Bab 9 Aku (mulai) memperhatikanmu

3.5K 187 2
                                    

"Poligami"

Begitu kata Abah saat Aina mendatangi Abah dan mencium tangan Abah. Aina duduk di ruang tengah. Berseberangan dengan Abah. Ekspresi terkejut tak mampu ia sembunyikan. Apa yang Abah ingin bicarakan adalah masalah poligami? Pikiran Aina kacau. Hatinya tak bisa ia kontrol. Imajinasinya jauh.
"Oh, Aina sudah datang." Aina tersenyum dan menunduk. Kupingnya memerah karena ia menahan perasaannya.
"Abah sedang membaca kitab. Bab tentang poligami."
Berangsur-angsur Aina mendingin. Ia hanya salah sangka terhadap Abahnya. Ia pikir itu adalah tema pembicaraan Abah.

"Bagaimana kabar Aina?", Aina tersenyum. "Alhamdulillah, Abah. Baik."
Abah menatap Aina dengan tatapan teduh. "Jun baik sama Aina?". Aina tersenyum. "Eh.. Ustadz Nabil baik sama Aina, Bah." Abah tertawa. "Ustadz Nabil? Kalian harus memulai panggilan khusus. Agar lebih dekat." Aina tersenyum. Ia tak berani bertatapan dengan mata Abah. Ia masih menganggap dirinya seorang santri. Dan selalu begitu. "Aina. Abah belum sempat berbicara panjang lebar. Tapi disini Abah mau berterima kasih untuk Aina sudah mau menerima pernikahan ini. Sebuah beban memang buat Aina dan Jun. Abah sudah sangat tua untuk memikirkan pondok. Dan sudah selayaknya Jun mulai belajar untuk menggantikan Abah suatu saat nanti. Tidak perlu menunggu Abah meninggal dulu, kan?", Aina mendengarkan Abah. "Abah ingin. Jun bersama orang yang baik. Abah ingin ikut mendoakan menantu Abah. Maklumilah karena Jun anak satu-satunya Abah. Abah titip Jun ya, Aina." Aina mengangguk. Entah 'sihir' apa tapi Aina merasa sangat terjaga bila dekat dengan Abah.

"Suatu hari, Aina akan menggantikan Ummi. Tolong bantu Jun urus pondok ini ya , nduk? Kenapa Abah ingin Jun menikah? Karena sudah waktunya ia menikah. Abah tidak mau Jun menikah di usia yang tua seperti Abah. Dan mengapa Abah ingin sekali ia menikah dengan seorang santriwati? Karena hati santri akan tetap pada pondok. Sampai kapanpun ia akan menjadi santri kehidupan. Tata krama dan kesantunan akan ia junjung tinggi. Kemandirian akan jadi ritual dan kecakapan. Tidak mudah menjadi seorang santri ya, nduk?"

"Iya, Bah." Aina menjawab singkat pertanyaan Abah. Ia merasa memang begitulah seharusnya seorang santri, walau ia juga anak mantu seorang yang bijaksana.

"Assalamualaikum.", Sebuah suara terdengar memasuki ruang tengah sambil mendatangi Abah sambil mencium tangan Abah. Ustadz Nabil rupanya sudah selesai mengajar. "Dari tadi, Aina? Sudah makan?" Tanyanya. "Eh.. Sudah." Ustadz Nabil duduk bersama Aina dan Abah. "Kalian cepatlah kembali pulang." Perintah Abah agar kami kembali ke rumah. Abah ikut mendukung keinginanku untuk bisa menemani Ibu. Aina dan Ustadz Nabil pamit, mencium tangan Abah dan segera pergi pulang.

Aina berdiri di depan pagar rumah. Ustadz Nabil nampak kembali masuk ke rumah. Aina memandang langit. Rasa-rasanya ia masih ingin menikmati suasana pondok. Tapi di satu sisi, ia juga tidak ingin meninggalkan ibunya. Pintu garasi terbuka. Ustadz Nabil menuntun sepeda motor. Aina nampak terkejut. "Yuk." Ajak Ustadz Nabil. "Ha?" Kita naik sepeda motor?". Ustadz Nabil mengangguk dan tersenyum. Aina masih belum beranjak. Tadi pagi ia pergi dengan Ustadz Nabil menggunakan mobil. Sekarang ia pulang dengan menggunakan sepeda motor. Berarti ia sudah sangat dekat dengan Ustadz Nabil. Ustadz Nabil sudah menuntun sepedanya sampai di depan Aina. Aina sejenak berpikir. Ustadz Nabil memberi Aina sebuah helm.

Bayangin aja lagi naik ojek. Gak ada perasaan apa-apa. Gitu, Aina.

Ucapan itu ia ulangi 2 kali hingga akhirnya duduk menyamping di belakang Ustadz Nabil. Ia memegang pegangan kursi sepeda motor. "mana Tangan kananmu, Aina?" Ustadz Nabil bertanya. "Ha? Kenapa tangan saya, Ustadz?", Aina menunjukkan tangan kanannya. Dengan cepat kilat Ustadz Nabil memegang tangan Aina dan melingkarkan tangannya ke perut Ustadz Nabil. "Lhooo.. Ustadz." Aina malu. Ustadz Nabil menyembunyikan senyumannya. "Kalau gak diginiin kamu bisa jatuh nanti. Jangan dilepas sampai di rumah." Aina diam. Ia memalingkan mukanya. Malu bercampur-campur.

Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang