Chapter 9

32.8K 1.5K 73
                                    

Happy reading

---



PLAAAK!!

Sebuah tamparan panas mendarat di pipi mungil seorang bocah laki-laki yang langsung tertunduk takut tak berani menatap wanita dewasa didepannya.

"Dasar anak pembawa sial! Tak bisa kah sehari saja kau tak mempermalukanku?" Seru wanita bersurai panjang dengan murka.

"Kemari kau!" Wanita itu menyeret si bocah laki-laki dengan tangan yang menarik rambut bocah kecil tersebut tanpa belas kasih menuju halaman belakang rumah yang tak terawat.

Semak belukar yang mengering serta banyaknya bongkahan kayu dan beberapa tong besi tak terpakai tampak memenuhi halaman belakang itu.

"Ibu, maafkan aku. Aku akan belajar lebih giat lagi untuk ujian selanjutnya." Bocah kecil berkaos merah lusuh itu meringis menahan sakit pada kepalanya.

"Kau pikir ucapanmu itu dapat merubah nilai A dikertas ujian sialanmu itu menjadi A+? Dasar bocah bodoh!"

Ia kembali menampar dengan lebih keras dari sebelumnya hingga tubuh kecil itu terhempas ketanah membuat dahi bocah berkaos merah itu terhantam batu. Darah mengalir luruh menuruni dahi yang tampak kontras dengan kulit pucat anak tersebut.

Tangan kecil yang kini tampak kotor karena terkena tanah itu menyeka darah yang hampir mengenai matanya. Menciptakan gesekan kasar dikulit tersebut. Ia tampak bersusah payah menahan butiran kristal dipelupuk mata agar tak tumpah memandang jemari kotornya yang sudah bernoda merah.

Wanita itu berdecih memandang bocah kecil yang selalu menyulut emosi setiap kali ia melihatnya. Ia menjambak rambut gelap itu hingga si bocah berdiri dan memaksanya untuk menaiki salah satu bongkahan kayu di sudut halaman.

"Ibu, maafkan aku." Suara pilu itu justru semakin membakar amarahnya.

Tanpa kata wanita itu menenggelamkan kepala si bocah pada tong besi yang tampak penuh dari air hujan semalam.

Bocah laki-laki itu gelagapan tak siap menerima air yang kini menenggelamkan kepalanya secara utuh. Air memasuki ronggo hidung dan mulutnya. Ia meronta dan menggelengkan kepalanya berharap sedikit harapan untuk ngambil nafas. Perutnya terasa bergejolak ketika air hujan yang bercampur karat besi dan kotoran hewan itu memaksa terus masuk dalam mulutnya. Bocah itu terus meronta mencoba meraih tangan wanita itu yang semakin erat menjambak dan menenggelamkan kepalanya.

"Dexter bangun." Vello duduk menyamping diranjang dengan gusar berusaha menepuk pipi bodyguardnya itu dengan pelan.

Raut khawatir Vello semakin tercetak jelas ketika melihat Dexter terus menggeleng dengan mata terpejam kuat hingga menimbulkan guratan-guratan di kening dan sudut matanya. Pria itu meraih lehernya sendiri seperti orang yang kesusahan bernafas.

"Dexter bangun!" ujar Vello lebih keras sambil mengguncang lengan pria itu.

Seketika mata Dexter terbuka lebar dengan reflek tangan yang begitu cepat, Dexter mengambil sebuah pistol dari balik bantal dan mengarahkan pada dahi Vello.

My Devil Bodyguard (END) SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang