Aku nulis sambil mendengarkan multi media di atas. Coba deh. Siapa tahu kalian mau membaca sambil mendengarkan alunan instrumentalnya juga. Selamat menikmati!
Hawa panas menerpa wajah Archibald hingga peri laki-laki itu terlonjak kaget dari tidurnya. Wajah besar sang naga putih telah terpampang di hadapan sang pangeran peri begitu ia membuka mata. Lubang hidung naga putih yang besar bergerak kembang-kempis seolah mengejeknya. Sekali lagi, hawa panas napas sang naga lolos dari sepasang lubang hidung itu dan langsung menerpa wajah rupawan sang peri.
"CUKUP!"
Archibald berteriak. Ia menyeret tubuhnya mundur dari wajah sang naga putih mengambil jarak agar hawa napas itu tak menerpa wajahnya yang sudah memerah. Peri laki-laki itu mengusap wajahnya gusar saat suara kekehan seketika tertangkap pendengarannya.
"Ka-kau? Sejak kapan kau ada di sini?!" tanya Archibald sengit. Netranya membelalak begitu mendapati sosok Albert yang berdiri di ambang pintu kandang naga putih. Albert tengah tertawa seraya memegangi perutnya. Jadi peri laki-laki itu menertawainya sepagi ini?
Archibald berdiri lalu menepis jerami yang menempel pada jubah dan celananya. Ia masih melempar tatapan sengit pada Albert ketika hawa panas kembali menerpa tengkuknya."Naga putih, hentikan!" sungutnya.
Pangeran peri itu mundur beberapa langkah lagi menjauhi kedua makhluk yang menjadikannya bahan tertawaan di pagi yang membeku. Wajahnya tertekuk, sementara kedua tangannya sibuk menepis sisa-sisa jerami yang masih menempel. Setelah pertemuannya dengan sang ibu lewat tengah malam tadi, ia memutuskan untuk menuju kandang naga putih. Makhluk besar dengan kulit putih mengilap itu ternyata tengah tertidur pulas. Berbagai cara ia gunakan untuk membangunkan makhluk itu, tetapi sang naga tetap mendengkur keras. Akhirnya, entah bagaimana caranya, pangeran peri itu ikut tertidur di samping sang naga. Timbunan jerami di lantai kandang menghangatkannya sepanjang malam.
"Apa yang kau rencanakan, Archibald?" tanya Albert yang masih berdiri di depan pintu kandang dengan tangan menyilang di dada. Tawa sang pangeran peri itu telah mereda sepenuhnya.
Archibald mengerling sekilas. Ia mengambil sepatu kulitnya yang tergeletak di atas salah satu gundukan jerami pada salah satu sudut kandang lalu mengikat tali-tali sepatunya cepat. "Aku akan menyelamatkan gadis manusia itu," ucapnya nyaris tak terdengar.
Albert mengerutkan kening. "Ammara? Kau akan pergi ke Kastel Larangan sendiri?" Nada suara sang pangeran peri tanpa sadar meninggi.
Archibald mengendikkan bahunya. "Aku bersama naga putih," sahut peri laki-laki itu sekenanya.
"Apa kau sudah gila, Archibald? Pergi ke sarang musuh seorang diri?" Albert menggeleng pelan, tak habis pikir dengan keputusan saudaranya. Menyelamatkan gadis manusia yang bahkan bukan bangsa peri di saat Kerajaan mereka sedang menghadapi perang dengan para makhluk kegelapan, benar-benar logika yang sulit diterima.
"Aku sudah mempertimbangkannya. Mereka akan menyerang Avery. Hal ini berarti penjagaan Kastel Larangan akan berkurang. Peluangku untuk menyelamatkan gadis itu jauh lebih besar. Lagi pula, aku tidak ingin gadis manusia itu kelak dijadikan alat untuk memaksaku melakukan apa yang tidak ingin kulakukan," jawabnya mantap.
Albert tercenung mendengar jawaban sang pangeran peri. Ia tak menyangka jika Archibald berpikir sampai ke sana. Namun, ia ingin menyakinkan satu hal. "Apa maksudmu ... Ammara dijadikan alat untuk memaksamu melakukan apa yang tidak ingin kau lakukan?" Sebelah matanya memicing tanpa sadar.
Archibald mengembuskan napas panjang seolah sedang menepis beban yang menggelayut di pundaknya. "Ammara adalah Chiara. Gadis manusia yang pernah kutemui saat pelarian di dunia manusia," sahutnya lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fairyverse: a Fairy Tale
FantasíaFantasy - Kingdom - Minor Romance Chiara Wyatt, seorang gadis biasa secara tidak sengaja masuk ke Fairyverse (dunia peri). Chiara melewati gerbang dunia peri yang tiba-tiba terbuka saat bulan purnama merah menggantung di langit. Di Fairyverse, takd...