Setahun setelah kelulusan para santri dan acara wisuda berlalu. Aina kini belajar menjadi seorang istri sepenuhnya. Ustadz Nabil dan Aina masih tinggal di rumah Abah. Karena jadwal Ustadz Nabil di pondok sangat padat.
Aina fokus terhadap perannya menjadi seorang istri. Teman-temannya seperti Lita, Putri dan Lutfah sudah menjalani impiannya. Ada yang melanjutkan kuliah, ada juga yang berwiraswasta. Keempatnya masih sering bertemu. Entah di rumah Abah atau di luar.
"Mbak Aina."
Aina menoleh ke suara tersebut.
Iffah : "Ini baju Gus Nabil. Sudah saya setrika."
Aina mengambil baju-baju tersebut dan tersenyum. Ini kesekian kalinya Iffah menaruh banyak perhatian terhadap Ustadz Nabil, begitu prasangkanya. Terkadang ia harus rela membiarkan Iffah menyediakan makanan suaminya. Sesaat sebelum Aina menyediakan. Ia seperti kalah cepat. Aina seperti orang asing. Mengapa Iffah lebih tahu segala jadwal Ustadz Nabil ketimbang dirinya. terutama masalah menyediakan hal-hal kecil. Ia terpaksa menjadi terbiasa dengan kelakuan Iffah dan itu membuatnya tidak nyaman. Walau berulang kali Ustadz Nabil mengatakan bahwa itu adalah bentuk bakti, Aina selalu luluh ketika nasihat itu menyentuh hati Aina.a
Tapi ia merasa perlu meluruskan ini.
Iffah memberseskan meja makan. Aina yang berada di ruang tengah berjalan menuju Iffah.Aina : "Mbak Iffah. Boleh saya bicara sebentar."
Iffah : "Boleh mbak."
Aina : "Begini. Mungkin untuk seterusnya, keperluan Gus Nabil biar menjadi tanggung jawab saya saja. Biar lebih ringan pekerjaan mbak Iffah. Toh mbak Iffah juga harus fokus ke majelis ilmu. Biar ada waktu lebih banyak ke hal yang lain."
Iffah : "Iya, mbak. Saya minta maaf kalo saya mungkin lancang selama ini. Ndak bermaksud apa-apa."
Aina tersenyum.
Aina : "Saya merasa malu karena sebetulnya kan mbak Iffah ini tamu kami."
Iffah : "Ya ndak to, mbak Aina. Saya kan sudah mendedikasikan diri menjadi santri di sini. Jadi saya bukan tamu."
Aina : "Yasudah. Pokoknya saya sudah kasih tahu. Harapannya biar mbak Iffah lebih fokus ke tujuan utama. Makasih, mbak Iffah."
Aina masuk ke kamar. Hatinya lega. Sebuah surat terletak di meja rias. Amplop putih yang tertutup rapi. Aina membuka surat itu.
"Terkadang. Merelakan sesuatu demi kebahagiaan adalah bentuk kecintaan."
Aina heran. Siapa yang menulis surat ini? Ustadz Nabil? Siapa yang berani menaruh surat di sini?
Malam itu, Ustadz Nabil berada di kamar bersama Aina. Aina hanya diam. Surat yang ia sembunyikan ingin segera ia bicarakan dengan Ustadz Nabil. Tapi ada yang menahannya. Entah apa.
Aina : "Mas. Besok aku keluar ya. Mau ke toko Lutfah. Lama gak ketemu anak-anak. Putri sama Lita juga ke sana setelah kuliah."
Ustadz Nabil : "Mau dianter?!"
Aina : "Gak usah gpp. Naik becak saja. Kan gak jauh dari pondok tokonya. Pulangnya bisa bareng Lita atau Putri."
Ustadz Nabil : "Iya. Hati-hati ya?"
********
Keesokan harinya. Aina sudah berada di toko kue Lutfah. Toko kue Lutfah terdapat sudut cafe kecil untuk pelanggan yang ingin duduk menikmati makanan dan minuman.
Aina : "Fah. Berapa lama ya, aku bisa nemenin Mas Jun?"
Lutfah : "Kenapa, Na? Kamu bertengkar sama suamimu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]
General FictionGak ada yang gak mungkin dalam kehidupan. Ada kalanya kamu bisa memilih, kadang memang kamu gada pilihan lain selain menjalani. "Takdir macam apa ini?" Mungkin ini batin Aina dalam menjalani hiruk pikuk kehidupannya. Menjadi istri Gurunya sendiri de...