-SCHOOL SERIES (1)-
-COMPLETED-
Please ya guise...
Vote adalah bentuk apresiasi untuk penulis.
.
"Satu-satu aku sayang Alano..."
"Dua-dua juga sayang Alano..."
"Tiga-tiga always sayang Alano..."
"Satu dua tiga, Alano punya Disa..."
Ini adalah kisah...
Jangan lupa untuk tekantombol 🌟 yaa, guise... Sehingga ADISA semakin di depan 💃
.
Alano menutup pintu gerbang rumahnya. Menjejakkan kaki di jalanan aspal dan menghampiri rumah berlantai satu yang pintu depannya terbuka lebar. Tangannya merapikan rambut cepaknya, ketika Panji menyunggingkan senyum dan berdiri di teras. Dengan luwes, remaja berkaos putih itu kemudian menyapa tetangga barunya. Berbasa-basi sebentar, ia masuk ke dalam rumah di dahului Panji. Sofa hitam yang masih baru menyambut kunjungan Alano. Matanya menelusuri ruang keluarga yang merangkap sebagai ruang tamu. TV LED 42 inch sedang menayangkan iklan layanan masyarakat tentang bahaya menggunakan ponsel saat berkendara.
Adisa muncul dari dalam kamar, bersamaan dengan sang ayah yang membawa dua kotak teh kemasan dan satu kaleng wafer coklat dari dapur. "Hih, nggak di sekolah, nggak di rumah, masa ketemunya lo lagi, sih, Al!" Adisa menghenyakkan pantatnya di depan Alano. "Ngapain lo ke sini?"
"Disa, nggak boleh ngomong seperti itu sama tamu," tegur Panji. Ia meletakkan bawaannya dan menawarkannya pada Alano. Kemudian berpamitan untuk mandi pada sang tamu.
"Dis," panggilan Alano disahuti Adisa dengan deheman. Matanya fokus pada layar televisi. "Gue tanya, boleh?"
Adisa mendengus. "Ya itu lo udah tanya, Panjul!" Nadanya sedikit naik.
Alano menggaruk hidung, "Lo... cuma berdua sama Om Panji? Nyokap lo..." Laki-laki itu tak enak hati menanyakan hal itu pada tetangga barunya. Tapi, dirinya juga penasaran. Mengapa tak ada sosok wanita dewasa di sisi Panji?
"Oh, lo tanya nyokap gue?" sahut Adisa santai. Menatap wajah Alano yang terlihat sedikit sungkan. "Orang tua gue lagi proses cerai. Gue emang udah lama tinggal sama Ayah doang," lanjutnya.
"Ah..."
"Santai, Al." sahut Adisa ketika melihat tetangga barunya itu semakin memasang wajah tak enak hati.
Alano mengangguk pelan. Kemudian memusatkan perhatian pada perempuan yang masih menatap layar televisi. Wajah dan kulit tubuhnya, putih bersih. Rambut sebahunya tidak terlalu lurus, sedikit ikal dan hitam. Matanya bulat, dengan bulu mata lentik yang semakin membuatnya cantik. Hidungnya agak kecil, sesuai dengan bibir merahnya yang tipis. Tubuh ramping dan tinggi badan ideal membuatnya semakin mempesona. Pantas saja, perempuan itu banyak disukai oleh siswa laki-laki di sekolahnya. Sebagai anak pindahan, dirinya cukup bisa melihat seberapa banyak fans perempuan itu. Setiap kali melihat Adisa, pasti ada saja yang menyapanya dengan senyum dan gombalan receh. Belum lagi dengan kehadiran laki-laki berkepala plontos yang sempat berkonfrontasi dengannya. Padahal Adisa, 'kan, berisik dan galak.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ngapain lo liatin gue kaya kurang Aqia, Al?"
Alano terbatuk kecil. Rupanya, kegiatannya mengamati sang tetangga baru terpegok. Tangannya meraih satu kotak teh kemasan di meja. Meminumnya hingga tandas. Tak peduli kalau perempuan di hadapannya semakin mengernyitkan dahi.