Pagi itu, di hari Ahad (minggu). Aina sepertinya bangun kesiangan. Jam 6.30 ia terbangun. Ustadz Nabil tidak ada di dalam kamar. Ia keluar kamar. Ia mendapati Ustadz Nabil dan ayahnya sedang duduk di ruang tamu.
Ibu sedang menyiapkan sarapan pagi di meja makan.Ibu : "Anak Ibu... Kecapekan ya? Lagi gak sholat, nak?"
Aina : "iya, Bu. Dari tadi malam."
Ibu : "yaaa.... Gak jadi punya cucu dong Ibu."
Aina : "Ibuuuu....."
Ibu : "Jun itu baik ya. Tadi setelah sholat subuh dia bantu ibu ke pasar. Dia bisa nawar lho, Aina. Kalah ibu."
Aina : "Padahal dia Gus ya. Semua-semua tinggal ambil. Atau... (Diam) biar jadi menantu emas ibu kali."
Ustadz Nabil : (datang ke dapur) "Siapa bilang? Dari dulu Umi selalu ajak ke pasar lho, Na. Kamu tahu gak bedanya jahe sama lengkuas? Gini-gini aku tahu kok bedanya lada sama ketumbar. Cuma satu yang aku gak tahu. Aina bisa masak apa gak?" Ustadz Nabil tersenyum sambil mengambil gelas.
Ibu : "Nha... Itu. Aina, gimana? Tahu telur yang biasa kamu bikin sudah pernah dicicipi Jun, belum?"
Aina : "ish... Aku tahu kok. Gini ini aku juga bisa nawar di pasar. Apalagi sama mas Gembul. Pasti dikasih murah."
Ustadz Nabil : "Mas Gembul?"
Ibu : "Hahaha... Langganan ibu yang tadi kita beli kentang sama bengkoang, Jun. Kan agak gemuk orangnya. Kalau sama Aina dia mau kasih murah. Suka kali ya sama Aina?!"
Ustadz Nabil : "Wah.. tahu gitu tadi bilang aja ini suaminya Aina."
Aina : "Biar Mas Gembul cemburu?!"
Ustadz Nabil : "Biar dikasih murah gitu."
Ibu, Ustadz Nabil dan Aina tertawa.
Ibu lekas pergi menuju ruang tamu. Ustadz Nabil mengambil air minum dari teko di atas meja makan. Aina yang sedang mengupas kentang duduk di kursi meja makan.Ustdaz Nabil : "Kalau cemburu memang iya."
Aina melirik Ustadz Nabil.
Aina : "Lha... Mas Gembul mah mau nikah ngapain dia cemburu kalo Mas Jun kasih tahu Aina sudah nikah."
Ustadz Nabil : "Aku yang cemburu."
Aina tertunduk pura-pura tidak mendengarkan. Ia kembali makin sibuk mengupas kentang yang ada di atas meja.
Ustadz Nabil : "Hari ini aku ada janji dengan Fatah dan Haikal. Agenda mereka besok rencananya tentang praktek sanitasi. Oh ya, teman-temanmu sudah dikabari kan kalo besok prakteknya pagi?."
Aina mengangguk.
Ustadz Nabil : "Habis sarapan, mandi ya? Kita berangkat ke tempat Haikal. Rumahnya agak jauh dari sini. Ada beberapa alat peraga yang bisa dicontohkan ke kita sebelum eksekusi besok dengan para santri."
Aina : "Tapi. Kalo kita berangkat sama-sama apa mereka gak curiga kalo kita suami istri, mas?"
Ustadz Nabil : "Gpp. Ada alasan yang lebih logis. Insya Allah gpp."
Setelah sarapan bersama Ayah Ibu Aina, mereka pergi ke tempat Haikal yang memakan waktu perjalanan hampir 30 menit. Sepeda Ustadz Nabil melaju dengan berhati-hati seperti biasanya.
Di tengah perjalanan.
Aina : "Hmm, Mas Jun. Pulang nanti mampir ke toko sebentar, ya? Mau beli sesuatu."
Ustadz Nabil : "Oke. Pegangan yang kencang ya. Ngebut sedikit."
Sepeda mereka nampak berjalan sedikit kencang. Hingga akhirnya Ustadz Nabil dan Aina sudah memasuki halaman rumah Haikal.
Haikal : "Assalamualaikum. Mari Ustadz, Aina. Barengan ini?"
Haikal yang sengaja duduk di teras depan menunggu kehadiran Ustadz Nabil dan Aina sedari tadi dan sedikit bertanya-tanya mengapa keduanya berangkat bersama.
Ustadz Nabil : "Daerah rumah kami sama. Orang tua kami juga berteman. Jadi tadi saya yang sengaja ngajak bareng. Toh tujuannya sama."
Aina hanya tersenyum.
Pinter. Gak bohong juga sih.
Haikal mempersilahkan keduanya duduk di ruang tamu. Rumah Haikal besar. Di sebelah taman ada garasi yang tidak di tempati mobil merupakan alat-alat untuk proyek sanitasi. Motor Ustadz Nabil juga diparkir di depan garasi tersebut. Ruang tamunya besar. Model rumah jaman dulu dengan foto-foto keluarga yang lawas. Mungkin foto nenek kakek bersama anak-anaknya yang masih kecil. Lampu yang vintage juga membuat rumah ini seperti kembali ke masa lalu.
Aina sedari tadi melihat-lihat isi ruang tamu Haikal. Matanya berlari kesana kemari karena penasaran.
Ustdaz Nabil : "Hish. Matanya dijaga. Gak sopan lihat-lihat rumah orang."
Aina menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Aina : "Penasaran, Mas Jun. Eh... Ustadz."
Haikal : "Mari Ustadz kita ke garasi sebelah. Alat-alatnya sudah siap."
Haikal, Ustadz Nabil dan Aina berdiri dan menuju ke garasi rumah Haikal.
Haikal memperkenalkan satu-satu alat-alat yang ada sudah ia siapkan. Bagaimana cara kerjanya, bagaimana output yang dihasilkan. Semuanya sudah terkonsep seperti yang dijelaskan saat di awal pertemuan dengan para santri. Aina memperhatikan dengan seksama. Sesekali ia bertanya kepada Haikal. Aina memang sangat penuh seksama. Ia bukan orang yang tidak mau tahu tentang sebuah hal baru. Di saat ia dengan khidmat menerima ilmu baru dari Haikal. Sepasang mata yang selalu memperhatikannya, Ustadz Nabil, tak lepas dari pandangannya terhadap wajah cantik Aina.Haikal : "Ah... Sebentar. Saya lupa. Ada yang kelupaan. Sebentar ya saya ke dalam dulu."
Ustadz Nabil dan Aina mengangguk.
Aina sedari tadi mengamati, sesekali mencoba beberapa alat.Aina : "Ustadz, pernah coba...."
Mata Aina membulat. Ustadz Nabil keheranan melihat ekspresi Aina.
Aina : "Ada... Tenang ya. Jangan bergerak. Anu... Pundak... Ada... Ci.. cak."
Ustadz Nabil kaget mendengar Aina. Mukanya pucat. Ia diam tak berkata-kata. Keringatnya seketika deras melalui dahinya. Aina dengan tangan yang sigap mengambil sebuah alat kecil dan mengusir cicak dari pundak Ustadz Nabil.
Napas Ustadz Nabil terengah-engah. Sebetulnya, ia merasa sedikit kaget dan takut juga dengan hewan tersebut.
Ustadz Nabil : "Te... Ter.. terima kasih, Aina." Ucapnya dengan terbata-bata.
Aina dengan senyum kecil mengangguk. Ia juga tak kalah kaget karena Ustadz Nabil rupanya takut juga dengan cicak.
Aina duduk di tempat duduk. Tiba-tiba seekor hewan yang terbang hinggap di punggung tangan Aina. Aina yang baru sadar melihat seekor kecoak mendadak berteriak dan berlari ke arah Ustadz Nabil dan memeluknya.
Aina : " Hiiii.....kecoaaaaak."
Ustadz Nabil yang belum selesai dari kejadian cicak mau tak mau menerima pelukan Aina. Ia bukan kaget dengan kecoak, tapi perilaku Aina yang tiba-tiba memeluknya adalah sebuah kejadian baru selama ia menikah. Bukan tanpa sengaja seperti awal mula pernikahan mereka.
Aina beberapa saat lalu tersadar, ia sudah berada di pelukan suaminya. Ia ragu, ia malu, tapi ia takut mengangkat mukanya. Kini ia sadar kira-kira seluruh badannya 'memanas' karena malu. Wajahnya semburat merah. Ia tak tahu bagaimana cerita selanjutnya.
Walau begitu dari kejadian tak terduga ini, Ustadz Nabil dan Aina nampak....
Menikmati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]
General FictionGak ada yang gak mungkin dalam kehidupan. Ada kalanya kamu bisa memilih, kadang memang kamu gada pilihan lain selain menjalani. "Takdir macam apa ini?" Mungkin ini batin Aina dalam menjalani hiruk pikuk kehidupannya. Menjadi istri Gurunya sendiri de...