"Kau demam tinggi. Apa kepalamu sakit?"
Aku kembali menggeleng mendengar pertanyaan dari Jimin. Meskipun begitu sebenarnya aku harus mengakui jika aku sedang berbohong. Hanya saja mereka terlihat begitu baik kepadaku. Itu membuatku merasa tidak baik jika membuat mereka mencemaskanku.
Lagi pula bukankah aku ini orang asing. Mengapa mereka begitu peduli kepadaku? Kupikir di dunia ini sudah tidak ada manusia seperti mereka. Tapi ternyata keberuntungan sedang memihakku. Setidaknya aku senang karena bisa bertemu dengan orang sebaik mereka.
"Lain kali jangan melakukan hal seperti tadi. Jika tidak, kau akan sakit seperti sekarang. Kau mengerti kan."
Kali ini aku mengangguk. Namun dalam hatiku tidak bisa menjamin jika peristiwa tadi tidak akan terjadi lagi. Mau bagaimana pun juga aku harus melakukannya jika ingin bertahan hidup. Yah, walaupun jika aku melakukannya aku juga bisa mati.
"Oh ya namaku Jimin. Dan dia adalah Namjoon." ujarnya sambil menunjuk ke arah laki-laki yang sedang berbicara dengan dokter. "Jadi siapa namamu?" lanjutnya bertanya kepadaku.
"...Jungkook." lirihku.
"Ne? Namamu Jungkook? Kalau begitu salam kenal. Kau bisa memanggilku hyung." ujarnya dengan seulas senyum yang tersungging di bibir tebalnya.
"Kau harus banyak beristirahat ya. Kau pasti akan sembuh dengan cepat." ucapnya lagi. Sementara aku hanya mengangguk kecil.
"Hyung, kemarilah!" Jimin... ah, aku harus memanggilnya hyung? Kelihatannya dia memang lebih tua dariku. Jadi aku harus memanggil Namjoon dengan panggilan hyung juga. Oh ya, sampai mana tadi? Ah, ya. Jimin hyung memanggil Namjoon hyung setelah dokter keluar dari ruangan. Karenanya Namjoon hyung langsung menoleh dan menghampiri kami.
"Namanya Jungkook. Dia manis kan."
Hei, tunggu dulu. Namaku memang Jungkook, tapi jangan sembarangan mengatakan jika aku manis. Itu kan... Membuatku malu.
"Halo, Jungkook. Namaku Namjoon."
"Kau ini tidak banyak bicara ya." komentar Jimin hyung karena aku tetap diam.
"Sebaiknya kau menghubungi keluargamu, Jungkook. Mereka pasti mencemaskanmu."
Aku menunduk semakin dalam. Keluarga? Memangnya aku punya? Entah mengapa memikirkan itu membuatku merasa sedih. Padahal seharusnya sudah lama aku melupakan itu.
"Jungkook, ada apa?"
Aku tetap diam, tak ingin merespon ucapan Jimin hyung. Lidahku kelu. Meskipun aku telah lama menerima kenyataan ini, tapi tetap saja sakit saat mengingatnya.
"Ada apa? Kau ada masalah dengan keluargamu?"
"..."
"Kau bertengkar dengan orangtuamu?"
"..."
"Kau tidak boleh bersikap seperti ini, Jungkook. Kau tetap harus mengabari keluargamu."
"..."
"Mereka pasti mencemaskanmu, Jung-"
"Hiks..."
Jimin hyung maupun Namjoon hyung langsung terbungkam ketika mendengar isakanku. Aku dapat melihat mereka saling memandang dengan bingung.
"Maaf. Kami tidak bermaksud membuatmu sedih." ucap Namjoon hyung sembari menepuk pundak ku dan mengusap puncak kepalaku. "Jangan menangis ya."
"Sepertinya kami terlalu memaksamu. Jika ada masalah, katakan saja. Jika kau sudah lebih tenang, kami akan mengantarkanmu pulang." imbuh Jimin hyung.
Aku mengusap mataku, berusaha menghentikan cairan bening yang terus meluncur melewati pipiku. Namun tak berhasil. Luapan kesedihan ini nampaknya membuat dinding hatiku tak mampu lagi menahan derasnya cucuran kepedihan.
"Tenangkan dirimu." Namjoon hyung kembali menepuk pundak ku sebelum akhirnya menarik Jimin hyung keluar meskipun laki-laki yang lebih muda darinya itu sempat menolak.
Kini aku di sini sendirian. Lagi dan lagi. Entah sudah ke berapa kali aku harus merasakan kesepian. Ah, benar juga. Kapan terakhir kali aku mengangkat ujung bibirku yang kini terasa kaku ini.
"Hiks...hyung...biarkan aku hiks...menyusulmu. Hiks...aku lelah. Hiks... Biarkan aku...hiks...mati saja."
***
Keduanya masih terdiam, tak ada yang berniat untuk membuka suara. Nampaknya isakan pelan dari dalam ruangan menghipnotis rungunya dan melumpuhkan lisannya.
Namjoon memang sengaja membuat Jungkook sendirian di dalam ruangan. Anak itu butuh waktu untuk sendiri dan merenungi semuanya. Namun salah satu tujuan sebenarnya adalah Namjoon ingin mengetahui apa sebenarnya masalahnya. Anak itu tidak akan mengatakan apapun kepada orang tidak dikenal yang tiba-tiba sok peduli kepadanya.
Sepertinya Jungkook telah melewati banyak hal menyakitkan selama hidupnya. Padahal dia masih semuda itu, tapi sudah harus menanggung beban berat yang terlalu sulit untuk dipikulnya.
"Hiks."
Namjoon mendongak, menoleh ke arah Jimin yang tiba-tiba terisak. Dia tersenyum kecil dan melingkarkan tangannya di bahu dongsaeng nya itu. "Kau jangan ikut menangis." ujarnya dengan senyum tipis.
"Kau mengerti apa yang terjadi padanya kan, hyung. Kasihan sekali Jungkook. Padahal dia lebih muda dariku." lirih Jimin sembari mengusap matanya yang berair.
Namjoon menghela nafas dan mengangguk. "Aku rasa kau mengerti apa yang sedang aku pikirkan." Jimin mengangguk.
"Kalau begitu aku akan pulang dan mendiskusikan ini dengan semuanya. Kau tunggu di sini, jaga Jungkook. Nanti aku akan kembali dan menjemputmu." ucapan Namjoon kembali disambut anggukan oleh Jimin.
"Kalau begitu aku pergi. Jaga dirimu dan jaga Jungkook."
"Baik, hyung."
Namjoon tersenyum dan segera berlalu untuk kembali ke rumah. Sementara Jimin masih terdiam di tempatnya, memandang kepergian hyungnya itu hingga benar-benar tak terlihat lagi di matanya.
Jimin menoleh ke arah pintu ruangan yang tertutup. Tiba-tiba tak ada suara lagi dari dalam. Dengan hati-hati Jimin membuka pintu dan sedikit melongok ke dalam.
Melihat Jungkook telah memejamkan matanya, Jimin langsung masuk ke dalam. Sepertinya Jungkook tertidur setelah puas menguras air matanya.
Dipandangnya wajah tenang laki-laki yang lebih muda darinya itu sekali lagi. Pucat, sungguh pucat. Tubuhnya juga begitu kurus. Entah penderitaan apa yang telah dialami oleh Jungkook. Mungkin membayangkannya saja Jimin tak mampu. Kasihan sekali Jungkook harus menanggungnya sendirian.
Melihatnya membuat hatinya teriris. Bagaimana Jungkook menjalani hidupnya selama ini? Apa dengan diisi penderitaan seperti ini? Jika benar, maka Jimin tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika tidak bisa membantu Jungkook yang malang ini.
Awalnya Jimin berpikir jika anak ini sudah gila karena berjalan di tengah salju tanpa payung ataupun mantel hangat. Apa yang dipikirkannya? Tapi melihat semuanya membuat Jimin mengumpati dirinya sendiri berkali-kali.
Dirinya tidak mengetahui apa-apa. Jika dia tidak mampu melakukan apapun, itu artinya dia sangat tidak berguna. Setidaknya dia bisa memberi semangat kepada Jungkook dan membantunya menjalani hidup yang lebih baik nantinya.
"Maafkan aku ya. Aku tidak tahu jika hidupmu sangat menderita."
Setetes air mata meluncur dari pelupuk matanya. Namun saat dia berniat untuk menghapusnya, cairan itu mengalir lebih deras lagi. Ah, entah hatinya terlalu baik atau apa. Hanya dengan melihat keadaan Jungkook seperti ini sudah membuatnya mengucurkan air mata.
"Argh..." Jimin segera meraba sesuatu saat tiba-tiba matanya menangkap putaran memusingkan. Namun belum sempat melakukannya, tubuhnya sudah tersungkur tak berdaya di lantai hingga kemudian tak mampu bergerak lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Me [END]
Fiksi Penggemar[방탄소년단 x 전정국] Jeon Jungkook harus mampu hidup sendiri sejak kecil. Dia harus bertahan dalam lingkungan baru sendirian. Begitu lama dia menderita hingga akhirnya dia menemukan para malaikat penolongnya. Namun apakah itu saja mampu untuk membuatnya me...