27. Maiden

1.7K 230 255
                                    

Archibald duduk termangu di salah satu sudut taman Peristirahatan Terakhir di saat semua peri telah kembali ke Kerajaan Avery. Ia masih enggan beranjak dari tempat penebaran abu Putra Mahkota Albert, penyesalan demi penyesalan terus menderanya hingga yang dirasakannya hanyalah sesak. Sang pangeran peri terlihat berkali-kali menarik dan mengembuskan napasnya dengan berat.

Langit senja yang mendung dan muram menaungi taman itu, sementara benih-benih dandelion berterbaran di udara menambah kesyahduan tempat itu. Archibald bergeming. Selain penyesalan, bayangan masa lalu bersama Albert datang silih berganti menggelayuti pikirannya hingga membuatnya tak sanggup beranjak dari tempat itu. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih ingin bersama sang putra mahkota.

Akan tetapi, keheningan yang melingkupinya segera terusik. Sayup-sayup pendengarannya menangkap suara langkah kaki berjalan di suatu tempat di dalam taman. Langkah kaki itu kemudian berhenti tak jauh dari tempat Archibald duduk termangu. Archibald masih bergeming. Ia sama sekali tak berminat untuk mencari tahu siapa gerangan pemilik langkah kaki tersebut.

Tiba-tiba suara bersitan ingus mengganggu pendengaran Archibald. Keningnya berkerut dan wajahnya mengernyit masam. Dengan malas Archibald menolehkan pandangan ke arah suara. Ia menangkap sosok peri perempuan berambut keemasan di balik rimbun dedaunan yang tepat berada di balik punggungnya. Suara tangis tertahan mulai terdengar pelan dari sosok itu.

Archibald menggeser duduknya hingga dari samping ia dapat melihat getaran pada bahu peri perempuan yang berdiam di balik semak itu. Lambat laun suara tangisan itu terdengar semakin keras bahkan terkesan meraung.

Archibald mendengkus, mulai merasa terganggu dengan ulah peri perempuan yang sepertinya tidak menyadari keberadaannya di sekitar tempat itu. Keheningan yang menemani lamunannya kini sirnah sudah. Archibald lantas berdeham keras beberapa kali agar peri perempuan itu menyadari keberadaannya.

Peri perempuan yang menangis itu seketika terdiam, meredam tangisnya dengan paksa. "Maaf Tuan, aku tidak tahu jika masih ada peri lain di tempat ini," ucapnya sesenggukan.

Suara itu. Archibald mengenali suara itu.

Archibald menghembuskan napas kasar. "Tidak masalah. Aku sudah selesai!" sahutnya ketus. Ia lantas berdiri dari posisinya dan mendekati asal suara. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya dingin seraya berbalik menyorot tajam kepada Ammara.

Ammara sontak mengangkat wajah. Kedua tangannya membersihkan sisa-sisa air mata yang menggenang di pipi. Begitu matanya beradu dengan mata Archibald, air mukanya berubah masam. "Bukan urusanmu!" jawab Ammara tak kalah ketus.

Archibald menggeram pelan. Ia hendak beranjak dari tempat itu dan mengacuhkan Ammara, tetapi sesuatu dalam hatinya menahannya untuk tidak meninggalkan peri perempuan itu seorang diri di sana. Ia berbalik dan duduk di samping Ammara seraya mengembuskan napas panjang. Untuk beberapa saat lamanya mereka duduk di sana dalam hening.

"Untuk apa bunga matahari itu?" tanya Archibald datar saat melirik bunga matahari di dalam genggaman Ammara. Ia menyandarkan tubuhnya pada rimbun dedaunan di belakang mereka.

Ammara mendengkus. Matanya menyorot pada sekuntum bunga matahari besar di pangkuannya. Bunga Matahari itu tertanam dalam sebuah wadah berwarna gelap. "Aku ingin memberi Putra Mahkota Albert bunga ini," jawabnya lirih.

"Bunga Matahari?" Archibald menaikkan salah satu alisnya.

Ammara mengangguk pelan. Setetes air bening mengalir di pipinya. "Bunga Matahari adalah bunga yang akan bercahaya paling terang di malam hari. Aku harap bunga ini dapat menerangi peristirahatan terakhir Putra Mahkota di tempat ini. Aku harap dia tidakakan kesepian." Ammara kembali terisak.

Fairyverse: a Fairy Tale Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang