Hari demi hari suasana Pondok benar-benar penuh dengan keharuan. Tidak seperti biasanya. Kehilangan Aina adalah kehilangan bersama. Di ruang BK, para Ustadzah tak pelak sering menangis melihat bangku Aina yang kosong.
Di Ndalem, para abdi Ndalem juga tak kalah bersedih. Keceriaan yang dibawa Aina sejak pertama kali masuk ke rumah Abah membawa kenangan tersendiri. Terkadang mereka mengenang bagaimana Aina selalu menggoda mereka. Berbicara bersama. Tangis mereka tak terdengar. Namun air mata mereka sering mengalir tiap kali melihat sudut rumah yang biasanya Aina berada.
Abah dan Ummi merasakan halnyang luar biasa. Anak perempuannya sudah tak lagi mengisi haru biru suasana ndalem. Abah lebih banyak di musholla rumah. Saat ini ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan sholat dan mengaji Al Qur'an. Sedangkan Ummi menegaskan waktu agar tak terlalu larut bersedih dengan merapikan rumah. Sesekali ia duduk di balkon atas tempat Aina biasa duduk di sore hari.
Ustadz Nabil? Jangan ditanya. Manusia yang paling merasa kehilangan tentu saja dirinya. Walaupun ia seorang laki-laki yang kuat. Tetap saja raut wajah sedih tak mampu ia sembunyikan. Ia tetaplah manusia yang harfiahnya bisa bersedih. Apalagi Aina menjadi seorang yang selalu berada di garda terdepan untuk mendukungnya. Separuh hatinya hilang. Mendadak. Tiba-tiba. Rasa-rasanya ini sebuah mimpi buruk yang panjang. Ia ingin bangun dan memastikan Aina berada di sampingnya.
*********
Dua bulan berlalu. Semua kembali ke situasi yang seperti dulu. Lita yang sudah sembuh berada di rumah Lutfah dengan Putri.
Lita : "Gini ini kalo lagi bete. Aina suka nawarin beli makanan."
Putri tersenyum. "Kita pesan apa nanti dipesenin beda sama dia. Tapi tetap aja kita makan. Hahaha.."
Lutfah : "Kayak gini ya rasanya kehilangan sahabat. Hari-hari pertama dengan kabar dia menghilang aku hanya makan satu kali setiap hari. Sisanya nangis."
Putri : "Lututku lemas. Kayak gak ada tenaga. Kepalaku pusing. Maag ku kambuh. Tiap kali lihat foto kita berempat bawaanku pingin pingsan."
Lita : "Kita semua berada di titik bawah. Aina salah satu alasan kenapa aku bisa bertahan di pondok."
Lutfah dan Putri mengangguk.
Di sisi lain. Ayub yang juga mendengar kabar Aina menghilang dan tak ditemukan tak kalah sedih. Ia murung selama satu bulan. Bahkan orang tuanya bingung harus bagaimana untuk membuatnya kembali berbicara. Ayub memang terlanjur cinta pada Aina.
"Mungkin kalo dia menikah denganku situasinya berbeda.", Ujarnya sambil menangis saat pertama tahu kabar duka itu. Ibunya yang mendengar membesarkan hatinya.
"Jangan menyalahkan takdir. Justri karena ia tidak menjadi milikmu karena bisa jadi ia lebih menderita dari saat ini."
Ayub tersadar. Ia beristighfar secepatnya. Ia salah mengucap. Ia menyalahkan sebuah takdir yang jelas-jelas bukan untuknya. Ia lemah. Ia masih belum bisa berpindah hati. Ia masih berharap sebuah keajaiban. Seperti lainnya. Berharap Aina ditemukan utuh dan selamat.
Di rumah Aina. Ayah dan adik Aina tengah merapikan kamar Aina. Mereka biarkan begitu saja. Agar kenangan tentang Aina selalu ada.
Ayah : "Biarkan begini. Kalo Mas Jun kesini biar ia tidur di kamar Aina seperti biasanya."
Adik Aina mengangguk.
[Haikal / 11.37 wib] : "Ustadz. Ada dimana? Saya mau ketemu. Penting."
Sebuah pesan penting dari Haikal di ponsel Ustadz Nabil. Cepat-cepat Ustadz Nabil menjawab pesan Haikal dan menemuinya di ruang kerja.
Haikal : "Ustadz. Begini. Tadi pagi saya sama Ustadz Baihaqi pergi ke TKP. Walau kecil harapan tapi kami benar-benar penasaran. Kami sempat menyisir sungai. Saya ketemu pemancing. Sepertinya warga sekitar."
Ustadz Nabil memerhatikan Haikal dengan seksama.
Haikal : "Kami cerita kronologi kecelakaan itu. Ada dua orang pemancing. Yang satu hanya menyimak. Yang satu lagi tiba-tiba cerita. Kalo di kampungnya. Letaknya hanya bisa ditempuh berjalan kaki selama 1 jam."
Ustadz Nabil : "Lalu?'
Haikal : "Nha. Dia cerita. Bahwa dua bulan lalu. Tetangganya. Pasutri yang paruh baya. Biasanya memancing di sungai itu berdua. Menjelang magrib baru pulang. Saat pulang mereka menemukan seorang perempuan hampir tenggelam. Bajunya koyak karena terkena ranting. Lalu mereka membawa perempuan tadi ke rumahnya. Saya pikir.."
Ustadz Nabil : "Allah Yarham. Apa itu Aina?" Matanya berkaca-kaca.
Haikal : "Harapan itu ada, Ustadz. Saya yakin sama Allah. Saya bilang akan kembali besok pagi. Di tempat yang sana. Saya minta tolong orang-orang tadi diantar ke kampung mereka. Saya hanya berharap pada Allah. Apabila itu Aina. Alhamdulillah. Bila tidak Allah yang Maha Tahu."
Ustadz Nabil memeluk Haikal.
Ustadz Nabil : "Saya berhutang banyak sama kamu, Haikal. Terima kasih."
Haikal : "Saya tidak punya kuasa, Ustadz. Allah yang menggerakkan semua. Besok kita cari Aina, ya. Jaga kesehatan."
Malam hari. Ustadz Nabil bangun dan sholat Tahajjud. Dalam sujud yang lama, ia berdoa. Memohon agar sebuah keajaiban itu nyata.
Setelah selesai, ia mengadahkan tangannya. Berdoa. Memohon ampun.
"Barangkali sebuah takdir mempertemukan kami kembali, Allah. Semoga dalam ujian ini, ibadah kami semakin baik. Tolong Aina, ya Allah. Saya ridho ia dalam keadaan hidup ataupun tidak. Ia kepunyaanMu. Kami pun. Tempatkan Aina dan kami semua di sebaik-baiknya tempat di sisiMu. Aamiin."
Sarapan pagi itu sepertinya menjadi waktu yang baik untuk memulai semangat. Abah dan Ummi yang telah mendengar kabar baik itu tak sabar seperti apa hasilnya. Mereka memang sudah ikhlas. Tapi tak ada salahnya mereka berharap lagi dari kabar Haikal.
Ustadz Nabil dan Haikal pergi ke sungai tempat kecelakaan terjadi. Mereka menunggu pemancing yang kemarin diceritakan oleh Haikal.
15 menit
30 menit
1 jam
2 jamBerlalu. Tak kunjung datang orang yang dimaksud. Ustadz Nabil menghela napas panjang.
Haikal : "Maaf, Ustadz."
Ustadz Nabil : "Tidak apa-apa. Ini ikhtiar. Kita husnudzon sama Allah."
Mereka berdua melangkah meninggalkan sungai.
"Mas.... Mas..."
Seseorang memanggil dari seberang sungai. Ustadz Nabil dan Haikal menoleh. Haikal tersenyum. Mengucap syukur karena orang tersebut adalah orang yang mereka tunggu. Ia menepati janjinya.
Sungai yang tidak begitu banyak air karena masuk musim kemarau itu akhirnya dilewati Haikal dan Ustadz Nabil.
"Maaf ya, mas. Saya terlambat. Saya sendirian. Tadi ketemu babi hutan saya dikejar. Hehehe... Maklum. Pelosok kampungnya. Belum ada jalan aspal. Hanya jalan tikus."
Haikal : "Kami yang minta maaf ya mas. Merepotkan mas Tino."
Ustadz Nabil : "Saya Nabil, mas. Maaf ya kami benar-benar merepotkan mas Tino."
Tino : "Hehehe... Tidak, mas. Justru saya bersyukur kalo memang mas-mas ini keluarga dari mbak itu. Wah, luar biasa Alhamdulillah. Mari mas. Saya takutnya pas pulang nanti kemalaman. Kita masih melewati satu sungai keruh. Gpp ya kita jalan agak lama?"
Keduanya mengangguk.
"Aina, suamimu datang.", Batin Ustadz Nabil dengan penuh harap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]
General FictionGak ada yang gak mungkin dalam kehidupan. Ada kalanya kamu bisa memilih, kadang memang kamu gada pilihan lain selain menjalani. "Takdir macam apa ini?" Mungkin ini batin Aina dalam menjalani hiruk pikuk kehidupannya. Menjadi istri Gurunya sendiri de...