36. The Real Crown Prince

1.9K 235 245
                                    

Ammara bergerak gelisah dalam ketidaksadarannya. Mimpi-mimpi tentang sebuah tempat yang jauh dan wajah-wajah asing datang silih berganti. Sebuah hutan, rumah dengan atap mengerucut, sebuah pekarangan kecil, pagar kayu yang setengah rusak serta sayup-sayup suara lolongan anjing yang terasa sangat familier. Gadis itu merasakan rindu yang membuat dadanya terasa sesak. Rindu menyakitkan yang membuat air matanya bergulir dalam tidur. Selanjutnya, munculah gambaran samar-samar sebuah mulut gua dengan tanaman merambat yang menutupi hampir seluruh permukaannya. Entah apa yang mendorongnya hingga gadis itu lantas mengulurkan tangan ke dalam celah tanaman merambat. Sebuah tarikan kuat dari dalam gua seketika menyentaknya.

Ammara terkesiap. Matanya terbuka. Pelipisnya banjir oleh keringat, padahal udara di sekitarnya terasa membeku. Genangan air mata membasahi pipinya. Napas gadis itu memburu saat ia memaksa tubuhnya bangun dari peraduan yang entah di mana.

"Kau sudah sadar?" sapa suara dari salah satu sudut bilik yang temaram.

Ammara mengedarkan pandangan bingung ke sekeliling bilik dengan pencahayaan minim itu. Iris matanya menangkap sosok peri Elf yang sedang duduk di sebuah kursi yang berjarak beberapa meter dari pembaringannya. Ia mengerjap beberapa kali. Netra hijaunya mengenali paras itu samar-samar. Saat pandangannya telah dapat menyesuaikan dengan temaram cahaya, Ammara lantas dapat mengenali sosok itu.

Elijah yang sama seperti yang selama ini ia kenal, tetapi dengan aura berbeda duduk mengawasinya di sana. Pangeran peri berparas rupawan itu menatapnya intens. Satu tangan menumpu dagunya, sementara tangan yang lain bertumpu pada pegangan kursi. Peri laki-laki itu tidak tersenyum seperti biasa saat mereka bertemu. Ekspresi wajahnya datar dan tak tertebak.

Di samping pangeran peri itu, cahaya merah tampak berkedip-kedip dalam sebuah wadah kaca transparan. Benda itu adalah satu-satunya penerangan di dalam bilik, selain sebuah jendela panjang tanpa tirai yang menampakkan langit malam yang pekat.

"Aku di mana?" tanya Ammara dengan suara serak.

"Kau di rumahku," sahut Elijah tanpa bergeming.

Ammara menyibak selimut yang menutupi kakinya lalu beringsut turun dari pembaringan. Gadis itu hendak beranjak pergi. "Ibu, Ayahku juga para pangeran tertangkap. Aku harus menyelamatkan mereka ...."

"Kau pikir kau mau kemana?!" tanya Elijah dengan nada suara sedikit meninggi.

Ammara terkesiap. Ia menatap pangeran peri itu tak percaya.

Elijah membalas tatapannya dengan tajam. "Kau tidak diijinkan keluar dari bilik ini. Apa pun alasannya."

"Ta-tapi ... saudara-saudaramu juga dalam bahaya. Tidakkah kau ingin menyelamatkan mereka?"

Elijah menggeleng. Wajahnya bertambah muram. "Mereka bukan saudaraku. Aku tidak punya saudara," sahutnya ketus.

Ammara menggeleng keras. Matanya mulai berkaca-kaca. "Ada apa denganmu, Pangeran Elijah? Ini tidak seperti dirimu yang kukenal. Para pangeran mencarimu saat kau pergi dari Kerajaan Avery? Kenapa kau meninggalkan mereka? Kalian harus tetap bersama-sama apa pun yang terjadi, karena kalian adalah saudara."

Elijah menyandarkan punggungnya pada kursi. Pandangannya masih lekat pada gadis perempuan yang mulai terisak sambil memeluk tubuhnya sendiri itu. Sebagian dari dirinya sangat ingin menghampiri Ammara untuk menenangkannya, tetapi sebagian lainnya ingin agar ia bertahan pada egonya. Rahang peri laki-laki itu mengeras dan kedua tangannya terkepal.

"Aku sudah memilih takdirku, Ammara. Dan, kau juga sudah memenuhi takdirmu. Fairyverse dan Kerajaan Avery tidak akan pernah sama lagi seperti dulu. Saudara-saudaraku, mungkin dulu kami memang saudara, tumbuh bersama dan belajar bersama, tetapi sekarang semua harus menjalani takdirnya masing-masing," ungkapnya. Wajahnya datar seolah tak ada emosi saat membicarakan saudara-saudaranya. Namun, Ammara dapat melihat kesedihan yang tersembunyi pada netra biru sang pangeran.

Fairyverse: a Fairy Tale Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang