Pintu gerbang pondok terbuka saat mobil Ustadz Nabil masuk. Para santriwati berdiri di sepanjang pintu masuk, memainkan rebana dengan lantunan sholawat.
طلع البدر علينا
Thala‘a al-badru ‘alaynā
”Wahai bulan purnama yang terbit kepada kita”من ثنيات الوداع
Min tsanīyāti al-wadā‘
”Dari lembah Wadā‘’وجب الشكر علينا
Wajab al-syukru ‘alaynā
”Dan wajiblah kita mengucap syukur”ما دعى لله داع
Mā da‘ā lillāhi dā‘
”Di mana seruan adalah kepada Allah”أيها المبعوث فينا
Ayyuha al-mab‘ūtsu fīnā
”Wahai engkau yang dibesarkan di kalangan kami”جئت بالأمر المطاع
Ji’ta bil-amri al-muthā‘>
”Datang dengan seruan untuk dipatuhi”جئت شرفت المدينة
Ji’ta syaraft al-madīnah
”Anda telah membawa kemuliaan kepada kota ini”مرحبا يا خير داع
Marḥaban yā khayra dā‘
”Selamat datang penyeru terbaik ke jalan Allah”
Semua berada pada sukacita. Semua sayang pada Aina. Abah dan Ummi telah menunggu di pintu. Menanti menantu kesayangannya. Para abdi ndalem terlihat mengusap air mata. Nampak bahagia tak percaya sebuah kegembiraan meliputi mereka.Aina turun dari mobil. Ummi sedikit berlari menyambutnya. Aina mencium tangan Ummi. Ummi memeluk Aina dengan sangat kencang. Tangis Ummi pecah. Penantian itu berbuah baik. Hadiah Aina masih sehat walafiat merupakan sebuah kejutan tak terhingga. Sangat berharga. Abah mendatangi Aina. Menepuk punggungnya. Mencium keningnya, kemudian memeluknya. Abah rupanya sangat rindu dengan anak perempuannya. Lalu Ayah Aina yang yak kala mengharu biru. Kehilangan anak merupakan hal paling mengerikan seumur hidupnya. Namun kini Allah beri kesempatan untuk bertemu kembali. Sebuah hadiah waktu yang tak ingin dia sia-siakan. Aina betul-betul ada di sini.
Ummi : "Semuanya. Bagaimana kalo kita biarkan mbak Aina istirahat dulu? Setelah sehat kita lakukan syukuran bersama, ya?"
Semuanya mengangguk. Mereka melihat Aina hingga masuk ke dalam ndalem. Mereka telah menyiapkan makanan kesukaan Aina. Aina duduk bersama Abah, Ummi dan Ustadz Nabil. Mereka makan bersama. Tanpa ada pertanyaan. Mereka tahu mungkin Aina masih trauma. Hilang selama 2 bulan lamanya mungkin sangat menguras energi.
Setelah makan, Aina masuk ke kamar bersama Ustadz Nabil. Sebuah baju gamis dan kerudung yang biasanya ia pakai tertata rapi di atas meja. Ustadz Nabil sengaja menyiapkan ini untuk Aina bila memang ia ditemukan.
Ustadz Nabil : "Mau istirahat dulu?"
Aina : "Iya. Tapi gak mau tidur. Cuma rebahan aja. Kakiku pegel, mas."
Tanpa pikir panjang, Ustadz Nabil memijit kaki Aina. Sambil tersenyum kepada istriny. Aina membalas senyumannya.
Ustadz Nabil : "Kenapa?"
Aina : "Pasti banyak yang khawatir ya?"
Ustadz Nabil : "Semua orang. Kami pikir Aina sudah meninggal. Dua bulan tanpa kabar. Baju yang robek. Bukti itu cukup kuat mengatakan bahwa Aina sudah meninggal."
Aina : "Maaf, ya. Andai kata masih ada upaya saat itu bisa pulang, pasti sudah di rumah."
Ustadz Nabil : "Ini namanya takdir Allah. Buktinya semenjak di sana anak-anak jadi belajar Al Qur'an. Membuat kompos."
Aina : "Ya Allah. Iya. Aku jadi khawatir keadaan mereka setelah aku gak ada. Karena hanya ada 2 orang yang sudah fasih membaca Al Qur'an. Akses jalannya jauh dari mana-mana. Sekolah, pasar, puskesma. Kasihan aku."
Ustadz Nabil : "Iya. Waktu sama mas Tino juga padahal lewat jalan yang lebih cepat. Tapi ya menurut mas itu sudah serem banget."
Aina : "Andai aku punya duit banyak. Mau bikin akses jalan yang layak dan jembatan buat mereka."
Ustadz Nabil : "Waktu jalan pulang tadi. Mas mikir panjang. Kita harus melakukan sesuatu untuk mereka."
Aina : "Oooh, pantes diam aja. Aku pikir mas laper. Hahaha.... Aduh." Ustadz Nabil mencubit kaki Aina.
Mereka tertawa bersama.
**********
Tiga hari kemudian. Di ruang kerja Abah. Ummi, Aina, dan Ustadz Nabil duduk bersama.
Abah : "Abah sudah berpikir selama dua hari tentang apa yang Jun sampaikan mengenai Desa Mburi Alas. Abah sudah mengontak beberapa rekan untuk penggalangan dana. Juga pejabat sekitar yang terkait dalam urusan pembangunan seperti akses jalan. Abah pikir, pembuatan rumah dan mushola sebagai penunjang lebih kita prioritaskan."
Aina & Ummi : "Alhamdulillah."
Ustadz Nabil : "Teman-teman Jun malah ada yang ingin memberi biaya sekolah sampai mereka SMP. Bah, bagaimana kalo kita tawarkan setelah mereka lulus SD pondok di sini? Gratis."
Aina : "Wah, ini bisa meringankan hidup mereka. Di sana. Kamar mandi hanya ada satu. Itu pun seadanya. Lainnya mereka buat secara tradisional di pinggir sungai. Kasihan."
Ustadz Nabil : "Kita bisa memaksimalkan dulu dana yang ada. Lainnya bisa kita carikan."
Setelah perbincangan itu, Aina dan Ustadz Nabil berjalan ke pondok.
Aina : "Rekannya Abah banyak, ya mas?"
Ustadz Nabil : "Lha. Masak menantunya lupa Abahnya juga pengusaha?"
Aina : "Ooo."
Ustadz Nabil : "Ketahuan kalo gak tahu."
Aina : "Hehehe... Iya. Mas gak pernah cerita juga."
Ustadz Nabil : "Pasti gak tahu juga mas juga punya usaha?"
Aina : "Ada emang?"
Ustadz Nabil : "Iya lah. Usaha dapetin keturunan."
Aina mencubit pinggang Ustadz Nabil.
"Aaaa.... Hahahha."
"Nabil?", Seseorang memanggilnya.
Aina menoleh. Seorang perempuan mendatangi Ustadz Nabil.
"Ah, gue pikir lu yang bakal nikah sama si Nisa."
Siapa lagi ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]
General FictionGak ada yang gak mungkin dalam kehidupan. Ada kalanya kamu bisa memilih, kadang memang kamu gada pilihan lain selain menjalani. "Takdir macam apa ini?" Mungkin ini batin Aina dalam menjalani hiruk pikuk kehidupannya. Menjadi istri Gurunya sendiri de...