Bab 30 Ibu

2.8K 173 2
                                    

Jantung Aina kembali berdebar.

Nama Iffah lagi-lagi menjadi perihal utama saat ini. Walaupun sekarang ia sudah tak lagi 'aktif' membantu keperluan Aina dan Ustadz Nabil tapi tetap saja ia masih di ndalem Abah. Ia masih berkegiatan di situ. Bisa jadi ia sering bertemu dengan suaminya saat mengikuti diniyah atau bacaan kitab lainnya. Atau saat setor hafalan? Bisa jadi pengawasnya Ustadz Nabil.
Bisa jadi, kan? Begitu mungkin batin Aina berusaha mengedepankan logikanya.

"Ada apa dengan Iffah?", Tanya Aina.

Ustadz Nabil : "Jadi be..."

Tok tok tok.

Suara ketukan di kamar Ustadz Nabil terdengar. Ustadz Nabil memutuskan untuk membuka pintu.

Seorang santri ternyata yang mengetuk pintunya.

Ustadz Nabil : "Iya, ada apa, mas?"

Santri : "Maaf, Gus. Tadi katanya dipanggil Abah di ruang kerja."

Ustadz Nabil : "Ah, iya saya kesana. Makasih, mas."

Sang santri mengangguk patuh dan berjalan ke belakang. Sedangkan Ustadz Nabil berjalan menemui Abah.

Ustadz Nabil masuk ke ruang kerja Abah. Wajah gelisah Abah rupanya dibaca oleh anaknya.

Ustadz Nabil : "Ada apa, bah?"

Abah : "Jun. Ke rumah sakit sekarang sama Aina. Ibunya Anfal. Barusan Ayahnya telepon minta dikabari. Ayo cepat."

Ustadz Nabil menuju kamar dan memberi tahu Aina. Dengan sigap Aina dan Ustadz Nabil menuju rumah sakit. Beberapa hari ini nampaknya banyak kekalutan terhadap dirinya. Ia tidak mampu menarik diri menjadi orang yang stabil. Belum. Ia hanya menerka-nerka apa yang terjadi pada dirinya.

Sesampainya di rumah sakit, ia menuju meja informasi dan menanyakan keberadaan ibunya. Kamar Dahlia 11. Ia membuka pintu. Ayah dan adiknya sedang berada di samping ibunya. Banyak alat yang terpasang di badan Ibunya. Wajah Ayah nampak lesu. Sedangkan adiknya nampak bersedih. Raut wajah setelah menangis membuat Aina yakin Ibu tidak baik-baik saja.

Ayah : "Aina."

Aina : "Gimana, Ibu?"

Ayah : "Barusan keluar dari UGD dan pindah kamar. Tadi Ibu sedang menyiapkan makanan. Tiba-tiba ibu jatuh. Untung adikmu ada disebelahnya. Belum sampai jatuh ke lantai. Akhirnya kami bawa ke rumah sakit."

Aina : "Kata dokter gimana, Ayah?"

Ayah : "Kata Dokter kondisinya menurun. Sekarang saja masih belum sadar. Dokter belum bisa memprediksi. Tapi kita punya harapan. Walau sedikit."

Aina : "Kita serahkan sama Allah ya, Ayah. Kita sudah mempersiapkan jauh hari setelah tahu Ibu sakit apa. Kita siap. Ibu juga siap untuk berjuang. Terakhir, kita ikuti kata Allah saja." Ada air mata yang keluar dari mata Aina.

Ayah : "Ayah ke ruang Dokter dulu ya. Tadi sepertinya dipanggil tapi nunggu Aina datang."

Fitiya : "Eh, aku belum sholat. Mbak Aina bisa jagain ibu sebentar?"

Aina : "Iya gih sholat dulu. Aku jagain Ibu."

Ayah dan Ustadz Nabil keluar ke ruang Dokter. Sedangkan Fitiya pergi ke mushola.

Aina duduk di samping Ibu. Ia melihat dengan teliti wajah Ibunya. Ia lihat tangannya. Ia memeganginya.

Aina : "Ibu... Waktu Aina kecil. Habis pulang sekolah kalo Ibu masih tidur, Aina tatap wajah Ibu lama sekali. Aina rasain napas ibu dengan jari telunjuk. Ibu masih bernapas apa gak? Aina takut kalo dulu Ibu tidur gak bangun lagi."

Aina mengelus punggung tangan Ibunya.

Aina : "Maaf, Aina lama gak memegang tangan Ibu. Apalagi semenjak masuk pondok. Aina hanya mencium tangan Ibu. Aina hanya memeluk Ibu. Ibu paling handal merawat Aina dan Fitiya. Maaf ya, Bu. Aina belum baik merawat Ayah dan Ibu. Aina selalu bikin susah Ibu sejak kecil sampai sekarang."

Aina menahan tangisannya.

Aina : "Bu.. empat tahun itu bukan waktu yang sedikit, kan? Ibu hebat sudah berjuang selama itu. Ibu selalu bilang sama Aina. Mati itu hanya pindah ruh saja. Kita masih bisa bertemu. Kasih sayang tidak akan hilang. Ibu yang malah menguatkan kami semua."

Aina kembali mengusap wajah Ibu. Menciumnya. Air matanya menetes ke pipi Ibu. Ciuman saat ia kecil dulu. Banyak ciuman di wajah.

Aina : "Satu untuk Aina, satu untuk Ayah, satu untuk Fitiya. Ibu ingat, gak? Aina suka mencium wajah ibu banyak-banyak. (Aina sedikit terisak. Ia berhenti sejenak). Aina kan sudah janji gak mau nangis, bu. Ibu.... Apa ibu masih kuat?"

Aina mencoba berbicara agar Ibunya bisa mendengar. Napasnya setengah-setengah. Aina bisa merasakan betapa berat saat ini untuk Ibunya.

Aina : "Ibu. Aina, Ayah, Fitiya semua ikhlas sama Allah. Terserah Allah mau membawa Ibu kemana. Ibu perempuan hebat yang Aina punya. Ibu orang baik. Semua orang sayang sama Ibu."

Aina masih menahan perasaannya. Ia harus tegar dengan apa yang terjadi. Ayah datang bersama Ustadz Nabil. Fitiya juga datang bersamaan.

Malam itu, Aina menawarkan diri untuk tinggal menjaga Ibu. Sedangkan Ayah dan Fitiya pulang untuk bergantian menjaga esok harinya.

Jam menunjukkan pukul 03.08. Aina tertidur di sofa. Kakinya dipangku Ustadz Nabil yang tidur sambil duduk. Tiba-tiba, bunyi alat yang terpasang pada tubuh Ibu berbunyi. Aina dan Ustadz Nabil kaget. Segera mereka menghubungi suster dari alat pemanggil. Suster datang, memeriksa, dan memanggil dokter jaga. Aina dan Ustadz Nabil menunggu di luar kamar. 15 menit berlalu. Suster yang sedari tadi masuk dan keluar membawa beberapa alat untuk membantu kondisi ibu agar stabil.

Semua suster keluar. Dokter memanggil Aina.

Dokter : "Apa mbak anaknya?"

Aina mengangguk.

Dokter : "Setelah masuk tadi malam. Ibu memang melalui masa yang sangat kritis. Sangat tipis kemungkinan untuk bisa cepat stabil. Tapi kami masih berharap. Hasil observasi ini, alat bantu yang kami pasang tidak mengalami kenaikan walau sedikit. Kami sangat berharap mbak bisa memberi support lebih karena kami sudah bertindak semaksimal mungkin. Bila saya berbicara sebagai Dokter, nyawa sudah separuh. Tapi bila kita berbicara Allah. Semua hal bisa mungkin. Temani Ibu, mbak. Tolong dibantu. "

Hati Aina seperti kena petir. Ia seperti ingin jatuh saja. Tapi tidak bisa. Ia tidak bisa begitu di hadapan Ibu. Aina mengangguk pada Dokter. Ia tatap wajah suaminya.

Ustadz Nabil : "Semoga ada waktu. Mas wudhu di kamar mandi. Kita bantu Ibu zikir dan mentalqin. Hanya itu yang kita bisa lakukan. Aina kuat?"

Aina masih menatap Ibu.

Ustadz Nabil : "Sayang, istighfar. Jangan melamun. Bantu Ibu."

Aina bergegas ke kamar mandi. Bergantian dengan Ustadz Nabil. Keduanya sekarang berada di samping Ibu. Ustadz Nabil lalu menghubungi Ayah dan Abah. Aina dengan tenang berada di sisi Ibu.

Aina : "Assalamualaikum, Bu. Ibu hebat, ibu cantik, Ibu baik kesayangan Aina. Bu, kita sama-sama zikir, ya. Astagfirullahaladzim. Laillaha illallaaah. Allah ... Allah... Kita pelan-pelan, ya Bu."

Sedari masuk rumah sakit, Ibu memang tak sadarkan diri. Aina paham. Bisa jadi ini momen terakhir bersama Ibu.

Aina terus mengulang ulang kalimat tahlil tersebut.

Aina : "Ibu, kami semua sayang Ibu. Aina sayang Ibu. Aina akan jadi anak sholiha seperti kata Ibu. Kalo Ibu mau pergi, insya Allah kami ikhlas. Laillaha illallaaah."

Dua kali kalimat itu diucapkan Aina. Dan begitu pula detak jantung Ibu berhenti. Setelah tarikan napas yang dalam. Angka-angka di alat bantu itu menurun dan menunjukkan angka 0. Aina menutup mata Ibu. Mengatur tangannya. Masih hangat. Seperti tertidur. Ada senyum tipis di wajah Ibu. Seakan-akan Ibu memang ingin cepat pergi. Ia mencium kening ibunya, pipinya, matanya. Separuh jiwanya telah pergi. Separuh hatinya pergi. Dunianya runtuh separuh. Ia tahu sudah jauh hari ia mempersiapkan ini. Tapi tak menyangka hari itu adalah hari ini. Kini ia tahu, hatinya remuk saat ini. Allah uji saat ini bertubi-tubi. Aina tidak mau berlari.

Aina tahu, Ibu sudah pergi.

Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang