bersiap kembali dengan baju sekolahnya. Ia siap kembali ke pesantren. Ia dan Ustadz Nabil sedang sarapan di meja makan bersama Ayah dan Ibu. "Nabil, apa tidak mengapa Aina pulang ke rumah setelah sekolah?", Ibu bertanya pada Ustadz Nabil. "Tidak apa-apa, bu. Aina bisa dikhususkan. Aina bisa mengikuti kegiatan pondok selama ia punya kesempatan. Kami sudah komit. Aina akan pulang setelah sekolah. Ia akan menemani Ibu. Untuk pelajaran diniyah dan lainnya bisa bersama Nabil atau secara khusus dengan pengajar di waktu lain." Aina tersenyum menatap ibunya. Bukan karena kartu emas yang ia pegang karena menjadi bagian dari pemilik Pondok Pesantren Nurul Hikmah. Tapi melainkan ia punya banyak waktu untuk ibunya.
Alhamdulillah.
Pagi itu, semua santriwati tengah akan bersiap mengikuti upacara bendera. Aina dan Ustadz Nabil masuk melalui rumah utama. Rumah Abahnya. Setelah bertemu Umi dan Abah, mereka menuju pintu samping yang mengarah ke area pondok pesantren. Aina masuk dan menuju lapangan. Ia berdiri di barisan kelasnya. Ia berdiri paling belakang. Ia menyapa dengan senyum teman-teman disampingnya. Ia tidak melihat ketiga temannya. Lutfah, Lita dan Putri.
10 menit upacara bendera dimulai. Para santri nampak khidmat mengikuti upacara bendera. Aina masih menatap ke depan. Tiba-tiba Lita tak sengaja melihat ke belakang. Ia mendapati Aina berdiri. Matanya terbuka lebar tak percaya bahwa Aina ada di Pondok Pesantren. Ia gelagapan karena gembira. Ia memanggil dengan bahasa isyarat kepada teman-temannya. Aina ada. Dia kembali lagi ke pondok pesantren. Sedikit riuh dengan Lita dan Putri. Seorang Ustadzah menegur mereka. Mereka pun terdiam. Aina tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Bel tanda masuk pelajaran. Semua berjalan ke arah kelas masing-masing. Lita berjalan menghampiri Aina, memeluknya. Bercampur haru dan gembira rasanya bisa bertemu dengan Aina. Keempatnya berjalan bersama. Mereka seperti enggan untuk dipisahkan lagi. Tatapan mata mereka ke Aina mengisyaratkan, "Kami tunggu penjelasanmu nanti !!". Jam istirahat terdengar. Aina, Lutfa, Putri dan Lita di kamar mereka.
Lita : "Aina, jadi. Kenapa kemarin kamu tiba-tiba pergi? Kenapa sekarang ada lagi?'
Putri : "Kamu gpp kan Na?", Putri memegang tangan Aina.
Lutfa : "Pasti panjang ceritanya."
Aina masih diam dan tersenyum. Aina merebahkan dirinya di kasur. Ia memejamkan matanya. Betapa banyak yang ingin ia ceritakan. Tapi ia bingung harus memulai dari mana.Lita : "Coba deh satu-satu ye. Dari aku dulu. Majalah Kebun Sari. Ibumu kenapa?"
Aina : "Jadi gini, waktu aku dipanggil Ayah. Ternyata memang Ibu kondisinya sedang sakit. Ibu punya riwayat jantung. Di rumah hanya ada Ayah dan Ibu. Aku dan adikku di pondok. Waktu Ayah kerja, gak ada yang urus Ibu. Kasian. Jadinya Ayah nyuruh aku berhenti Mondok."
Lutfa : "Seekstrim itu sampai kamu harus berhenti mondok, Na?!"
Aina : "Sebenarnya gak mungkin kalau ingat-ingat Ayah sangat pingin anak-anaknya wajib mondok. Tapi yang bikin yakin adalah saat ada kejadian.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]
General FictionGak ada yang gak mungkin dalam kehidupan. Ada kalanya kamu bisa memilih, kadang memang kamu gada pilihan lain selain menjalani. "Takdir macam apa ini?" Mungkin ini batin Aina dalam menjalani hiruk pikuk kehidupannya. Menjadi istri Gurunya sendiri de...