Bab 18 Lihat, aku.

3.1K 178 4
                                    

Sore itu, Ustadz Nabil di rumah Abah. Di ruang tengah duduk bersama Umi dengan teh hangat juga pisang goreng.

Umi : "Aina gak tidur sini, Jun?"

Ustdaz Nabil : "Gak, Umi. Tadi izin mau tidur di asrama. Mungkin kangen sama teman-temannya."

Umi : "Kalian baik-baik saja, kan?

Ustadz Nabil : "Alhamdulillah. Doanya ya, Umi. Biar rukun selalu."

Umi : (tersenyum) "Umi cuma merasa  kalian masih dalam fase yang masih panjang untuk pengenalan. Pernikahan itu kan ta'aruf seumur hidup. Jadi setiap hari biasanya menemukan hal yang baru. Anggap saja kejutan. Perempuan itu senang diperhatikan. Senang dibelai, dimanja. Kalo marah biasanya diam. Atau kadang-kadang diam tanpa sebab. Maksudnya, suami disuruh mencari tahu walau kebanyakan jawabannya 'gak papa'."

Ustdaz Nabil : "Iya, Umi. Mungkin Jun yang belum peka terhadap banyak hal. Masih perlu belajar. Masih belum tahu gimana caranya meredam amarah istri."

Abah : (tiba-tiba datang dan duduk di ruang tengah) "Ya gitu ujian suami. Istri itu dasarnya makhluk lemah lembut. Bukan lemah fisik, tapi lemah hati hila tak dicintai. Lembut itu bila dicintai, ia akan semakin menunjukkan pesonya sebagai seorang istri. Kenapa begitu?"

Ustdaz Nabil menoleh ke arah Abah dengan tatapan tajam seraya berkata, "Lanjut, bah."

Abah : "Tugas suami itu kan sebagai pengganti orang tua istri. Gak hanya masalah uang saja lalu kita bekerja. Tapi ya sandang, pangan, papan juga perhatian. Sandang, pakaian. Tidak hanya membelikan pakaian, jilbab atau lainnya. Tapi ya mencuci menyetrika. Pangan. Makanan itu ya suami yang menyediakan. Memasak, belanja. Papan. Rumah tidak hanya disediakan. Tapi dirawat, dibersihkan. Di wilayah timur, perempuan melakukan tugas rumah sebagai rutinitas harian. Sudah pakem. Dan sebuah pahala besar bila ia membantu suami dalam menunaikan kewajibannya. Makanya perempuan bisa masuk ke surga melalui pintu mana saja itu karena Allah paham. Istri yang juga punya andil besar dalam membantu tugas suami."

Umi : "Walo Abah tidak menuntut Umi di hari awal pernikahan dengan ini itu. Tapi jadi kegiatan positif untuk perempuan bisa merawat apa yang dikerjakan suami. Wajibnya perempuan, tidak semata-mata sebuah pengorbanan. Umi menilai itu sebuah kelayakan dari perjuangan. Ibadah yang layak dijunjung tinggi."

Abah : "Yasudah, biarkan Aina di sini dulu. Ini kan juga proses untuk kalian bahwa pernikahan tidak hanya jalan panjang nan halus, tapi ada juga juga yang terjal. Sabarlah. Suami itu adalah titik beban istri. Maksudnya, istri banyak menaruh harapan besar. Ya hatinya, fisiknya, perhatiannya."

Ustadz Nabil tersenyum. Ia merasa ada energi besar masuk ke dalam hatinya. Tadinya ia sangat kalut karena Aina begitu sedih melihat kejadian itu. Ia juga tak kalah sedih. Ia pamit untuk pergi ke lingkungan santriwati. Ia menatap Gedung asrama tempat Aina berada.

"Jangan lama-lama. Aku menunggu sampai hilang kesalmu.", Batin Ustadz Nabil.

Di kamar santriwati. Malam itu tepat pukul 22.15. Aina hanya diam. Membaca Al Qur'an. Ia tak menangis. Hanya mata yang terlihat bengkak sangat terlihat. Lelah rasanya menangis seharian.

"Na, tadi makannya sedikit. Ayo pingin apa? Aku ambilin.", Tanya Putri.

Aina menggeleng. Rasanya tak ada nafsu makan. Dunianya runtuh. Bahagianya hilang. Nama Ustdaz Nabil terhapus begitu saja dari hatinya.

"Tenangkan dirimu. Jangan memutuskan apapun saat marah.", Kata Lutfah membesarkan hatinya.

"Aina harus bicara dengan Mas Jun. Karena itu adalah kunci dari semua. Terima apapun yang terjadi.", Sambungnya.

Aina tak yakin dengan dirinya. Pikirannya entah kemana. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara menghadapi Mas Jun yang mulai ia sayang. Ada yang mendadak tiba-tiba hilang. Rasa percayanya seperti debu yang berterbangan. Hancur hatinya, hancur hidupnya. Ia malu hendak pulang ke rumah. Ke rumah Abah, atau ke rumah Ibunya.

Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang