Tzuyu, Lucas, dan Lisa kini sedang dalam perjalanan menuju mansion Choi. Tak ada yang berbicara, semua larut dalam pemikiran masing-masing hingga suara Tzuyu terdengar.
"Lisa-ya, jangan menyerah ya, sayang? Kita berjuang dan lalui ini bersama."
Entah apa yang ada dipikiran Tzuyu, ia hanya takut Lisa menyerah dan lelah akan penyakit yang di deritanya.
"Tidak akan. Apapun yang terjadi, Lisa akan berjuang untuk kalian." Lisa tersenyum manis. Ia tidak mau membuat keluarganya khawatir dan sedih karena dirinya.
"Anak appa habat!" Lucas berseru bangga dari bangku kemudi. Melirik sekilas wajah pucat Lisa dari kaca yang tergantung di bagian atas mobil.
Perjalanan tak terasa lama, kini mereka sudah memasuki area mansion mewah keluarga Choi. Setelah berhenti tepat di depan pintu utama, Lucas langsung berlari membukakan pintu bagian Lisa dan menuntun Lisa untuk keluar.
"Ingin eomma antarkan ke kamar?"
"Aniya, gwaenchana. Lisa bisa sendiri,"
"Arraseo, naik dan istorahat, ya? Kalau butuh sesuatu langsung panggil eomma." Tzuyu mengecup dahi Lisa sebelum membiarkan anaknya itu naik ke lantai atas dan beristirahat di kamarnya.
Lisa membanting tubuhnya di atas ranjang empuknya. Ia memejamkan matanya dan berusaha untuk menenangkan pikirannya yang begitu berantakan kini.
"Bertahan atau menyerah?" Lisa mengangkat tangannya ke udara sembari berpikir.
"Hah... molla! Biar waktu yang menjawab." Akhirnya gadis itu tertidur saat rasa lelah dan kantuk menyerangnya.
Sementara itu di lantai bawah, Lucas dan Tzuyu larur dalam perbincangan serius mereka di ruang tengah. Membicarakan apa yang harus mereka lakukan ke depannya.
"Jadi bagaimana tindakan selanjutnya untuk Lisa? Tumornya belum menyebar tapi jika dibiarkan berlama-lama, stadiumnya bisa meningkat. " ibu mana yang tidak khawatir saat mengetahui jika sang anak mengalami penyakit parah? Smua akan takut, sama seperti Tzuyu.
"Kita hanya bisa mengikuti saran dokter, yaitu kemoterapi. Hanya itu cara untuk memperlambat perkembangan tumor otak Lisa saat ini." Perasaan Lucas pun terguncang sekarang. Rasa sesal dan kecewa pada dirinya sendiri sebagai seorang ayah.
"Aku ke kamar Lisa dulu, ya? Kau ingin dibuatkan kopi atau makanan?" Tawar Tzuyu sebelum ia melangkah ke kamar Lisa.
"Tidak perlu. Jaga Lisa saja," tolak Lucas. Setelah itu ia melihat kepergian Tzuyu yang naik ke lantai atas.
Sedangkan dirinya melanjutkan kegiatan berpikirnya, tak lama pintu utama mansion terbuka dan tampillah ketiga gadis lainnya dengan kondisi yang berantakkan. Entah apa yang mereka lakukan di luar sana.
"Darimana?" Tanya Lucas dingin, matanya menatap tajam pada ketiga anaknya.
"Maksudnya?" Balas Jisoo tak kalah dingin.
"Jam berapa sekarang, dan kalian baru pulang? Adik kalian itu masuk rumah sakit dan kalian sama sekali tidak datang ataupun peduli tentangnya. Kita sempat kehilangan Lisa selama beberapa saat, dan seharusnya kalian ada di sampingnya dan memberinya semangat!"
"Apa peduliku untuk anak sepertinya? Dia mati pun aku tak peduli."
Ucapan Jisoo bagai pisau yang meyayat hati Lucas. Amarah yang ditahannya dari tadi kini tak bisa ditahan lagi. Darahnya mendidih mendengar ucapan Jisoo barusan.
Plak!
Satu tamparan itu berhasil mendarat di pipi mulus Jisoo. Bahkan wajah gadis itu sampai tertoleh ke samping dan kini pipi putihnya berubah menjadi merah.
"Sebagai anak tertua, seharuanya kau bisa menjaga dan mengajari adik-adikmu hal yang baik, Jisoo. Bukan mengajak ke club dan mengenali mereka pada dunia malam!"
"Puas, appa? Apa setelah menamparku kau merasa lebih tenang? Senua yang berhubungan dengan Lisa, aku tidak akan peduli. Anak bungsumu itu seorang pembunuh, seharusnya Anda tidak perlu menyayanginya," tangan Jisoo terkepal menahan emosinya agar tidak meledak.
"Kenapa kau malah membawanya ke rumah sakit waktu itu? Seharusnya kau biarkan saja agar dia mati sekalian. Appa dan eomma seharusnya menyayangiku, Jennie, dan Rosé. Kami masih sehat dan tidak sakit-sakitan seperti anak bungsumu itu!"
"Choi Jisoo!" Teriak Lucas sambil menunjuk tepat di depan wajah Jisoo.
"Ingin menamparku lagi? Silahkan!"
Tak ingin kembali menyakiti anak-anaknya, Lucas memilih untuk pergi meninggalkan ketiga gadi itu di ruang tengah.
"Lisa, Lisa, dan selalu Lisa! Pembunuh tak tahu diri!" Jennie melempar tasnya kasar ke atas sofa. Semua yang berhubungan dengan Lisa akan selalu membuat dirinya dadah tinggi.
"Sudah, lupakan gadis itu. Sekarang kita ke kamar dan obati pipi Jisoo eonnie. Pasti sakit," Rosé berdesis ngilu melihat jejak tamparan Lucas pada pipi Jisoo.
"Kita ke kamar dulu, ya?" Jennie dan Jisoo naik terbelih dahulu ke lantai atas. Sedangkan Rosé mengambil kotak P3K dan air kompresan untuk Jisoo.
"Untuk siapa kotak P3K-nya, sayang?" Rosé terkejut mendengar suara itu yang muncul tiba-tiba dari belakangnya. Untung saja ia sedang tidak ada di tangga.
"Ah, eomma. Ini... untuk Jisoo eonnie."
"Jisoo terluka?" Tanya Tzuyu mulai panik.
"Jisoo eonnie ditampar oleh appa tadi, jadi aku ingin mengobatinya." Mendengar itu, Tzuyu amat kesal pada Lucas. Semarah apapun Lucas pada anak-anaknya, seharusnya lelaki itu tidak bermain tangan dan menampar Jisoo.
"Biar eomma yang obati Jisoo. Kau ke kamar dan mandi sekarang." Tzuyu mengambil alih obat-obatan itu dan membiarkan Rosé pergi ke kamarnya. Sedangkan dirinya mulai berjalan ke arah kamar Jisoo.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk saja, Chaeng."
Ceklek~
"Eomma? Waeyo? Ingin memarahi kuta lagi?" Tanya Jisoo sinis. Sedangkan Tzuyu hanya tersenyum sendu dan mulai duduk di ssi ranjang Jisoo.
"Aniya, eomma hanya ingin mengobati pipimu."
"Eomma tidak marah?" Tanya Jennie curiga. Karena ia tahu Tzuyu sangat menyayangi Lisa dan mustahil rasanya jika Tzuyu tidak ikut marah akan kelakuan mereka pada Lisa.
Tzuyu diam. Tak berniat membalas pertanyaan Jennie yang jika dipikirkan mustahil. Siapa yang tidak marah jika anak-anaknya saling menyakiti dan berbuat kesalahan.
"Mendekatlah, biar eomma obati."
"Kenapa bisa begini pipinya, hm?" Tanya Tzuyu sembari mengobati pipi Jisoo dengan salep.
"Appa tampar Jisoo tadi karena kita pulang pagi." jawab Jisoo santai.
"Kenapa pulang pagi? Memangnya kalian habis dari mana?" Tzuyu tidak tersulut emosi seperti Lucas tadi. Ia memilih untuk mendengarkan semua cerita Jisoo dan berusaha mengerti.
"Club." jawab Jennie singkat sesuai fakta.
"Selesai. Jangan kena air dulu, ya? Biar tidak bengkak nanti." Seolah tidak mendengar jawaban Jennie, Tzuyu kini merapihkan obat-obatan itu dan meletakkannya di atas nakas.
"Gomawo, eomma."
"Sekarang ganti baju dan bersih-bersih. Setelah itu istirahat yang cukup. Kalian pasti tidak tidur semalaman." Tzuyu bangkit lalu mengecup dahi kedua anaknya sebelum ia keluar dari kamar Jisoo.
"Selamat istirahat, sayang."
"Aneh," gumam Jisoo pelan, namun masih bisa terdrngar oleh Jennie.
"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi."
________________
Vote, comment, dan follow jangan lupaa✌
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY TO YOU [E N D] <REVISI KARENA MASIH BERANTAKAN BANGET>
Teen Fiction"Maaf, maafkan kami, kami janji tidak akan melakukannya lagi, kembalilah, kumohon kembali sekarang" "Aku sudah memperingatkan kalian. Sekarang, kalian lihat apa yang terjadi." "Siapa yang harus disalahkan? Aku, kamu, atau takdir?" *NOTES: Cerita i...