Gedung As Salam, Gedung milik pesantren Nurul Hikmah yang terletak di sebelah gedung utama Pondok telah ramai orang-orang yang mengurus segala keperluan. Beberapa Santri pria dari pondok pesantren Nurul Hikmah pun dengan sigap menjadi pengurus pernikahan anak Kyainya. Pondok pria yang berjarak 3 km dari pondok putri. Gedung berhias dekorasi putih sangat khidmat. Musik Gambus dan lantunan sholawat menghiasai hari pernikahan Aina dan Ustadz Nabil. Mereka sudah duduk di pelaminan. Undangan datang dari berbagai macam kalangan. Acara resepsi berlangsung selama 3 jam lamanya. Di tengah-tengah acara, Ustadz Nabil melirik Aina. Aina nampak cantik dengan baju pengantin putih dan hijau tua. Sangat serasi dengan wajah dan akhlakny, begitu batin Ustadz Nabil. "Capek, Aina?", Tanya Ustadz Nabil. "Gak, Ustadz. Gak capek." Sambil melihat para tanu yang sedari tadi belum habis menuju ke pelaminan.
Tiga jam berlalu. Aina dan Ustadz Nabil makan di tempat khusus keluarga. Para santri juga sudah mulai bersiap-siap untuk membersihkan area gedung. Seorang santri datang menghampiri meja mereka. "Maaf, Gus. Ini ada tamu, katanya dari Jakarta." Ustadz Nabil melirik ke arah santrinya. "Mana beliau, antarkan kemari agar makan bersama kita.", Sang santri mengangguk. Seorang bapak dan remaja. "Assalamualaikum, Ustadz Nabil. Maafkan saya baru datang. Penerbangannya delay lama. Selamat ya atas pernikahannya." Bapak tadi tersenyum sambil memeluk Ustadz Nabil. "Masya Allah, Pak Heri. Maaf saya undangan katanya datang dua hari sebelum tanggal pernikahan saya?, Anak santri yang bagian mengecek resi undangan yang memberi tahu apa sudah sampai apa belum undangan ke luar kota. Mari makan bersama. Eh, ini Oki, sudah remaja ya?" Ustadz Nabil menyalami anak Pak Heri. "Iya, baru masuk kuliah. Alhamdulillah. Sudah besar." Yang dibicarakan senyum. "Mari silahkan makan.", seorang Santri mempersilahkan Pak Heri dan Oki ke meja makanan untuk mengambil makanan.
"Kenalkan, ini istri saya, Aina." Aina tersenyum melihat Pak Heri dan Oki. Tamu terakhir Ustadz Nabil akhirnya makan bersama mempelai.
Dalam perjalanan pulang. "Ustadz, senin besok saya sudah masuk sekolah?". Ustadz Nabil mengangguk. Aina tersenyum menatap keluar jendela mobil. Senang rasanya ia bisa kembali bertemu dengan teman-temannya.Malam itu, setelah makan malam. Ketika hendak akan tidur. Aina kembali khawatir. Ia takut kejadian malam lalu membuat ia menjadi malu. Ustadz Nabil sedang menggantungkan pakaiannya.
Aina : "Ustadz"
Ustadz Nabil : "Aina"Sahut mereka bersama.
Aina : "Hmm.. iya kenapa, Ustadz?"
Ustadz Nabil : "Kamu duluan, Aina. Ada apa?".
Aina : "Hmm.. saya bingung ngomongnya."Mereka diam beberapa saat.
Ustadz : "Jun ya? Nama kecil saya. Ummi yang memanggil saya. Karena badan saya besar dan gemuk seperti almarhum kakak, namanya Junaidi. Rasa rindu karena kakak meninggal saat masih anak-anak. Sampai sekarang saya disebut Jun."
Aina : "Aaa... Begitu. Ya ya."
Ustadz Nabil menatap Aina.
Ustadz Nabil : "Bukan itu tho yg mau ditanyain?!".Aina : "Aa, iya. Eh Bukan. Eh iya."
Ustadz Nabil. : "Malam pertama?"
Deg
Kenapa juga ni orang ngerti, ya Allah.
Ustadz Nabil tersenyum. Ia melihat Aina dengan tatapan dalam. Aina melihat sekilas. Tapi ia enggan beradu mata. Ia menunduk.
Ustadz Nabil : "Kita harus melakukan itu.."
Aina : "Apaa?", Ia mendekap jilbabnya seakan-akan ia tak ingin disentuh. Ia belum siap. Secara lahir maupun batin.
Ia menutup mata.
Ustadz Nabil tertawa.Ustadz Nabil : "Kamu nih lucu ya? Saya belum selesai." Ustadz Nabil menatap Aina dalam.
Ustadz Nabil : "Aina, mengingat pernikahan ini adalah sebuah rencana yg sangat dini apalagi untuk kamu. Dan saya melihat kamu juga belum cukup dewasa untuk melayani saya. Saya ingin kamu bisa fokus ke sekolah. Saya insya Allah akan berusaha untuk itu. Saya paham bahwa tugasmu sebagai anak untuk menjaga ibu karena sakitnya juga sebuah upaya besar. Umurmu juga masih sangat dini untuk memiliki anak. Kita masih butuh banyak belajar. Jangan takut. Apapun yang membuat kamu nyaman di dekat saya, saya akan berusaha memahami. Bantu saya juga untuk banyak belajar. Saya juga punya sisi lemah. Saya butuh diingatkan dan dinasihati." Aina mengangguk. Lega rasanya mendengar penjelasan panjang dari Ustadz Nabil.
Aina : "Saya juga wajib meminta maaf, Ustadz. Tak seharusnya saya begini. Bukankah banyak hak suami pada diri sang istri ya, Ustadz?", Ustadz Nabil tersenyum mengangguk.
Ustadz Nabil : "Kita buat kesepakatan. Karena banyak yang harus kita tata. Menurut saya lebih baik begitu. Apa Kamu tidak setuju? Apa ingin mempunyai keturunan secepatnya?"
Aina : "Aaaaa....", Aina melonjak sampai hampir jatuh dari tempat tidur. Ustadz Nabil tertawa.Ustadz Nabil mengambil bantal dan meletakkannya di atas karpet sebelah tempat tidur.
Aina : "Ustadz mau tidur di bawah?"
Ustadz Nabil : "Iya."
Aina : "Saya tidak enak. Apa sebaiknya tidur atas saja?"
Ustadz Nabil : "Saya takut hal tadi malam terjadi lagi. Nanti kita sama-sama teriak lagi."
Aina yang hampir malu bercampur tak enak hati akhirnya mengikuti pilihan suaminya. Merekapun tertidur dengan lelap.
Pukul 03.15, tepat saat alarm keduanya berbunyi lagi. Aina membuka mata, ia sangat terlelap. Ia duduk dan segera akan beranjak dari tempat tidur. Ia masih sangat berat untuk berdiri.
Eh... Jilbabku kenapa ada disini? Bukannya tadi malam masih kupakai?
"SIAPA YANG MEMBUKA JILBABKU?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]
General FictionGak ada yang gak mungkin dalam kehidupan. Ada kalanya kamu bisa memilih, kadang memang kamu gada pilihan lain selain menjalani. "Takdir macam apa ini?" Mungkin ini batin Aina dalam menjalani hiruk pikuk kehidupannya. Menjadi istri Gurunya sendiri de...