Ustadz Nabil melepas jasnya. Ia mendekati Aina. Aina bergerak mundur hingga ia disudut pintu. Ia seperti ingin keluar dari kamar. "Maaf, ustadz. Ustadz mau ngapain?". Suara Aina bergetar. Tangan Ustadz Nabil perlahan mendekati tangan Aina. Aina menutup mata ketakutan. "Saya mau keluar Aina. Biar kamu bisa ganti baju dengan bebas." Aina yang terlanjur menutup mata tiba-tiba membuka mata dan terlihat kikuk. Cepat-cepat ia berlari ke dekat tempat tidurnya. Ustadz Nabil keluar kamar. Aina kembali berlari ke luar pintu dan menguncinya. Ia menarik napas lepas. Lega rasanya. Masih sangat awam rasanya ia berdua dengan seorang laki-laki. Apalagi ia adalah gurunya di sekolah. Aina mengganti baju dan membersihkan make up.
Malam nanti. Gimana nih?
Sore berlalu. Ba'da Magrib. Aina keluar kamar menuju ruang makan. Barisan makanan berjejer disitu. Keluarganya masih berkumpul di rumahnya. "Mana suamimu, Na? Sini suruh makan." Aina yang ditanya diam. Sedari siang tadi Ustadz Nabil belum masuk kamarnya. Aina yang kelelahan saat acara tak sengaja tertidur selepas sholat zuhur. Ia bahkan lupa kalau hari ini adalah hari pernikahannya. Ia terbangun dan bergegas keluar kamar dan mendapati masih banyak rekan dan kerabat yang ada di rumahnya. "Oia, tadi ia pergi tapi gak tahu kemana. Aku juga mencarinya." Jawabnya agar keluarga tak tahu hagaimana kondisi hatinya saat ini. "Telpon saja. Barangkali diangkat. Suruh ia makan siang. Tadi sepertinya tante hak lihat dia makan siang sama kamu.", Deg. Jantung Aina berdetak. Ia bahkan tidak menyimpan nomor ustadz Nabil. "Aaa... Hapenya mati, tante. Mungkin sebentar lagi pulang." Aina agak gugup menjawab. Ia takut ketahuan. "Aina. Maaf tadi ada teman pondok. Lumayan 8 orang yang datang. Jadi harus menemani. Kamu sudah makan?", Tiba-tiba suara ustadz Nabil memecah kegugupannya. Ia bahkan nampak sangat gugup. "Aa.. belum. Ayuk makan." Ajak Aina dibarengi tantenya yang mempersilahkan dan pergi ke dapur meninggalkan mereka berdua yang sedang memilih makanan. Aina mengambilkan piring untuk ustadz Nabil. Ustadz Nabil tersenyum.
Kruucuuk.
Aina menatap Ustadz Nabil. Yang dilihat memerah pipinya. Ia tak bisa menyembunyikan bahwa ia sedang lapar. Sedari siang tadi, setelah sholat ia bahkan menemui teman-temannya. "Maaf. Memang lapar.", Ia kembali tersenyum. Mereka berdua duduk di karpet merah di ruang tengah. Beberapa keponakan berlari. Ustadz Nabil selesai makan. Ia melirik Aina. Aina pun sudah menyelesaikan makanannya. "Cepat sekali makannya Aina.", Tukas Ustadz Nabil. "Iya, makan saya cepat, Ustadz." Ia langsung mengambil piring Ustadz Nabil yang sudah kosong dan meletakkannya di tempat cuci piring. Aina mencuci piringnya. Ia mencuci dengan gerakan yang sangat lambat. Ia berharap ada kesibukan yang membuatnya tidak 'bertemu' dengan Ustadz Nabil. Bercampur aduk rasanya bertemu dengan suaminya. "Naaa.... Ngapain kamu cuci piring? Ayok temani suamimu sana.", Kakak sepupunya tiba-tiba datang dan mendorongnya menjauh dari tempat cuci piring. Aina nampak kaget. Mukanya memerah. Ustadz Nabil yang di ruang tengah sedikit kaget, dan tersenyum. Aina duduk, sedikit berjauhan dengan Ustadz Nabil. "Heh, kalian lagi marahan ya?! Duduk kok jauh-jauh.", Sekilas sepupunya menggoda sambil berlalu. Sang pengantin nampak malu-malu. Ustadz Nabil menata wajahnya. Ia mungkin lebih dewasa dalam menanggapi. Tapi tidak Aina. Ia sangat malu. Ia tidak mungkin menggeser posisi duduknya hanya untuk memenuhi keinginan orang-orang. "Ustadz Nabil.", Aina buka suara walau agak sungkan. "Ya?", Ustadz Nabil menjawab. "Ngg... Anu. Bingung saya, ustadz.", Ustadz Nabil menghabiskan gelas yang ada di depannya. Ia berdiri dan menarik tangan Aina. Aina kaget. Mau ia lepaskan takut dilihat keluarga. Untung saja saat itu tidak ada orang. Ustadz Nabil membawa Aina ke kamar. Aina bingung. Ustadz Nabil mengunci pintu. Aina tambah bingung.
Kenapa lagi ini, ya Allah. Tolong hamba.
Ustadz Nabil melepas dasinya. "Ustadz mau ngapain?", Aina hampir menangis. Ia seperti merasa terancam. "Aina, sebetulnya, saya mengantuk. Saya tidur sebentar ya. Sebaiknya kamu di kamar saja. Biar gak dibully sepupu-sepupu kamu. Saya tidur di karpet tebal ini saja.
Aina melirik Ustadz Nabil yang sedari tadi menahan matanya yang berat. "Eh, ndak usah Ustadz, tidur saja di kasur. Saya duduk di karpet. Nanti saya bangunkan saat adzan Magrib." Yang diajak bicara terdiam. Ia sudah tertidur lelap. Nampaknya penat ia rasakan di hari pernikahannya. Aina duduk di karpet halus di dekat meja belajarnya. Ada bantal besar di karpet itu. Ia merebahkan badannya di bantal empuk miliknya. Itu adalah zona nyamannya. Ia membelakangi ustadz Nabil yg tidur. Ia takut pandangannya membuat ia tak fokus. Ia takut membayangkan hal-hal lain. Ia membuka ponselnya. "Ngapain juga aku di kamar? Gak papa juga sih biar gak disuruh ini itu. Capek aku tuh.", Tak terasa ia pun tertidur. Entah ia memikirkan apa, tapi nampaknya ia juga merasakan kantuk.Allahu akbar.... Allahu Akbar.
Bunyi adzan terdengar. Ia bangun dengan panik. "Ya ampun. Aku ketiduran." Cepat-cepat ia melepas jilbab. Bergegas ia akan keluar kamar mandi. Ia hendak akan mengambil pakaian dan mandi. Saat ia menoleh dari lemari, ia melihat sosok lelaki yang duduk di ranjang. "Aaaaaa....", Ia berteriak. Ia lupa kalau ada Ustadz Nabil yang sudah menjadi suaminya. "Ya Allah, kenapa berteriak? Tadi mau aku bangunkan. Tapi kamu tidur nyenyak sekali. Kasihan." Cepat-cepat ia memakai jilbab. Ustadz Nabil tersenyum. "Auratmu hak ku, Aina. Tak perlu malu.", Ustadz Nabil memberikan pernyataan. "Anu, Ustadz. Maaf saya kol belum terbiasa ya. Maaf." Buru-buru ia keluar kamar. Ditinggalkannya Ustadz Nabil yang sudah rapi dengan baju koko.
Makan malam keluarga akan segera dimulai seteelah sholat Maghrib. Para lelaki yang barusan datang dari mesjid bersiap berkumpul ke meja makan. Dan para perempuan yang sudah sholat, nampak sibuk menyiapkan makanan di meja makan. Aina juga ikut membantu. Ustadz Nabil dan ayah Aina datang. "Waah, sudah siap. Yang lain sudah selesai Sholat? Ayok kita segera makan. Keburu isya. Nanti kelaparan." Ustadz Nabil mengambil piring untuk mertuanya. Lalu Aina memberi piring untuk Ustadz Nabil. Cara sederhana ini ampuh karena nasihat bunda. Melayani suami dalam hal kecil adalah bentuk hormat dan sayang. Ayah dan Ibu Aina tersenyum melihat Anaknya melayani suaminya. Ia begitu memperhatikan suaminya. Para keluarga makan bersama. 15 menit berlalu, saat semua sudah hampir menyelesaikan makanannya. "Aina dan Jun, rencana ingin punya anak berapa?", Tanya seorang Tantenya. "Jun?", Aina melihat Tantenya. Ia tak tahu sedari acara tadi, MC pun memanggil Jun pada Ustadz Nabil. Ustadz Nabil melihat Aina. "Itu sebenarnya panggilan di keluargaku. MC tadi kan anak Pak De ku. Jadi dia memanggil Jun.", Aina tidak bereaksi. Ia melanjutkan suapan terakhir makan malamnya. "Aina gak lagi liburkan?", Canda Tantenya yang lain. "Apaan sih, te?!" Aina malu. Mukanya memerah. Ia membereskan piringnya dan piring Ustadz Nabil. Ia berlari ke dapur. Aina kembali duduk di ruang tengah.
"Perhatian, insyaAllah resepsi akan digelar besok ya di Pondok Nak Jun. Jadi harap semua keluarga terutama ibu² dan adek² yang dimakeup segera menyesuaikan waktu biar tidak terlambat." Aina kembali terkejut. "Ha?!", Mendengar Pondok Nak Jun berarti
Pondok itu punya Ustadz Nabil? Kok bisa?
Kepalanya dihinggapi banyak pertanyaan. Dari mengapa Ayah dan Ibu kenal Ustadz Nabil? Mengapa Ustadz Nabil melamar dirinya? Dan pondok yang pernah ia tekuni untuk berilmu adalah milik Ustadz Nabil.
Ada apa denganmu, Jun?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]
General FictionGak ada yang gak mungkin dalam kehidupan. Ada kalanya kamu bisa memilih, kadang memang kamu gada pilihan lain selain menjalani. "Takdir macam apa ini?" Mungkin ini batin Aina dalam menjalani hiruk pikuk kehidupannya. Menjadi istri Gurunya sendiri de...