♡•Laskar•♡

789 48 2
                                    

Laskar benar-benar marah hari itu, hari dimana waktu menunjukan jam pulang sekolah. Laskar mendapat kabar jika Arisha lengser dari Basket. Gadis itu benar-benar melakukan apa yang di katakannya.

Bel pulang berbunyi Laskar langsung melangkah menuju kelas gadis itu. Ia tidak perduli dengan teman-temannya yang terus meneriaki namanya, kedua tangan Laskar terkepal begitu kencang. Urat-urat di tangannya terlihat begitu jelas.

Beruntung saat Laskar akan sampai di kelas gadis itu, Laskar melihat Arisha baru saja keluar dari kelasnya. Gadis itu tengah asik mengobrol dengan kedua sahabatnya, sepertinya Arisha tak menyadari kehadiran Laskar. Melainkan Azkia dan Tina yang menyadari kehadirannya.

"Sha....laskar." Azkia berbisik, membuat Arisha menolehkan pandangannya ke arah seseorang yang berdiri tak jauh darinya.

Dari sorot mata tajamnya, Laskar meminta kedua sahabat Arisha untuk pergi. Laskar butuh waktu berdua dengan gadis itu.

Azkia dan Tina awalnya ragu, pasalnya mengingat saat ini Arisha sedang dalam proses melupakan laki-laki itu. Jika mereka membiarkan Arisha bersama dengan Laskar, tak menuntup kemungkinan jika Arisha akan gagal melupakan sosok laki-laki itu.

Azkia dan Tina refleks menggeleng, hal itu berhasil membuat emosi Laskar semakin terpancing.

Tak butuh waktu lama. Laskar segera menarik tangan Arisha, gadis itu nampak kebingungan. Sementara Azkia dan Tina tidak dapat melakukan apapun selain berdoa semoga Arisha baik-baik saja bersama Laskar.

Arisha terus di seret entah akan di bawa kemana, Arisha yang masih di liputi oleh kebingungan ini nampak sulit untuk menyamai langkah lebar Laskar di tambah laki-laki itu mencengkram kuat pergelangan tangan Arisha.

"Kar, apaan si!" Teriak Arisha berusaha melepaskan cekalan tangan Laskar.

Seolah tuli, Laskar tak mendengarkan teriakan Arisha, laki-laki itu terus menyeret tubuh Arisha.

Kedua mata Arisha berkaca-kaca melihat perlakuan kasar Laskar, sementara Arisha sendiri bingung apa yang membuat laki-laki itu semarah ini.

Sampai akhirnya kedua remaja tersebut berhenti di taman belakang sekolah yang nampak sepi karena seluruh siswa-siswi tentu sudah pulang.

Saat ini Laskar dan Arisha saling berhadap-hadapan. Laskar melepaskan tangan Arisha yang sedari tadi ia cekal. Laskar cukup terkejut melihat tanda merah di pergelangan tangan gadis itu. Terutama saat melihat cairan bening lolos dari pelupuk mata Arisha, gadis di depannya ini hanya bisa menunduk sambil mengusap-ngusap pergelangan tangannya.

Rasa bersalah tiba-tiba menyelimuti Laskar. Namun Laskar teringat akan tujuannya membawa gadis itu kemari, bukan untuk melihat Arisha menangis.

"Kenapa?" Tanya Laskar.

Arisha memberanikan diri menatap kedua mata tajam Laskar.

"Seharusnya gue yang nanya itu sama lo, kenapa lo bawa gue ke sini?!" Tanya Arisha sedikit membentak.

"Ternyata lo cukup berani ya, ngapain diem-diem lengser dari Basket? Mau cari perhatian?" Tanya Laskar sambil tersenyum sinis.

Arisha mengepalkan kedua tangannya.

"Itu emang udah jadi keputusan bersama, setelah turnamen kita berhak buat keluar dari Basket dan fokus ke ujian nasional. Jadi gue gak salah dong." Jawab Arisha mencoba membela diri.

"Ya tapi bukan ini keputusannya! Lo pikun atau pura-pura pikun? Perlu gue ingetin sama lo. Lengser boleh di lakukan setelah Anak-anak basket pergi ke jakarta!" Tanpa sadar Laskar berteriak tepat di depan wajah Arisha. Membuat Arisha terkejut dan refleks memundurkan langkahnya.

Arisha tahu Laskar seperti apa, sebelumnya ia pernah mendapat perlakuan kasar seperti ini bahkan lebih dari ini. Seharusnya Arisha bisa membentengi dirinya agar terlihat lebih kuat. Namun nyatanya, Arisha tetap Arisha. Yang tidak memiliki kekuatan apapun, kedua kakinya bergetar hebat, jantungnya berdegup dengan kencang. Arisha ingin menangis saat itu juga, namun ia tidak bisa. Dalam hati, Arisha terus mengingatkan dirinya sendiri agar terlihat lebih berani.

Jangan nangis Sha

"Setiap orang punya haknya masing-masing, ini udah jadi hak gue buat lengser dari basket. Dan lo gak usah ikut campur urusan gue, kita udah gak ada urusan apa-apa setelah turnamen itu." Balas Arisha.

"Jangan kayak anak kecil Sha, lo itu keras kepala! Egois! Bertindak semuanya sendiri tanpa mikirin gimana perasaan orang lain setelah lo mutusin buat lengser dari Basket tanpa persetujuan dari yang lain. Lo pikir Bu Sachi bisa terima gitu aja. Bukan cuma Bu Sachi yang kecewa, tapi gue juga. Gue marah Sha, marah saat lo gak ikut hadir buat rayain kemenangan sekolah kita. Tapi gue gak bisa berbuat apa-apa. Gue berulang kali dapet teguran dari Bu Sachi cuma gara-gara lo. Sebagai ketua gue gak berguna banget buat team, terutama buat junior-junior kita."

Arisha terdiam.

"Inget gimana dulu lo yang paling ngebet pengen pergi ke jakarta kalau kita menang turnamen. Namun setelah kita menang. Yang lo lakuin malah buat semua orang kecewa, lo lengser gitu aja. Bahkan kita belum ngerasain seneng-seneng bareng di jakarta setelah menang."

"Sha...gue gak tau apa yang buat lo jadi kayak gini, sikap lo tiba-tiba berubah. Di ajak kumpul sama team gak pernah mau. Sha. Kalau di antara gue atau yang lain punya salah sama lo, tolong. Maafin kita, kita gak tau kalau kesalahan kita bisa buat lo kayak gini. Gue gak nyaman Sha liat perubahan lo kayak gini. Gue...gue kangen liat lo bawel, gak pernah malu-malu nunjukin siapa diri lo. Perlu lo tau, tingkah lo itu adalah alasan buat gue tersenyum Sha."

Tumpah sudah air mata Arisha, Arisha hanya mampu menunduk sampai sepasang sepatu milik Laskar pergi menjauh meninggalkan Arisha seorang diri. Arisha semakin terisak, bahkan tubuhnya jatuh di atas rerumputan.

Laskar terus melangkah menjauh, tidak perduli bagaimana kecewanya gadis itu saat Laskar mengeluarkan segala unek-uneknya. Karena bukan hanya Arisha saja yang kecewa, namun Laskar juga.

Laskar mengendarai motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi, di balik helm yang menutupi wajahnya. Kedua mata Laskar memerah. Laskar tak perduli jika ada pengendara yang terganggu karena ulahnya. Yang ingin Laskar lakukan adalah, meluapkan segala apa yang ia rasa dengan cara seperti ini sekalipun itu membahayakan nyawanya.

🍁🍁🍁🍁

Arisha menghapus kasar air mata di pipinya, tangisnya langsung berhenti ketika merasakan ponsel yang ia simpan di saku roknya bergetar.

Arisha menatap layar ponselnya yang menyala, tak sengaja matanya menangkap jam yang sudah menunjukan pukul lima sore. Ternyata sudah sangat lama Arisha berada di sini hanya untuk menangisi kepergian seseorang yang tidak akan mungkin kembali.

Arisha mengerutkan keningnya kala melihat nama Raefal terpampang jelas di layar ponselnya. Tumben sekali ketua osis itu menghubunginya. Arisha segera menggeser ikon hijau untuk mengangkat panggilan.

"Ha--"

"Kamu dimana?"

"Masih di sekolah, kenapa Ka?"

"Saya kesana sekarang."

Panggilan langsung terputus. Arisha menatap bingung ke arah panggilan yang sudah terputus.

Arisha segera bangkit berdiri, sebaiknya ia cepat pergi dari tempat ini. Parno juga sendirian di tempat sepi seperti ini.

Saat sudah sampai lapangan, Arisha dapat melihat Raefal tengah berlari ke arahnya.

Arisha mengerutkan keningnya, terlebih ketika melihat ada noda merah di seragam laki-laki itu.

"Ada perlu apa Ka?" Tanya Arisha setelah Raefal berada di depannya.

Raefal mengatur nafasnya sejenak, kemudian tatapan datarnya mengarah ke arah Arisha.

"Kak."

"Laskar kecelakaan Sha."

Secret Of The Heart ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang