Bab 39 Kerudung Batik

2.8K 172 5
                                    

Ustadz Nabil, Haikal, dan Tino yang memimpin perjalanan. Sebuah Kampung bernama Mburi Alas karena berada di belakanh hutan. Dari jalan utama tempat kejadian kecelakaan. Harus melewati dua sungai. Satu sungai deras. Satu lagi sungai tenang. Para warga biasanya menamai sungai keruh. Sungai tersebut biasanya terdapat buaya. Untuk itu mereka harus berhati-hati melewati sungai. Biasanya mereka akan pergi ke tempat lain menunggu air sungai tak terlalu tinggi. Mereka biasanya melewati batu batu besar yang bisa dipijak.

Hutan yang dilewati pun masih sangat asri. Tak pelak banyak hewan hutan seperti babi hutan, ular, sampai musang liar pun masih lalu lalang.

Tino bercerita bagaimana kampunya yang hanya mempunyai 15 rumah itu bisa bertahan. Cerita demi cerita didengarkan. Haikal dan Ustadz Nabil sesekali menggelengkan kepala. Bisa bertahan dengan kehidupan seperti itu adalah hal yang luar biasa.

Setelah satu jam lebih perjalanan mereka, akhirnya mereka sampai juga ke kampung Mburi Alas. Jantung Ustadz Nabil berdetak kencang. Haikal juga tak kalah penasaran.

Tino mengajak Ustadz Nabil dan Haikal ke rumah pasutri yang dimaksud. Setelah mengetuk pintu. Mereka dipersilahkan masuk. Rumah yang terbuat bambu tersebut nampak sangat sederhana. Lantai tanah yang lembab. Hanya ada satu bilik tanpa pintu. Hanya disampirkan kain batik.

Seorang pria paruh baya menerima tamu asingnya.

"Mas Tino. Sama siapa?", Tanyanya tersenyum.

Tino : "Pak Zul, ini mas Haikal sama mas Nabil. Mereka kemari mau memastikan perempuan yang ditolong pak Zul dan bu Marni dua bulan lalu. Barangkali mbaknya itu keluarga mas Haikal dan mas Nabil."

Pak Zul tersenyum.

Pak Zul : "Duh, namanya kok lupa. Biasanya saya panggil Nduk. Maklum. Gak punya anak. Sekarang sedang mengajar di rumah pojok yang biasanya buat ngaji anak-anak. Nduk yang mengajar ngaji."

Hati Ustadz Nabil bergemuruh. Ia ingin pergi ke tempat itu. Memastikan apakah itu Aina atau bukan.

Ustadz Nabil : "Maaf, pak. Sebelumnya. Apa boleh saya melihat mbaknya dulu? Saya ingin memastikan apakah itu istri saya atau bukan?"

Pak Zul : "Lho, istri tho? Ooo. Iya iya. Semoga nduk itu beneran istri masnya ya. Ayo cepat ke rumah ujung situ. Yang pintunya triplek."

Ustadz Nabil pamit dan menuju rumah yang dituju. Langkahnya ringan. Penuh harap. Bukan Aina pun tak mengapa. Setidaknya ia berusaha. Bajunya dari kering, basah dan kering lagi, kulitnya gatal, beberapa jari kakinya bengkak. Tak apa, begitu tekadnya. Memompa semangat agar dapat tetap tenang.

Sayup-sayup terdengar suara dari anak-anak mengaji. Ia semakin dekat dengan rumah itu rumah kecil. Pintu triplek. Ia masih menunggu. Takut mengganggu kegiatan tersebut. Ia sesekali melirik ke dalam. Beberapa anak dan seorang perempuan yang menghadap ke arah papan tulis kapur. Perempuan itu berkerudung kain batik. Tingginya seperti tinggi Aina. Batin Ustadz Nabil. Ia kembali ke posisi semula. Ia belum melihat wajah perempuan itu. Dan suaranya. Daritadi tak terdengar suara perempuan itu. Akhirnya ia. Memberanikan diri untuk masuk.

"Assalamualaikum."

Anak-anak menoleh. Mendengar suara yang tak pernah mereka dengar.
"Waalaikumsa....", Sambil menoleh ke arah Ustadz Nabil. Ustadz Nabil tercengang. Matanya berkaca-kaca.

Ustadz Nabil : "Aina..."

Perempuan itu Aina. Yang selama dua bulan ini dikira sudah tak di dunia ini lagi. Yang banyak air mata untuknya. Sekarang Allah beri kesempatan untuk melihatnya, bertemu dengannya. Ustadz Nabil menemukan Aina kembali.

"Mas Jun...", air mata Aina jatuh perlahan. Ia berlari ke arah suaminya. Ustadz Nabil menerima pelukan Aina. Pertemuan mengharukan setelah dua bulan pencarian. Akhirnya datang juga.

Ustadz Nabil : "Mas pikir kamu sudah meninggal. Maafin mas ya. Lama mencari Aina."

Aina masih menangis. Sendu. Ia seperti benar-benar mendapatkan hadiah utama. Suaminya ada di depan mata. Menjemputnya.

Aina menyudahi pelajaran dengan anak-anak. Ia dan Ustadz Nabil kembali ke rumah Pak Zul.

Pak Zul, Tino dan Haikal tersenyum. Bersyukur karena Aina dan Ustadz Nabil akhirnya kembali bersama.

Pak Zul : "Oalah Nduk. Ini suamimu, tho? Bejo beruntung Alhamdulillah ketemu sama keluarga. Maaf ya, nak Nabil. Saya diceritain sama mas Haikal."

Tino : "Kami gak berpikir sejauh ini."

Haikal : "Pak Zul cerita. Waktu menemukan Aina beberapa saat setelah suara benda yang jatuh ke sungai. Ia tak sampai hanyut. Ia pingsan. Ia dan istrinya saat itu membawa gerobak kecil. Mereka tidak melewati jalan yang kita lewati. Tapi memutar ke kampung sebelah yang ada jembatannya melewati sungai keruh tadi. Aina dirawat oleh Pak Zul dan istrinya."

Aina : "Aku sempat mau pulang. Beberapa kali menyusuri sungai keruh saat air gak deras. Tapi ada aja. Ketemu hewan liar bikin takut. Padahal yang antar beberapa warga sini. Tapi takut merepotkan. Akhirnya urung. Berharap ada yang sampai kemari."

Pak Zul : "Nduk ini sempat cerita kalo sekolah di pondok. Karena gak ada musholla, akhirnya tempat seadaanya yang dipake buat mengaji anak-anak. Makasih ya, nduk."

Ustadz Nabil : "Pak Zul, mas Tino. Saya, Haikal dan seluruh keluarga besar mengucapkan banyak-banyak terima kasih telah menjaga Aina. Saya tidak tahu mau membalas kebaikan Pak Zul dan semuanya."

Tino : "Mas. Sudah kewajiban manusia saling membantu. Tidak perlu."

Pak Zul : "Nduk yang membawa banyak harapan di sini. Anak-anak bisa mengaji. Bikin pupuk dari sampah. Makasih ya, Nduk. Bapak selalu ingat Nduk e."

Aina tersenyum. Ia seperti hidup kembali. Haikal, Ustadz Nabil dan Aina pamit. Dengan diantar Timo dan seorang warga lagi, mereka kembali ke jalan utama untuk pulang.

Ustadz Nabil : "Mas Tino, seminggu lagi insya Allah saya mau berkunjung. Boleh saya ke kampung Mburi Alas?"

Tino : "Lho, silahkan, Mas Nabil. Saya jemput di sini ya. Jam nya sama. Saya berangkat lebih pagi "

Ustadz Nabil : "Jangan, mas. Insya Allah saya tahu jalannya."

Tino : "Wah, jangan, mas. Saya gak tega kalo tamunya ketemu hewan-hewan hutan. Saya tunggu di sini, ya?. Jangan khawatir."

Ustadz Nabil tersenyum. Lega rasanya. Dadanya semakin lapang. Tangannya menggenggam tangan Aina. Seakan-akan tak ingin melepaskannya.

Saat ini, ia akan lebih menjaga Aina. Ia tak mau hal apapun menimpa Aina.

"Kita pulang, Aina.", Ajak Ustadz Nabil.

Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang