-SCHOOL SERIES (1)-
-COMPLETED-
Please ya guise...
Vote adalah bentuk apresiasi untuk penulis.
.
"Satu-satu aku sayang Alano..."
"Dua-dua juga sayang Alano..."
"Tiga-tiga always sayang Alano..."
"Satu dua tiga, Alano punya Disa..."
Ini adalah kisah...
Seorang perempuan berambut ikal sebahu dengan telinga tersumpal earphone yang memutar playlist milik Alan Walker, bersandar pada tiang halte depan sekolahnya dengan mulut mengunyah permen karet mint kesukaannya. Matanya mengamati jalanan, mengikuti berbagai kendaraan yang lewat di depannya. Mobil pribadi, angkutan umum, hingga ojek online yang nekat menerobos hujan dan berjibaku dengan kemacetan tak luput dari perhatiannya.
Hingga akhirnya, setelah satu jam menunggu, hujan deras akhirnya beralih menjadi gerimis kecil. Halte yang tadinya ramai kini sudah sepi dan menyisakan tiga orang, termasuk perempuan itu. Tak lama, sebuah metromini berhenti. Membawa dua orang, hingga meninggalkannya seorang diri.
"La pluie n'est que des confettis du ciel*," gumamnya sembari menengadah ke langit. Tangan kanannya terjulur ke luar halte, demi merasakan buliran air yang membasahi telapak tangannya.
*Hujan adalah konfeti dari langit
Hujan akhirnya benar-benar berhenti setelah sekian lama. Dengan seragam putih abu-abunya, perempuan dengan name tag Adisa Karina, memutuskan untuk menyebrangi zebra cross dan menyusuri trotoar. Kemacetan, umpatan pengendara dan sahutan klakson menjadi pengiring langkah panjangnya. Biarpun bahu kanannya basah karena sempat terkena air hujan, ia tak terburu-buru untuk pulang ke rumah. Baginya, semakin malam ia pulang, berarti semakin baik.
Lima belas menit perjalanan, Adisa tiba di depan rumahnya yang bercat kuning gading. Berlantai dua dengan empat kamar. Halaman depan yang dulunya penuh dengan tanaman hias dan bunga-bunga yang bermekaran, kini tampak kehilangan warna. Hanya tersisa pohon bonsai dan tanaman yang mengering. Kolam kecil berisi ikan koi yang dulu selalu dikuras tiga hari sekali, sekarang tinggal genangan air yang menghijau hasil tampungan air hujan. Setelah menghela napas panjang, Adisa memutuskan untuk memasuki rumahnya yang suram.
Pukul tujuh malam, setelah bebersih diri dan menjalankan kewajibannya, Adisa terduduk di meja makan seorang diri. Cacing-cacing di perutnya sudah meronta, namun raganya malas untuk sekadar bergerak membuka lemari pendingin. Lagipula, ia pun tak yakin kalau masih ada makanan layak konsumsi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Disa!" teriakan dari Ayah Adisa -Panji- yang baru pulang kerja, membuat Adisa bergerak ke ruang tamu.
"Kenapa, Yah?"
"Sudah makan malam?"
Adisa hanya menggeleng, lalu melirik ke kantong yang dibawa Ayahnya. Dari kedai makanan cepat saji. Segera ia tersenyum dan menyambar uluran kantong makanan dari Panji. "Kok cuma satu box? Ayah udah makan?" tanya Adisa ketika melihat hanya terdapat satu paket makanan.
"Ayah sudah makan, kamu makan sendiri, ya?" kata Panji sembari berlalu ke dalam kamarnya.
Adisa hanya menarik napas pelan. Berjalan ke meja makan dan mulai menikmati makanannya dalam diam. Suasana rumah yang sepi dan suram sudah menjadi teman Adisa satu tahun terakhir.